Liputan6.com, Jakarta - Ratusan warga Tunisia menggelar demonstrasi pada Sabtu 10 Desember 2022 terhadap Presiden Kais Saied seminggu sebelum pemilihan parlemen baru yang dibentuk oleh perubahan konstitusionalnya, menuduhnya melakukan kudeta yang tidak demokratis.
Saied menutup parlemen sebelumnya tahun lalu dan memerintah dengan dekrit sebelum menulis ulang konstitusi tahun ini untuk memberi kepresidenan lebih banyak kekuasaan, langkah yang ditolak oleh sebagian besar partai politik, Reuters mewartakan sebagaimana dikutip dari MSN News, Minggu (11/12/2022).
"Saied keluar!" teriak pengunjuk rasa yang berbaris di pusat Tunis.
Advertisement
Saied mengatakan tindakannya legal dan perlu untuk menyelamatkan Tunisia dari krisis bertahun-tahun dan telah berulang kali mengatakan dia tidak akan menjadi diktator.
Warga Tunisia semakin frustrasi selama beberapa tahun terakhir karena stagnasi ekonomi dan kelumpuhan politik, dengan parlemen yang terpecah dan pemerintahan yang tidak stabil.
Pemilihan akan diadakan pada 17 Desember untuk parlemen baru yang kurang kuat yang dibuat oleh konstitusi Saied, yang disahkan melalui referendum pada bulan Juli dengan jumlah pemilih yang rendah.
Pembicara pada protes termasuk politisi senior dari partai-partai yang menentang Saied mengatakan pemilihan itu tidak sah dan mendesak boikot.
"Semua oposisi disepakati pada satu posisi yaitu menolak kudeta dan menyerukan kembalinya demokrasi," kata Samira Chaouachi, yang merupakan wakil ketua di parlemen terpilih yang dibubarkan Saied.
Â
Presiden Tunisia Disebut Firaun Usai Bubarkan Parlemen
Pemerintah Tunisia membubarkan parlemen usai para anggota tetap mengadakan pertemuan secara online.
Kementerian Kehakiman Tunisia menilai pertemuan itu sebagai bentuk konspirasi terhadap keamanan negara.
Berdasarkan laporan Arab News, Kamis (31/3/2022), anggota parlemen Tunisia melakukan voting untuk mengurangi dekrit Presiden Kais untuk melakukan pencekalan.
Ada 217 anggota parlemen di Tunisia dan 116 anggota hadir dan menyetujui RUU baru tersebut.
Presiden Kais Saied berkata meeting itu ilegal. Ia mengklaim konstitusi memberikannya kekuatan untuk mensuspens parlemen. Ia pun bisa mengeluarkan hukum melalui dekrit.
Salah satu anggota parlemen, Safi Said, menolak upaya presiden untuk melakukan pencekalan. Ia bahkan menyebut negaranya dikendalikan sosok Firaun.
"Kami bukanlah anggota parlemen yang dibekukan atau disuspens," ujarnya. "Tetapi kami berada di bawah kekuasaan Firaun baru."
Â
Advertisement
Tuduhan Kekacauan
Presiden Saied mengecam pertemuan parlemen itu dengan menyebutnya ilegal. Sesi virtual itu dianggap mencoba menebarkan kekacauan.
Perserikatan dagang di Tunisia juga sempat mengecam sesi-sesi parlemen yang melanggar instruksi presiden. Para anggota parlemen itu dituding memicu konflik dan perpecahan politik.
Selain ingin mengurangi kekuasaan presiden, para anggota parlemen juga meminta ada pemilihan legislatif dan presiden, serta dialog nasional.
Ketua Parlemen, Rached Ghannouchi, dari partai Ennahdha yang Islami tidak ikut di pertemuan tersebut. Kondisi gedung parlemen Tunisia masih dijaga pasukan keamanan.