Jepang Tawarkan Jutaan Yen bagi Keluarga yang Mau Pindah dari Tokyo

Untuk menarik penduduk baru, kota-kota dan desa-desa yang belum populer di Jepang menonjolkan pesona kehidupan pedesaan hingga akses lebih mudah ke tempat penitipan anak.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 04 Jan 2023, 10:35 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2023, 09:30 WIB
Tokyo Jadi Destinasi Favorit Wisatawan Indonesia ke Jepang
Tokyo Jadi Destinasi Favorit Wisatawan Indonesia ke Jepang.  foto: istimewa

Liputan6.com, Tokyo - Pemerintah Jepang menawarkan 1 juta yen atau sekitar Rp119 juta per anak kepada keluarga yang bersedia pindah dari Tokyo. Insentif, yang meningkat dari angka sebelumnya sebesar 300.000 yen ini, merupakan bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali kota dan desa yang populasinya menurun.

Media lokal menyebutkan bahwa pemberian insentif ini akan berlaku pada April 2023. Demikian seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (4/1/2023).

Meskipun populasi Tokyo turun untuk pertama kalinya tahun lalu, para pembuat kebijakan yakin upaya harus dilakukan untuk menurunkan kepadatan populasi kota dan mendorong orang-orang untuk memulai hidup baru di wilayah-wilayah yang mengalami penyusutan populasi dan migrasi orang muda ke Tokyo, Osaka atau kota-kota besar lainnya.

Untuk menerima insentif, keluarga harus pindah ke luar wilayah Tokyo. Namun, beberapa masih akan tetap mendapatkan insentif jika mereka pindah ke daerah pegunungan yang terletak di batas kota.

Sekitar 1300 kota, kira-kira 80% dari jumlah total, telah bergabung dalam skema ini. Mereka berharap dapat memanfaatkan perubahan sikap publik terhadap kualitas hidup, di mana para pekerja merasakan sejumlah manfaat bekerja dari jarak jauh.

Syarat dan Ketentuan Berlaku

Ilustrasi
Ilustrasi stasiun kereta di Jepang. (dok. unsplash/Carina Sze)

Syarat untuk mendapatkan insentif ini tidak hanya bersedia pindah ke luar Tokyo. Namun, keluarga yang pindah harus mendiami hunian baru mereka setidaknya selama lima tahun dan salah satu anggota keluarga harus bekerja baik di daerah asal ataupun baru atau berencana untuk membuka usaha baru.

Mereka yang pindah sebelum lima tahun harus mengembalikan insentif yang diterima. Dengan angka yang ditawarkan, otoritas berharap mampu mendorong keluarga dengan anak-anak berusia hingga 18 tahun untuk merevitalisasi wilayah dan mengurangi tekanan pada ruang dan layanan publik di Tokyo, kota metropolis terbesar di dunia dengan populasi sekitar 35 juta.

Insentif masih mungkin ditambah bila memenuhi syarat lainnya. Setengah dari biaya insentif berasal dari pemerintah pusat dan setengah lainnya datang dari pemerintah kota.

Skema pemberian insentif ini telah diluncurkan sejak tiga tahun lalu. Pada tahun 2021, terdapat 1.184 keluarga yang menerimanya, jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan 290 orang pada tahun 2020 dan 71 pada tahun 2019. Pemerintah berharap pada tahun 2027 ada 10.000 orang yang akan pindah dari Tokyo ke daerah pedesaan.

Penurunan Populasi

Ilustrasi populasi
Ilustrasi (AFP)

Untuk menarik penduduk baru, kota-kota dan desa-desa yang belum populer di Jepang menonjolkan pesona kehidupan pedesaan hingga akses lebih mudah ke tempat penitipan anak.

Semua upaya terbaru ini dilakukan tidak lain untuk menghidupkan kembali wilayah-wilayah tersebut di tengah menurunnya populasi Jepang.

Data pemerintah menunjukkan bahwa Jepang, populasi ekonomi terbesar ketiga di dunia, mengalami rekor penurunan 644.000 pada 2020-2021. Angkanya diperkirakan akan anjlok dari saat ini 125 juta menjadi sekitar 88 juta pada tahun 2065 atau menurun 30% dalam 45 tahun.

Sementara jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun terus bertambah, angka kelahiran tetap sangat rendah, yaitu 1,3 anak. Angka tersebut jauh dari 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran populasi saat ini.

Pada tahun 2021, jumlah kelahiran mencapai 811.604, terendah sejak catatan pertama pada tahun 1899. Sebaliknya, jumlah centenarian (orang yang diyakini berumur 100 tahun) mencapai lebih dari 90.500, angka yang cukup besar dibandingkan 153 pada tahun 1963.

Perempuan di Jepang Semakin Enggan Menikah dan Punya Anak

Wisata Jepang
Perempuan berkimono di lorong Kyoto, Jepang. (dok. pexels.com/Satoshi Hirayama)

Tekanan keuangan dan peran gender tradisional yang memaksa berhenti bekerja begitu hamil dan beban pekerjaan rumah tangga serta tugas mengasuh anak disebut telah memicu semakin banyak perempuan di Jepang enggan menikah dan memiliki buah hati.

"Dulu saya berpikir saya akan menikah pada usia 25 tahun dan menjadi seorang ibu pada usia 27 tahun," kata Nao Iwai, seorang mahasiswa di Tokyo. "Tetapi ketika saya melihat kakak perempuan tertua saya, yang memiliki anak perempuan berusia dua tahun, saya jadi takut memiliki anak."

"Punya anak di Jepang, artinya suami tetap bekerja, tapi ibu diharapkan berhenti dari pekerjaannya dan menjaga anak. Jujur saja saya merasa sulit membesarkan anak secara finansial, mental, dan fisik. Pemerintah mengatakan akan memberikan dukungan, tetapi masalahnya saya tidak terlalu percaya pada politikus," imbuhnya.

Pada Oktober 2022, pemerintah Jepang memang telah mengumumkan peningkatan dukungan finansial sebelum dan sesudah melahirkan. Namun, di lain sisi, pemerintah belum mengatasi tekanan jangka panjang lainnya, seperti biaya penitipan anak prasekolah dan pendidikan wajib, serta meningkatnya biaya hidup.

"Jepang bukanlah tempat di mana sembarang orang dapat memiliki satu anak atau lebih," kata Profesor Yuka Minagawa dari Sophia University di Tokyo seraya menambahkan bahwa banyak ibu berjuang untuk menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan keluarga. "Wanita terus mengambil bagian terbesar dari pekerjaan rumah tangga, meskipun mereka juga bekerja di luar rumah."

Infografis Naruhito Kaisar Baru Jepang
Infografis Naruhito Kaisar Baru Jepang. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya