Liputan6.com, Paris - Tensi antara Iran dan Prancis tengah memanas lagi. Pasalnya tabloid satir Prancis Charlie Hebdo memuat gambar pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan dianggap menghina.
"Paris memilih jalan yang salah dalam mengizinkan penerbitan kartun menghina pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei di mingguan satir Prancis Charlie Hebdo, kata Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian, Rabu 4 Januari 2023 seperti dikutip dari situs Politico.
"Tindakan menghina dan tidak senonoh dari publikasi Prancis dalam menerbitkan kartun melawan otoritas agama dan politik tidak akan berjalan tanpa tanggapan yang tegas dan efektif," cuit Amir-Abdollahian.
Advertisement
"Kami tidak akan membiarkan pemerintah Prancis melampaui semua batasan," tulisnya, menambahkan: “Mereka pasti telah memilih jalan yang salah."
Pada hari Rabu, Charlie Hebdo menerbitkan lusinan karikatur yang menggambarkan Ayatollah Ali Khamenei dilempari batu oleh wanita telanjang atau digantung di rambut wanita yang tidak memakai penutup kepala.
Gambar-gambar itu dipilih sebagai bagian dari kompetisi yang diluncurkan oleh publikasi Prancis bulan lalu, yang meminta kartunis pers untuk mengirimkan "karikatur Ali Khamenei yang paling lucu dan paling kejam."
Gambar itu dimaksudkan sebagai penghormatan kepada para wanita Iran yang telah turun ke jalan di seluruh negeri sejak September lalu, setelah seorang wanita berusia 22 tahun, Mahsa Amini, meninggal dalam tahanan polisi, kata direktur penerbitan Charlie Hebdo Selasa di radio Prancis.
"Karikatur adalah sesuatu yang hampir merupakan bagian dari senjata politik yang digunakan oleh para mullah, jadi kami juga menggunakannya untuk melawan mereka," jelas kartunis Laurent Sourisseau, yang menggunakan nama artisnya 'Riss'.
Majalah mingguan Charlie Hebdo konon menerima "lebih dari 300 karikatur" dari "seluruh dunia", termasuk beberapa dari kartunis dan pengungsi Iran, kata Riss.
Tanggal publikasi gambar juga jatuh pada minggu peringatan serangan Januari 2015 di ruang redaksi Charlie Hebdo di Paris, di mana 12 orang tewas. Tabloid itu menjadi sasaran karena menerbitkan kartun kontroversial Nabi Muhammad.
Bela Islam, Uskup Agung di Prancis Kritik Kartun Nabi Muhammad
Selama ini, Charlie Hebdo dikenal suka meledek berbagai aliran politik dan agama. Charlie Hebdo itu disorot dunia internasional setelah serangan teror karena media itu merilis kartun Nabi Muhammad pada 2015 dan 2020.
Karikatur Charlie Hebdo yang menghina agama mendapat kecaman dari tokoh Katolik di Prancis. Uskup Agung Robert Le Gall menyebut kebebasan berekspresi tidak berarti menyinggung agama.
"Kebebasan berekspresi ada batasnya seperti kebebasan manusia lain," ujar Uskup Agung Robert Le Gall seperti dikutip Le Figaro, Sabtu (31/10/2020).
Uskup Agung Robert Le Gall menyebut penghinaan agama mestinya tak dibolehkan. Ia juga berkata karikatur-karikatur yang dibuat Charlie Hebdo turut menghina Kristen.
"Ini harusnya diredakan karena karikatur-karikatur ini melawan umat Muslim, namun juga melawan kepercayaan Kristen," lanjutnya.
Uskup agung dari Toulouse ini menyebut kasus yang terjadi di Prancis seperti menuangkan minyak ke dalam api.
"Saya berpikir secara mendalam. Kita melihat konsekuensi-konsekuensinya, kita menuangkan minyak ke api, dan terjadi eskalasi," jelasnya.
Ia pun meminta agar Prancis menekankan motto fraternity (persaudaraan) di negaranya.
Advertisement
Indonesia Kecam Charlie Hebdo yang Publikasi Ulang Kartun Nabi Muhammad
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia juga mengecam keras tabloid satir Charlie Hebdo di Prancis yang mempublikasi kembali kartun Nabi Muhammad. Penertbitan itu dilakukan untuk menandai persidangan bagi kaki-tangan tersangka penyerangan kantor majalah tersebut pada 2015.
Kecaman datang dari Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, yang meneyebut tindakan itu sebagai "tidak bertanggungjawab, provokatif, dan melukai ratusan juta umat Muslim di dunia," jelasnya. Komentar itu juga dialamatkan terhadap insiden pembakaran dan perusakan Al Quran di Swedia dan Denmark.
"Semua tindakan tersebut juga dinilai bertentangan dengan prinsip dan nilai demokrasi, serta berpotensi menyebabkan perpecahan antar umat beragama, di saat dunia memerlukan persatuan untuk menanggulangi pandemi COVID-19," tambah Retno dalam konferensi pers virtual, Jumat (4/9/2020).
Dikutip dari Antara, akhir Agustus lalu, kerusuhan terjadi di Kota Malmo, Swedia selatan, tempat sedikitnya 300 orang menggelar protes terhadap tindakan anti Islam.
Sebelumnya pada hari itu, salinan Al Quran dibakar di Kota Malmo oleh beberapa ekstremis sayap kanan.
Menurut laporan surat kabar Aftonbladet, protes anti Islam terjadi setelah pemimpin partai politik sayap kanan Denmark, Rasmus Paludan, ditolak izinnya untuk mengadakan pertemuan di Kota Malmo dan dihentikan di perbatasan Swedia.
Tidak lama berselang, majalah satire Prancis, Charlie Hebdo, kembali mempublikasikan karikatur Nabi Muhammad---yang memicu kemarahan umat Muslim---untuk menandai dimulainya persidangan bagi terduga pembantu penyerangan terhadap kantor majalah tersebut pada 2015.
Satu diantara sejumlah karikatur tersebut, yang kebanyakan dipublikasikan terlebih dahulu oleh surat kabar Denmark pada 2005 dan baru diterbitkan oleh Charlie Hebdo setahun kemudian, adalah gambaran Nabi Muhammad mengenakan serban menyerupai bom.
Bagi umat Muslim, penggambaran apapun atas Nabi Muhammad dianggap sebagai penistaan.
Kartun Charlie Hebdo Menghina Istri Emmanuel Macron
Majalah satir Charlie Hebdo sempat berulah lagi. Di masa lalu, terbitan mereka menampilkan kartun hinaan Down Syndrome terkait Aylan Kurdi, bocah pengungsi Suriah yang meninggal karena tenggelam dalam perjalanan pengungsian.
Nama Charlie Hebdo mendunia ketika menerbitkan kartun-kartun yang mengolok-olok Nabi Muhammad sehingga mengundang kemarahan dari kaum Muslim sedunia.
Akibatnya, dua orang ekstremis bernama Cherif dan Said Kouachi kemudian menyerbu kantor Charlie Hebdo di Paris pada 7 Januari 2015 dan menewaskan 12 orang.
Dikutip dari The Local pada Jumat (12/5/2017), korban mereka berikutnya adalah Brigitte Macron, istri presiden terpilih Prancis, Emmanuel Macron (39). Brigitte berusia 24 tahun lebih tua daripada suaminya.
Sindiran Charlie Hebdo kepada Brigitte Macron sendiri sudah dimulai sejak mulainya kampanye pemilihan presiden.
Emmanuel Macron berkomentar melalui harian Le Parisien tentang adanya tulisan terkait hubungannya yang dituding menjurus kepada "misogini."
Katanya, "Kalau saya berusia 20 tahun lebih tua daripada istri saya, tak satupun orang yang menganggap saya tak mampu menjadi pasangan yang intim."
"Karena ia berusia 20 tahun lebih tua daripada saya, banyak orang bilang, 'Hubungan ini tidak bertahan lama, hubungan ini tidak mungkin.'"
Walaupun sekarang Macron telah terpilih sebagai presiden baru Prancis, komentar-komentar tentang istrinya belum mereda. Ulah teranyar Charlie Hebdo menjadi buktinya.
Halaman depan terbitan Charlie Hebdo menggambarkan Brigitte Macron sedang memegang perutnya yang digambarkan seperti sedang hamil tua.
Teks pengantarnya berbunyi, "Dia (Emmanuel) akan menciptakan mukjizat." Kartun itupun dijadikan gambar profil laman Facebook milik akun Charlie Hebdo.
Unggahan di Facebook itu meraup 'like' dari 3.500 orang, tapi dunia Twitter dipenuhi tudingan bahwa terbitan itu bersifat "seksis."
Seorang pengguna Twitter menuliskan, "Seharusnya kamu bisa lebih sopan mengatakan 'Brigitte sudah tua, LOL.'"
Akun lain menuliskan, "Kalau kamu melakukan hal yang sama pada kaum pria yang memiliki istri yang lebih muda, mungkin bisa sedikit mengubah keadaan."
Sejumlah pengguna lain menyebutnya sebagai misogini dan seksisme yang dilontarkan tiap hari terkait usia Brigitte Macron.
Bukan hanya media sosial Prancis yang menuding hadirnya seksisme. Beberapa situs berita menyebutkan bahwa guyonan-guyonan itu harus dihentikan. Buzzfeed France menulis, "Kami tidak memberikan suara untuk guyonan tentang usia istri Macron."
Bahkan Madonna ikut bersuara melalui akun Instagram miliknya, "…Ibu Negara berusia 24 tahun lebih tua dari suaminya dan tidak ada di Prancis yang usil tentang perbedaan usia mereka atau bersikeras agar Brigitte 'berperilaku sesuai usianya'. Vive Le France!"
Advertisement