Liputan6.com, Jakarta - Gerakan "mobilisasi" dari Presiden Rusia Vladimir Putin merupakan kebijakan wajib militer yang ia luncurkan di tengah invasi ke Ukraina. Media-media Barat sebelumnya melaporkan bagaimana laki-laki Rusia memilih kabur ke luar negeri ketimbang ikut perang.
Hal serupa dilaporkan terjadi di Crimea, wilayah Ukraina yang dianeksasi Rusia pada 2014. Para Muslim yang ada di Crimea lantas memilih hijrah ketimbang ikut perang.
Advertisement
Baca Juga
"Untuk menghindari mobilisasi Rusia, atau kampanye wamil, mereka lari dari Crimea," ujar aktivis HAM dan Perwakilan Permanen Presiden Ukraina di Crimea, Tamila Tasheva, kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
"Dan hanya satu jalan untuk melarikan diri dari Crimea, yakni melalui wilayah Rusia, kemudian mereka menyeberangi perbatasan, dan tentu pergi ke negara-negara berbeda, terutama sayangnya ke negara-negara Asia Tengah di mana mereka dideportasi pada 1944," ucap Tasheva.
Sejarah mencatat deportasi massal dilakukan Uni Soviet kepada kelompok Tatar Crimea pada 1944. Situs Ukraine Crisis Media Center menyebut setidaknya ada 191 ribu orang Tatar Crimea terusir dari tanah air mereka sendiri karena kebijakan Soviet tersebut.
Situs itu mencatat nyaris 8.000 warga Tatar Crimea meninggal selama deportasi, sementara puluhan ribu lainnya meninggal akibat kondisi eksil. Mereka dibawa ke Uzbekistan yang dulu dikuasai Soviet.
Tasheva berkata kondisi yang terjadi sekarang tragis karena warga Tatar itu baru kembali ke Crimea ketika Ukraina merdeka, tetapi kini mereka harus pergi lagi ke negara orang.
Warga Crimea itu memilih negara-negara Asia Tengah karena faktor bahasa dan agama.
"Karena mereka paham bahasanya, dan karena komunitas-komunitas Muslim di negara-negara tersebut. Warga Tatar Crimea adalah Muslim. Sunni Muslim. Dan bagi orang-orang itu atmosfernya lebih baik. Mereka juga lari ke Turkiye. Dan Georgia. Dan tentunya ke negara-negara Eropa," jelas Tasheva.
Arab Saudi Siapkan Dana Rp6,1 Triliun untuk Bantu Ukraina
Sebelumnya dilaporkan, pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan Ukraina menandatangani sebuah memorandum of understanding (MoU) terkait dana bantuan yang mencapai US$400 juta atau setara Rp6,1 triliun. Bantuan itu telah dijanjikan Arab Saudi sejak akhir tahun lalu.
Berdasarkan laporan Arab News, Senin (27/2/2023), Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) memberikan janji bantuan kemanusiaan itu pada Oktober 2022 ketika berbincang dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky via telepon.
Tanda tangan MoU dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan, serta Andriy Yermak yang merupakan kepala kantor kepresidenan di Ukraina.
Pada Minggu (26/2), Presiden Volodymyr Zelensky juga bertemu dengan Pangeran Faisal di Kyiv. Pangeran Faisal menegaskan bahwa Arab Saudi bekerja dengan Ukraina untuk memitigasi efek ekonomi di tengah konflik yang terjadi.
Abdullah Al-Rabeeah juga ikut menandatangani perjanjian tersebut. Ia merupakan penasihat kerajaan Arab Saudi dan supervisor general dari Kim Salman Humanitarian Aid and Relief Center. Deputi perdana menteri Ukraina Oleksandr Kubrakov juga ikut tanda tangan.
Perjanjian itu juga terkait dengan pendanaan sektor energi Ukraina.
Saudi Press Agency menyebut penandatanganan itu mencerminkan dukungan Kerajaan Arab Saudi kepada Ukraina di tengah hadapan tantangan sosial dan ekonomi.
Pangeran Faisal juga berkata pihaknya berusaha agar konflik segera reda.
"Kami terus mendiskusikan kesempatan-kesempatan untuk meredakan krisis dengan semua pihak," ujar Menlu Arab Saudi.
Sementara, Pangeran MbS pada pekan lalu sempat kembali berbincang dengan Presiden Zelensky via telepon. Pangeran MbS berjanji akan terus membantu Ukraina dari sisi kemanusiaan.
Advertisement
Ukraina dan Kripto
Ukraina telah menerima lebih dari US$ 70 juta atau sekitar Rp 1,06 triliun (asumsi kurs Rp 15.279 per dolar AS) mata uang kripto sejak dimulainya konflik Rusia-Ukraina. Dana tersebut disediakan untuk peralatan militer dan bantuan kemanusiaan bagi negara tersebut.
Angka-angka tersebut berasal dari laporan Platform data blockchain Chainalysis, yang menemukan sebagian besar dana datang dalam bentuk Ether (ETH) US$ 1.640 dan Bitcoin (BTC) USD 23.551.
Donasi ETH memimpin dengan angka pemberian US$ 28,9 juta. Sementara donasi BTC dan Tether masing-masing menyumbang US$ 22,8 juta dan US$ 11,6 juta. Sumbangan juga datang dalam bentuk token yang tidak dapat dipertukarkan, seperti lelang NFT bendera Ukraina DAO yang dijual seharga US$ 6,1 juta.
Sekitar 80 persen dari total US$ 70 juta yang disumbangkan berasal dalam beberapa bulan pertama perang terjadi, dengan kecepatan pembayaran mata uang kripto mempercepat kemampuan negara untuk menanggapi invasi Rusia.
"Jika kami menggunakan sistem keuangan tradisional, itu akan memakan waktu berhari-hari. Kami dapat mengamankan pembelian barang-barang penting dalam waktu singkat melalui kripto, dan yang menakjubkan adalah sekitar 60% pemasok dapat untuk menerima crypto, saya tidak mengharapkan ini," kata Wakil Menteri Transformasi Digital Ukraina Alex Bornyakov dalam wawancara dengan Yahoo Finance, dikutip dari Cointelegraph, Senin (27/2/2023).
Menurut cuitan Wakil Perdana Menteri Ukraina, Mykhailo Fedorov, sebagian besar pembayaran mata uang kripto ke kementerian digital telah digunakan untuk mendanai peralatan militer negara, pakaian lapis baja, dan berbagai kendaraan serta obat-obatan.
Ketergantungan yang meningkat pada mata uang kripto di Ukraina tampaknya telah meningkatkan adopsi di negara tersebut, dengan laporan September oleh Chainanalysis menemukan orang Ukraina sebagai pengadopsi tertinggi ketiga, di belakang Vietnam dan Filipina.
Rusia Juga Cari Kripto
Ternyata, kelompok militer pro-Rusia juga telah menggunakan mata uang kripto untuk mendanai upaya perang mereka, termasuk menggunakan sumbangan kripto untuk mendanai pembelian militer, menyebarkan disinformasi, dan membuat propaganda pro-invasi, menurut Chainalysis.
Kemudian, 100 kelompok telah menerima total US$ 5,4 ju
ta selama perang, namun, sumbangan yang masuk telah turun drastis sejak Juli. Tidak jelas apa dampak sanksi terhadap tren penurunan ini, tetapi paket sanksi ke-10 terhadap Rusia diperkenalkan pada 24 Februari.
Sementara itu, laporan kejahatan baru-baru ini oleh Chainalysis menemukan bahwa dari total US$ 456,8 juta pembayaran ransomware pada 2022, sebagian besar dari dana ini diambil oleh “aktor” yang diyakini berbasis di Rusia.
Chainalysis menjelaskan bahwa serangan semacam itu sering digunakan oleh aktor jahat untuk agenda politik, seperti kelompok ransomware pro-konflik Conti yang berbasis di Rusia, yang mendapatkan US$ 66 juta dari para korban pada 2022 dan sebelumnya telah mengumumkan “dukungan penuh” dari pemerintah Rusia.
Advertisement