Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat kini sedang menghadapi krisis narkoba jenis fentanyl. Berdasarkan data CDC, ada 150 orang meninggal setiap harinya akibat overdosis fentanyl.
Pejabat pemerintah AS pun meminta pemerintah Indonesia dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk waspada. Pasalnya, korban kematian akibat fentanyl bukan hanya orang dewasa, anak-anak AS juga jadi korban tewas.
Advertisement
Baca Juga
Fakta mengerikan itu diungkap oleh pejabat Biro Narkotika Internasional dan Penegakan Hukum AS, Lisa Johnson, yang sedang berkunjung ke Indonesia.
"Anak-anak mungkin mencobanya agar mereka begadang saat belajar, mereka mencoba satu, kemudian mereka meninggal. Anak-anak itu meninggal di meja mereka," ujar Lisa Johnson di Kedutaan Besar AS, Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Johnson berkata anak-anak kemungkinan tidak tahu apa itu fentanyl dan mengiranya hanya sebagai obat biasa.
National Institute on Drug Abuse (NIDA) menyebut fentanyl adalah sejenis opioid analgesic sintesik yang mirip dengan morfin, tetapi bisa 100 kali lebih kuat. Biasanya, fentanyl digunakan untuk meredakan nyeri, tetapi disalahgunakan.
Saat ini, Lisa Johnson berkata belum ada masalah narkoba jenis fentanyl di Indonesia, tetapi pemerintah dan BNN diminta hati-hati agar obat tersebut tidak masuk ke Indonesia.
"Kalian beruntung karena saya pikir fentanyl belum ada di Indonesia sekarang, tetapi hati-hati," ucap Lisa Johnson.Â
"Ini amat mematikan, amat berbahaya, 10 kali lebih mematikan dari heroin. Itu yang kami hadapi saat ini. Jadi penting bahwa pemerintah Indonesia juga memahami ancaman opioid sintetik dan terutama fentanyl dan memastikan agar bahan-bahan kimia itu tidak masuk negara ini," ujarnya.Â
Selain itu, Lisa Johnson mengaku sudah berbicara dengan orang-orang BNN ketika mengunjungi lokasi rehabilitasi.Â
"Saya sudah membahas tentang bahaya opioid sintetik dan fentanyl," ujarnya.
Â
Â
Berbagai Bentuk Fentanyl
Fentanyl ilegal bisa dijual sebagai pil, tetes mata, hingga semprotan hidung. Fentanyl menjadi favorit pengedar karena bisa memicu orang teler meski hanya sedikit.
Lisa Johnson menjelaskan bahwa kebanyakan fentanyl dibuat di Meksiko, namun itu bukan berarti tak akan ada di Indonesia sebab obatnya bisa dibuat di mana-mana.Â
Pemakai obat ini bisa memberikan efek gembira, mengantuk, bingung, hingga kehilangan kesadaran. Obat ini berbahaya karena membuat kecanduan.Â
Lisa Johnson menjelaskan bahwa krisis fentanyl ini sangat merugikan AS karena korbannya banyak usia produktif 18-49 tahun. Selain itu, keluarga dari pecandu juga mengalami kerugian.Â
"Jadi ini ada dampak ke angkatan kerja, tetapi juga berdampak pada keluarga. Keluarga harus mengurus seseorang dengan penyakit penyalahgunaan obat, (dan) apabila tulang punggung keluarga juga kecanduan. Ini adalah masalah besar," ujar Lisa Johnson.
Terkait BNN, Lisa Johnson juga bertemu pegawai BNN di Batam. Lisa mengunjungi Batam untuk memantau pelatihan Bakamla melawan kejahatan transnasional, seperti penyelundupan narkoba.
"Saya bertemu beberapa wanita dari BNN yang bekerja di lokasi rehabilitasi," ucapnya.
Ia pun sempat berkumpul dengan perwakilan wanita dari lembaga penegakan hukum Indonesia, termasuk Kejaksaan dan BNN. Lisa Johnson pun memuji kehadiran wanita di lembaga penegakan hukum sebagai hal yang positif di lembaga tersebut dan masyarakat.
Advertisement
Polisi Tangkap Pasutri Produsen Pil Ekstasi di Kampung Narkoba Pekanbaru
Sementara itu, permukiman di Jalan Pangeran Hidayat, Pekanbaru, yang dulunya disebut sebagai 'Kampung Narkoba', ternyata belum sepenuhnya lepas dari peredaran barang haram tersebut. Indikasinya adalah penangkapan pasangan suami istri (pasutri), Sa dan Pe, oleh Satuan Reserse Narkoba Polresta Pekanbaru.
Keduanya tidak hanya mengedarkan pil ekstasi tapi juga sebagai peracik dan pencetak. Sebanyak 73 pil haram siap jual disita petugas sebagai barang bukti.Â
Kepala Polresta Pekanbaru Komisaris Besar Pria Budi SIK menjelaskan, penangkapan Pe dan Sa berawal dari tertangkapnya pengedar narkoba dengan barang bukti 60 pil ekstasi. Pengedar ini mengaku mendapatkan barang dari kedua tersangka di Jalan Pangeran Hidayat.
Petugas mendatangi tempat tinggal kedua tersangka. Sa yang berumur 58 tahun dan Pe yang berumur 48 tahun ditangkap tapi petugas tidak menemukan narkoba di badan keduanya.
"Kemudian digeledah rumahnya, ternyata keduanya memproduksi pil ekstasi," kata Pria.
Dalam kasus home industry ekstasi ini, petugas menyita 35 item barang bukti, mulai dari puluhan ekstasi berbagai warna dan logo, bahan pembuat ekstasi, pencetak, hingga pembuat logo.
Â
Â
Ancaman Seumur Hidup
Kepala Polresta Pekanbaru Komisaris Besar Pria Budi SIK menyebut keduanya sudah ditahan di Polresta Pekanbaru. Pemeriksaan terus dilakukan untuk mengetahui kemana saja tersangka memasarkan hasil buatannya dan berapa uang yang dihasilkan.
"Termasuk sudah berapa lama menjalankan bisnis ini, urine kedua tersangka positif menggunakan sabu dan ekstasi," tegas Pria.
Turut pula disita puluhan gram serbuk beragam warna diduga ekstasi yang belum dicetak. Ada pula senjata jenis air soft gun, obat sakit kepala, diduga sebagai bahan, dan sejumlah alat komunikasi.
"Alat pencetak pil ekstasi ada ratusan, ada juga pewarna cair," ujar Pria.
Penyidik menjerat kedua tersangka dengan Pasal 114 juncto Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ancaman hukuman paling berat adalah mati atau seumur hidup dan paling lama 20 tahun penjara.
Advertisement