Liputan6.com, Harare - Pemerintah Zimbabwe melarang ekspor lithium mentah karena dinilai merugikan. Kerugian Zimbabwe ditaksir mencapai 1,7 miliar euro (Rp 28,5 triliun) karena tidak mengolah lithium di dalam negeri.
Lithium merupakan bahan penting untuk membuat baterai, termasuk baterai kendaraan listrik (electric vehicles/EV) dan laptop. Harga "emas putih" ini pun terus meroket.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan African News, Minggu (1/1/2022), pemerintah Zimbabwe berkata rugi karena mengekspor lithium sebagai mineral mentah, dan bukan sebagai baterai yang diproses di dalam negeri. Pemerintah ingin membuat industri baterai ketimbang membiarkan perusahaan-perusahaan asing mendominasi produksi baterai.
Harga lithium disebut naik 1.100 persen dalam dua tahun terakhir. Tetapi, perusahaan-perusahaan internasional mengambil lithium dari Zimbabwe secara mentah tanpa mengembangkan industri untuk memprosesnya.
Kebijakan ini juga akan melarang penambang liar yang menggali lithium dan menyelundupkannya ke luar negeri.
Zimbabwe merupakan penghasil lithium terbesar di Afrika. Pemerintah Zimbabwe menyebut persedian di negaranya cukup untuk memenuhi seperlima kebutuhan dunia.
Namun, Zimbabwe bukan satu-satunya sumber lithium di dunia. Berdasarkan situs Volkswagen AG, Chile, Australia, Argentina, dan China memiliki persediaan dan produksi lithium yang lebih besar dari Zimbabwe.
Chile memiliki 8 juta ton simpanan lithium di negaranya. Australia punya 2,7 juta ton, Argentina memiliki 2 juta ton, dan China mencatat 1 juta ton.
Kebijakan di Zimbabwe mirip dengan di Indonesia yang melarang ekspor nikel mentah, memilih hilirisasi, dan meminta perusahaan-perusahaan asing membangun smelter di dalam negeri. Namun, kebijakan pelarangan ekspor nikel Indonesia dinyatakan tak sesuai hukum internasional oleh WTO setelah digugat Uni Eropa.
1 euro: Rp 16.786
Anggota DPR Dukung Kebijakan Nikel Jokowi
Sebelumnya dilaporkan, Presiden Jokowi telah mengeluarkan dua langkah usai Indonesia kalah di Badan Penyelesaian Sengketa di WTO. Pertama, Indonesia akan mengajukan banding usai kalah di WTO. Kedua, ada kemungkinan pemerintah menaikkan pajak ekspor bijih nikel sebagai cara untuk melanjutkan hilirisasi salah satu mineral logam tersebut.
Merespon hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Abdul Wahid mendukung penuh langkah Presiden Jokowi dalam merespons kekalahan gugatan dari Uni Eropa terhadap kebijakan hilirisan dan pelarangan ekspor bijih nikel.
Menurut Abdul Wahid, dua langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi dalam menghadapi keputusan WTO sudah tepat. Yakni menaikkan pajak ekspornya dan melakukan banding sambil menyiapkan seluruh perangkat smelter untuk hilirisasi.
“Dua langkah itu sudah tepat, artinya ada dua opsi bahwa bagusnya kita banding dan banding itu status quo sambil kita siapkan semua perangkat smelter itu untuk hilirisasi. Artinya kita masih ada waktu untuk persiapan hilirisasi dan saat itu kan sudah matang banget dan itu langkah yang paling tepat,” kata Abdul Wahid saat dihubungi, Sabtu (17/12).
Dikatakan politisi PKB ini, jika dalam banding nanti yang dilakukan pemerintah dan hasilnya mengecewakan, maka pemerintah bisa mengambil langkah kedua, yakni menaikan pajak ekspor bahan mentah nikel dan itu keputusan negara yang tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun, termasuk WTO.
“Jika seandainya kita kalah ya kita harus menaikkan ekspor bahan baku nikel itu lebih tinggi pajaknya, pajak ekspornya lebih tinggi karena itu kebijakan negara. Artinya negara nggak boleh kalah dalam hal ini dari sistem perdagangan internasional,” tegasnya.
Lanjut Abdul Wahid, komitmen Jokowi untuk tidak gentar menghadapi gugatan WTO patut diapresiasi. Sebab, selain melindungi sumber daya alam Indonesia untuk kesejahteraan rakyat, juga mendorong Indonesia menjadi negara maju serta menciptakan lapangan kerja yang banyak.
"Karena kita kan melindungi negara, berkewajiban melindungi warganya dan seluruh tumpah darah dan tanah airnya. Nah potensi sumber daya alam yang itu kan bagian dari menjaga keutuhan bangsa, maka langkah-langkah itu harus dilakukan. Itu langkah yang paling tepat,” jelasnya.
Advertisement
Hilirisasi
Menurut Abdul Wahid, dengan dinaikkan pajak ekspor nanti dan pembeli dari negara lain tidak mampu, maka itu menjadi kesempatan Pemerintah untuk mengolah sendiri dan yang diekspor kemudian adalah bahan jadi.
“Jika ekspor bahan baku mentah itu lebih tinggi umpamanya dari pajak, maka bahan yang sudah jadi dengan sendirinya mau gak mau ya tentu harus diolah dulu baru diekspor,” ujarnya.
Dijelaskan Abdul Wahid, kenaikan pajak ekspor bahan mentah nikel tidak akan berpengaruh pada investasi di Indonesia, karena pemerintah akan melakukan hilirisasi dan itu sangat menguntungkan Indonesia, karena selain keuntungan pendapatan juga bisa membuka lapangan kerja.
“Enggak lah karena kita sudah siap untuk hilirisasi, nggak akan ada begitu (pengaruh investasi-red) karena itu kita melindungi produk-produk kita, pengen add value dari sebuah kegiatan eksplorasi sumber daya alam, itu baru bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi kalau dimaksimalkan dengan efektif dan efisien,” akuinya.
Usai Nikel dan Bauksit, Jokowi Akan Kalkulasi Penghentian Ekspor Bahan Mineral Lain
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan, pemerintah akan mengkalkulasi penghentian ekspor bahan mineral lainnya, usai pelarangan bijih nikel dan bauksit. Jokowi menyampaikan bahwa pemerintah harus memastikan kesiapan industri bahan mineral, sebelum mengeluarkan larangan ekspor.
"Untuk komoditas lain itu dikalkulasi, dihitung mengenai kesiapan industrinya. Begitu industrinya setengah siap. Enggak usah harus siap, setengah siap langsung kita hentikan. Kita paksa untuk segera industrinya diselesaikan," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (21/12/2022).
Dia menuturkan, larangan ekspor bijih nikel yang berlaku 1 Januari 2020 berhasil membuat nilai tambah meningkat hingga 19 kali lipat, dari Rp17 triliun pada akhir 2014 menjadi Rp326 triliun pada 2021. Bahkan, Jokowi memprediksi nilai tambah ekspor bijih nikel akan tembah lebih dari Rp468 triliun.
Untuk itulah, Jokowi kembali mengeluarkan larangan ekspor komoditas lainnya yakni, bijih bauksit yang akan berlaku mulai Juni 2023. Menurut dia, pemerintah akan mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri.
"Saya ulangi, mulai Juni 2023 pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit. Dan mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri," ujar dia.
Advertisement