Liputan6.com, Berlin - Ribuan orang ambil bagian dalam demonstrasi di Berlin pada Sabtu (25/2/2023), untuk memprotes pemberian lebih banyak senjata ke Ukraina. Mereka mendesak pemerintah Jerman mengurangi krisis dengan membuka jalan negosiasi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Polisi memperkirakan ada 13.000 orang berpartisipasi dalam aksi yang diorganisir oleh Sahra Wagenknecht dari Partai Links dan juru kampanye feminis veteran Alice Schwarzer di Gerbang Brandenburg tersebut. Sementara itu, penyelenggara mengklaim jumlah partisipan jauh lebih besar, yakni 50.000 orang.
Baca Juga
Demonstrasi serupa dilaporkan juga terjadi di sejumlah kota lainnya di Jerman.
Advertisement
Dalam pidatonya, Wagenknecht mengatakan, para demonstran telah dipersatukan oleh fakta bahwa mereka tidak merasa diwakili oleh pemerintah Kanselir Olaf Scholz dan menteri luar negerinya Annalena Baerbock atas keputusan penyediaan senjata kepada Ukraina.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan: 'Helm hari ini, tank besok, lusanya anak-anakmu,' - itu mengacu pada cara pemerintah koalisi meningkatkan dukungan militernya untuk Ukraina, yakni pada awalnya menyumbangkan 5.000 helm dan baru-baru ini setuju untuk mengirimkan tank Leopard II.
Spanduk lain berbunyi: "Diplomaten statt Grenaten (Diplomat bukan granat)", "Hentikan Pembunuhan" dan "Bukan Perangku, Bukan Pemerintahku".
"Kita seperti budak perang dan penghasut perang," kata Norbert, seorang mantan tentara, yang menolak memberikan nama belakangnya seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (26/2).
Norbert memegang spanduk bertuliskan "Musuh sebenarnya duduk di Kota London dan New York", yang menurutnya adalah referensi kepada kekuatan keuangan yang dia yakini berada di balik perang dan tidak tertarik untuk mengakhirinya.
Jerman, tegas Norbert, tidak berhak ikut serta dalam perang lain pasca Perang Dunia II.
Baerbock Dicap Paling Bertanggung Jawab
Menlu Baerbock diyakini oleh para demonstran sebagai anggota pemerintah yang paling bertanggung jawab karena menyeret Jerman lebih dalam ke konflik Ukraina versus Rusia. Peserta aksi yang marah meneriakkan "Baerbock raus" atau "Baerbock keluar" selama dan pada akhir pidato Wagenknecht.
Kanselir Scholz dan Marie-Agnes Strack-Zimmermann dari Free Democratic Party (FDP), yang menjabat sebagai kepala komite pertahanan Bundestag, juga dikritik. Marie-Agnes Strack-Zimmermann telah menekan pemerintah untuk memberikan lebih banyak dukungan militer bagi Ukraina.
Wagenknecht mengatakan motivasi utamanya adalah untuk mengakhiri penderitaan dan kematian yang mengerikan di Ukraina. Tapi, itu berarti menawarkan negosiasi kepada Rusia, katanya, alih-alih perang tanpa henti dengan senjata yang lebih baru.
Ketakutan masa kecilnya akan perang nuklir, sebut Wagenknecht, telah dihidupkan kembali oleh konflik saat ini.
Dua minggu lalu Wagenknecht dan Schwarzer menerbitkan "Manifest for Peace", di mana mereka mendesak Kanselir Scholz menghentikan eskalasi pengiriman senjata. Sejauh ini, manifesto tersebut telah ditandatangani oleh sekitar 650.000 orang, termasuk intelektual dan tokoh politik terkemuka.
Advertisement
Aksi Tandingan
Pada saat bersamaan, sekelompok kecil orang Ukraina menggelar aksi di luar Kedutaan Besar Rusia. Salah satunya membawa poster bertuliskan "Tidak mengirimkan senjata ke Ukraina sama dengan mendukung genosida".
"Ide negosiasi itu naif. Bagaimana Anda bernegosiasi dengan musuh kemanusiaan seperti itu? Anda tidak dapat berbicara dengan mereka seperti orang normal. Putin adalah Hitler kedua," ujar Roman Overko dari Kota Lviv, Ukraina, yang sekarang tinggal di Berlin.
Hal senada diungkapkan oleh Yevhen Titarenko, seorang sutradara film Ukraina di Berlin yang memproduksi film dokumenter "Eastern Front", yang diambil di garis depan perang.
"Para demonstran mengatakan mereka adalah pasifis. Ya, aku juga seorang pasifis. Tapi bayangkan seseorang mencoba mendobrak pintu Anda, jika Anda tidak membalas, mereka hanya akan membunuh Anda, mengambil semua yang Anda miliki, memperkosa istri Anda, membunuh anak-anak Anda. Membuat kesepakatan dengan orang tua gila secara klinis tidak masuk akal," ungkap Titarenko merujuk pada Rusia dan Putin.