Liputan6.com, Jakarta Kasus COVID-19 di Korea Selatan kembali meningkat hingga nyaris 90 ribu per hari. Peningkatan kasus di Korea Selatan ini terjadi kurang dari seminggu sebelum Hari Natal 2022.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Korea Selatan, Selasa (20/12/2022), ada 87.559 kasus baru yang tercatat. Ada 519 kasus yang tercatat parah, sementara ada 56 kematian.
Advertisement
Baca Juga
Kasus hari ini melonjak dari sepekan sebelumnya ketika kasus mencapai 84 ribu, kemudian melandai ke 58 ribu.
Menurut laporan Yonhap, kasus ini juga yang tertinggi sejak 14 September 2022 ketika ada 93 ribu kasus baru sehari. Kenaikkan kasus positif ini terjadi ketika pemerintah Korea Selatan sedang bersiap-siap untuk mencabut aturan memakai masker di dalam ruangan.Â
Keputusan itu akan diambil pada pertengahan Januari 2023. Apabila aturan masker indoor dicabut, maka warga Korea Selatan tak perlu memakai masker lagi di sebagian besar tempat, kecuali tempat yang ramai seperti transportasi umum, atau rumah sakit.Â
China Laporkan Kematian Pertama Akibat COVID-19, Terakhir 3 Desember 2022
Sebelumnya dilaporkan, China melaporkan kematian COVID-19 pertamanya dalam beberapa minggu terakhir. Berita ini disampaikan hari ini pada Senin (19/12).
Dua kematian dilaporkan oleh Komisi Kesehatan Nasional (NHC) sejak terakhir kali terjadi pada 3 Desember, beberapa hari sebelum Beijing mengumumkan pencabutan pembatasan yang sebagian besar bertujuan untuk menahan virus.
Tagar tentang dua kematian akibat COVID-19 yang dilaporkan dengan cepat menjadi trending topik teratas di platform Weibo pada Senin pagi.
"Apa gunanya statistik yang tidak lengkap?" tanya seorang pengguna.
"Bukankah ini menipu publik?" cuitan yang lain menambahkan, dikutip dari laman NST.com, Senin (19/12/2022).
NHC tidak segera menanggapi pertanyaan dari Reuters tentang keakuratan data COVID-19 tersebut.
Â
Obat Penurun Demam dan Alat Tes COVID-19 Diburu Warga China Hingga ke Australia
Belakangan ini China melakukan pelonggaran terhadap aturan terkait COVID-19. Kendati demikian, dilonggarkannya aturan lockdown membuat kasus COVID-19 di China meningkat.
Warga kini berburu dengan obat penurun demam dan alat tes COVID-19, bahkan sampai mencari ke Australia.
Mereka meminta tolong keluarga dan kerabat yang tinggal di Hong Kong, Macau, dan Australia untuk membeli dan mengirimkan obat-obatan serta alat tes.Â
Hal ini terjadi setelah sejumlah apotek di kota-kota besar mulai kehabisan stok setelah antrean yang panjang.
Beberapa apotek dan toko mulai membatasi jumlah barang yang bisa dibeli, sementara perusahaan obat mulai meningkatkan produksinya.
"Warga China suka menimbun. Mana bisa ada yang tersisa? Mereka membeli obat-obatan bahkan sebelum mereka sakit," kata seorang dokter di Shanghai seperti dikutip dari ABC Australia, Senin (18/12/2022).
Chang Linyun seorang warga Beijing berusia 42 tahun mengaku ia sudah meminta kepada teman-temannya di Australia untuk membeli obat penurun demam untuk anak laki-lakinya.
Tapi ia pun harus bersaing dengan para penjual di jejaring sosial yang menawarkan barang-barang dari luar negeri, atau dikenal dengan sebutan 'daigou', yang mulai menjualnya dengan harga sangat tinggi.
"Saya tadinya mau titip dua botol Panadol dan dua botol Nurifen. Namun teman saya di Melbourne mengatakan obat penurun panas juga sudah habis di sana, karena begitu banyak daigou asal China yang memborongnya," kata Chang.
Seorang apoteker di Box Hill, sekitar 15 kilometer dari pusat kota Melbourne, mengonfirmasi jika beberapa toko obat sudah kehabisan persediaan Panadol.Â
Advertisement
Cari Obat Hingga Hong Kong dan Australia
Di Hong Kong, dua staf di sebuah apotek mengatakan persediaan Panadol mulai menipis.
Padahal pekan lalu, menteri kesehatan Hong Kong Lo Chung-mau mengatakan pemerintah akan memastikan pasokan obat-obatan dengan kandungan paracetamol akan tetap ada agar warga tidak khawatir.
"Saya memiliki teman di Beijing yang meminta saya mengirimkan obat flu dan alat tes COVID. Mereka tidak bisa mendapatkannya di Beijing, mereka sudah memesan lewat online namun belum ada pengiriman" kata Lo, seorang perempuan warga Hongkong berusia 30 tahun.
Di Macau, pihak berwenang membatasi jumlah pembelian obat-obatan anti viral yang digunakan untuk mengobati gejala COVID.
Senin lalu, Xiangxue Pharmaceutical yang memproduksi obat-obatan anti viral mengatakan mereka meningkatkan produksi semaksimal mungkin untuk memenuhi meningkatnya permintaan.
Sementara Sinopharm Group, perusahaan farmasi yang didukung pemerintah, mengatakan sudah meningkatkan produksi tiga kali lipat, karena meningkatnya permintaan obat demam dan batuk.
Vaksinasi untuk Lansia Dipercepat
China juga sedang meningkatkan usaha untuk melakukan vaksinasi untuk kelompok yang memiliki risiko tinggi, termasuk warga yang berusia 60 tahun ke atas.
Sebelumnya China mengatakan 90 persen dari warga sudah mendapatkan vaksin pertama.
Vaksin kedua juga sudah dianjurkan bagi warga yang memiliki risiko.
Rabu kemarin, juru bicara Komisi Kesehatan Nasional di China, Mi Feng, mengatakan perlu ada lebih banyak kampanye untuk mempercepat proses vaksinasi bagi lansia.
Data resmi pemerintah China menunjukkan 1,43 juta orang mendapatkan vaksinasi hingga Selasa kemarin, jauh di atas angka rata-rata setiap hari di bulan November yaitu 100 sampai 200 ribu dosis per hari.
China mengatakan 30 persen dari warga berusia 60 tahun ke atas sudah mendapatkan vaksin ketiga.
Advertisement