Liputan6.com, Vatikan - Paus Fransiskus memecah kebisuannya atas protes antipemerintah yang belum kunjung berhenti di Iran. Ia mengkritik penerapan hukuman mati dan pernyataannya disebut melegitimasi serangkaian unjuk rasa sebagai aksi demi martabat perempuan.
Pernyataan Paus Fransiskus tersebut disampaikan dalam pidato tahunan yang lazim disampaikan pada awal tahun di hadapan para perwakilan asing. Momen tersebut digunakan oleh paus untuk menguraikan isu-isu yang menjadi perhatian takhta suci Vatikan.
Baca Juga
Dalam permulaan pidatonya, Paus Fransiskus mengaitkan penentangan Vatikan terhadap aborsi dengan penentangan terhadap hukuman mati. Dia mengatakan, keduanya merupakan pelanggaran terhadap hak fundamental untuk hidup.
Advertisement
"Hak untuk hidup terancam di tempat-tempat di mana hukum mati masih diterapkan, seperti yang terjadi akhir-akhir ini di Iran, menyusul demonstrasi yang menuntut penghormatan yang lebih besar terhadap martabat perempuan," ungkap Paus Fransiskus seperti dikutip dari AP, Selasa (10/1/2023).
Dia menambahkan, "Hukuman mati tidak dapat diterapkan... karena tidak menimbulkan efek jera atau memberikan keadilan bagi para korban, melainkan hanya mengobarkan rasa haus akan balas dendam."
Paus Fransiskus sendiri telah mengubah ajaran gereja tentang hukuman mati. Ia memutuskan bahwa hukuman mati tidak dapat diterima dalam segala situasi.
Apa yang disampaikan Paus Fransiskus tersebut menandai pernyataan publik pertamanya tentang protes antipemerintah yang meletus di Iran pascatewasnya Mahsa Amini.Perempuan usia 22 tahun itu kehilangan nyawa setelah ditahan polisi moral karena dituduh melanggar aturan berpakaian yang ketat.
3 Vonis Mati Terbaru
Iran menghukum mati tiga orang yang dituduh membunuh tiga anggota pasukan keamanan selama protes antipemerintah berlangsung. Demikian diumumkan pengadilan setempat.
"Saleh Mirhashemi, Majid Kazemi dan Saeed Yaghoubi dijatuhi hukuman mati atas tuduhan "moharebeh" atau mengobarkan "perang melawan Tuhan" di bawah hukum syariah Islam Iran," lapor Mizan Online.
Selain itu, mereka semua juga dinyatakan bersalah menjadi bagian dari "kelompok kriminal dengan maksud mengganggu keamanan negara", dakwaan yang diancam hukuman penjara 10 tahun.
Dengan vonis terbaru tersebut, yang masih bisa diajukan banding, total jumlah orang yang dijatuhi hukuman mati terkait demonstrasi menjadi 17. Empat dari mereka telah dieksekusi dan dua lainnya dalam antrean.
Sementara itu, dua orang lainnya dijatuhi hukuman penjara atas insiden kematian tiga anggota pasukan keamanan di Provinsi Isfahan pada 16 November. Salah satunya adalah pesepakbola profesional Amir Nasr-Azadani. Dia menerima hukuman total 26 tahun penjara dengan tiga tuduhan berbeda termasuk membantu "moharebeh".
Kasus Nasr-Azadani dan risiko dia dijatuhi hukuman mati telah menimbulkan kekhawatiran di luar negeri, terutama oleh FIFPRO, persatuan pesepakbola profesional dunia.
Advertisement
Eksekusi Terbaru
Pada Sabtu (7/1), Iran mengeksekusi Mohammad Mehdi Karami dan Seyed Mohammad Hosseini karena membunuh seorang anggota pasukan paramiliter pada November 2022 di Karaj barat Teheran.
Dua pria lainnya, Mohsen Shekari dan Majidreza Rahnavard, juga dihukum mati pada Desember setelah dinyatakan bersalah melakukan serangan terpisah terhadap pasukan keamanan.
Eksekusi telah memicu kemarahan global dan sanksi baru terhadap Teheran.
Kedua Setelah China
Kelompok hak asasi Amnesty International yang berbasis di London mengungkapkan bahwa Iran berada di urutan kedua setelah China dalam penggunaan hukuman mati, dengan setidaknya 314 orang dieksekusi pada tahun 2021. Demikian seperti dikutip dari france24.
Pihak berwenang Iran mengatakan ratusan orang, termasuk anggota pasukan keamanan, tewas dan ribuan lainnya ditangkap selama protes antipemerintah yang umumnya mereka labeli "kerusuhan".
Teheran menuduh kerusuhan dipicu disokong oleh kelompok oposisi dan negara asing yang bermusuhan.
Advertisement