Liputan6.com, Singapura - Keberadaan flight recorder atau perekam penerbangan penerbangan menjadi kunci untuk menguak penyebab petaka Yeti Airlines. Oleh karenanya, unit tersebut harus diekstraksi agar datanya dapat digunakan memecah misteri pesawat jatuh di Nepal itu.
The Ministry of Transport (MOT) atau Kementerian Transportasi Singapura membantu otoritas Nepal untuk mengambil dan memproses pembacaan data dari perekam penerbangan penerbangan Yeti Airlines 691, yang jatuh di Pokhara pada 15 Januari.
"Ini atas permintaan otoritas investigasi di Nepal," kata juru bicara kementerian dalam sebuah pernyataan pada Kamis 26 Januari 2023 seperti dikutip dari Channel News Asia (CNA).
Advertisement
Proses tersebut akan dilakukan di fasilitas pembacaan perekam penerbangan Biro Investigasi Keselamatan Transportasi (TSIB) Kementerian Perhubungan, yang didirikan pada tahun 2007.
"Semua informasi terkait penyelidikan, termasuk kemajuan penyelidikan dan temuan, akan ditangani oleh otoritas penyelidikan Nepal," kata juru bicara itu.
Flight recorder atau perekam penerbangan yang umumnya dikenal sebagai black box (kotak hitam), adalah alat perekam elektronik yang ditempatkan di pesawat untuk membantu penyelidikan kecelakaan dan insiden penerbangan.
Perangkat tersebut mempertahankan suara mesin, peringatan instrumental, dan rekaman audio lainnya selama penerbangan. Ada juga cockpit voice recorder (perekam suara kokpit) yang menangkap dan menyimpan sinyal audio dari mikrofon dan earphone headset yang digunakan pilot.
Kathmandu Post melaporkan pada hari Rabu bahwa tim investigasi beranggotakan tiga orang akan membawa perekam data penerbangan dan perekam suara kokpit ke Singapura.
Pemeriksaa Gratis dari Singapura
Mengutip Buddhi Sagar Lamichhana, sekretaris bersama di kementerian pariwisata Nepal, tim disebut akan berangkat ke Singapura pada Jumat 27 Januari 2023, dengan pemeriksaan diperkirakan akan memakan waktu setidaknya seminggu.
Awalnya, kotak hitam disarankan dibawa ke Prancis, tempat pembuatan pesawat ATR 72.
Pada Februari 2020, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kebudayaan, Pariwisata, dan Penerbangan Sipil Nepal menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) tentang Kerja Sama Terkait Kecelakaan Pesawat dan Investigasi Insiden.
“MOU tersebut mencakup penggunaan fasilitas dan peralatan investigasi, termasuk fasilitas pembacaan perekam penerbangan, pelatihan, dan lampiran pengamat,” kata juru bicara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kebudayaan, Pariwisata, dan Penerbangan Sipil Nepal.
"Pemeriksaan kotak hitam di Singapura gratis," kata Kathmandu Post mengutip Lamichhane.
Penerbangan 691 membawa 72 penumpang ketika jatuh ke jurang saat mendekati Bandara Internasional Pokhara yang baru dibuka. Para pejabat mengatakan tidak ada yang selamat.
Penyebab kecelakaan udara - yang terburuk di Nepal dalam 30 tahun - sejauh ini belum ditentukan.
Advertisement
Mengapa Terbang di Nepal Berisiko Tinggi?
Pesawat Yeti Airlines yang mengangkut 72 orang jatuh di Sungai Seti, Nepal, pada Minggu, 15 Januari 2023. Maskapai domestik di Nepal itu sebelumnya terbang dari ibu kota Nepal, Kathmandu, menuju bandara baru di Pokhara yang baru saja dibuka.
Di antara penumpang pesawat ATR-72 bermesin ganda itu, 15 di antaranya adalah turis asing. Mereka terdiri dari empat warga Rusia, korban warga negara asing lainnya adalah lima warga India, dua warga Korea Selatan, satu dari Argentina, satu dari Prancis, seorang warga Australia, dan seorang berkebangsaan Irlandia.
Insiden itu tercatat sebagai kecelakaan udara terburuk di Nepal selama hampir tiga dekade. Belum jelas apa penyebab pesawat jatuh di Nepal, namun kotak hitam telah ditemukan.
Nepal memiliki sejarah kecelakaan penerbangan yang fatal, seringkali disebabkan landasan pacu yang jauh dan perubahan cuaca yang tiba-tiba yang memicu kondisi bahaya. Kurangnya investasi untuk pesawat baru dan regulasi yang buruk disebut juga menjadi penyebab kecelakaan di masa lalu.
Selain itu, Nepal yang merupakan rumah bagi sejumlah gunung paling menakjubkan di dunia adalah medan yang paling sulit untuk dinavigasi. Mengutip dari laman resmi Aviation Nepal, Senin (16/1/2023), terdapat larangan untuk maskapai komersial menghindari jalur udara yang terbang langsung di atas Gunung Everest atau Himalaya secara keseluruhan.
Himalaya adalah rangkaian pegunungan yang merupakan puncak tertinggi di dunia, termasuk Gunung Everest. Pegunungan Himalaya memiliki ketinggian lebih dari 20.000 kaki, dengan Gunung Everest sebagai gunung tertinggi di seluruh dunia, berdiri setinggi 29.037 kaki di atas permukaan laut.
Oksigen Tipis
Sebagian besar maskapai penerbangan terjadwal menghindar mengambil rute terbang di atas Gunung Everest. Pasalnya, pesawat jet terbang optimal di ketinggian 35.000 hingga 40.000 kaki, sedangkan ketinggian Gunung Everest berada di dalam ketinggian jelajah pesawat jet.
Untuk memastikan jarak aman di atas Pegunungan Himalaya, pilot diharuskan terbang ke bagian bawah stratosfer. Berdasarkan suhu, stratosfer terletak di atas cuaca bumi yang tingkat udaranyanya sangat rendah. Kadar oksigennya juga tipis.
Penjelasan lain mengapa terbang di kawasan ini begitu berisiko adalah karena saat udara kurang padat pada ketinggian tertentu. Akan tiba saatnya udara yang cukup tidak dapat melewati mesin dan tidak ada cukup tenaga yang dihasilkan untuk menaiki pesawat tidak ada dorongan yang cukup.
Terbang di Everest berarti tingkat oksigennya berkurang. Kondisi itu dapat menyebabkan hipoksia, karenanya kesadaran situasional yang tidak memadai dari penumpang dan anggota awak.
Kadar oksigen rendah dapat memicu turbulensi udara. Turbulensi menjadi sumber utama kecemasan dan ketidaknyamanan bagi penumpang udara.
Risiko Turbulensi
Pergerakan udara yang kacau menyebabkan pesawat berguling, yaw atau pitch. Yang menambah ketidaknyamanan, kecepatan angin juga sangat besar di area itu, ditambah keberadaan pegunungan menyebabkan sulitnya pesawat bermanuver
Turbulensi udara tidak dapat dilihat oleh mata dan sulit ditangkap radar, sehingga sulit untuk menemukannya. Turbulensi udara bersih tidak sepenuhnya dapat diprediksi dan terjadi di Everest, lantaran terjadi di atas ketinggian 15.000 kaki yang disebabkan oleh fluktuasi kecepatan udara di mesin jet. Hal ini dapat berkontribusi pada kecelakaan di dalam kabin.
Penumpang dapat terlempar keluar kabin akibat tidak mengenakan sabuk pengaman saat pesawat bergerak melalui turbulensi. Gunung Everest menciptakan gelombang gunung ke bawah dari pegunungan, yang dapat menciptakan fluktuasi kinerja pesawat, yang dapat memberikan gerakan goyang ke pesawat.
Himalaya dan Gunung Everest memiliki ekosistem sekitar yang terbilang terjal, tertutup salju, dan hampir tidak ada permukaan datar. Akibatnya, ada risiko penurunan tekanan di kabin secara tiba-tiba. Pesawat juga berisiko tinggi melakukan pendaratan darurat karena tidak ada daratan yang datar dan dikelilingi pegunungan. Enam+
Tidak Ada Korban WNI dalam Kecelakaan Pesawat di Nepal
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Teuku Faizasyah mengonfirmasi bahwa tidak ada warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban dalam kecelakaan pesawat di Nepal.
"Info KBRI Dhaka, tidak ada korban WNI," kata Faizasyah kepada Liputan6.com, Senin (16/1/2023).
Sementara itu, Perdana Menteri Nepal Pushpa Kamal Dahal menyatakan Senin sebagai hari berkabung nasional. Dia mengatakan, pemerintah akan membentuk panel untuk menyelidiki penyebab kecelakaan pesawat. Demikian seperti dilansir BBC.
Pesawat Yeti Airlines dengan rute Kathmandu ke Pokhara yang jatuh pada Minggu (15/1), mengangkut 72 orang termasuk empat awak kabin. Adapun 15 orang penumpangnya tercatat sebagai warga negara asing, yaitu lima orang India, empat orang Rusia, dua warga Korea Selatan, dan masing-masing satu warga Irlandia, Australia, Argentina, dan Prancis.
Rekaman ponsel menunjukkan pesawat meluncur tajam saat mendekati bandara. Khum Bahadur Chhetri, seorang penduduk setempat, mengatakan kepada Reuters bahwa dia sempat mengamati pesawat dari atap rumahnya saat mendekati bandara.
"Saya melihat pesawat bergetar, bergerak ke kiri dan ke kanan, lalu tiba-tiba menukik dan jatuh ke jurang," tambahnya.
Advertisement