Bebek Karet Kuning Picu Penangkapan di Thailand Karena Menghina Raja Maha Vajiralongkorn, Lese Majeste Kembali Disorot

Bebek karet kuning telah menjadi simbol demonstransi pro-demokrasi di Thailand pada tahun 2020

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 09 Mar 2023, 15:01 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2023, 15:01 WIB
Mainan pelampung bebek menjadi simbol protes di Bangkok, Thailand. (Photo credit: AFP/Jack Taylor)
Mainan pelampung bebek menjadi simbol protes di Bangkok, Thailand. (Photo credit: AFP/Jack Taylor)

Liputan6.com, Bangkok - Seorang pria Thailand, Narathorn Chotmankongsin (26), dipenjara selama dua tahun karena menjual kalender yang menampilkan komentar satir dan bebek karet kuning. Jaksa mengatakan, perbuatannya itu menghina raja Thailand.

Narathorn ditangkap pada Desember 2020 karena menjual kalender di halaman Facebook pro-demokrasi Ratasadon. Satire politik menampilkan ilustrasi bebek dalam regalia kerajaan dan keterangan kontroversial. Demikian seperti dikutip dari BBC, Kamis (9/3/2023).

Adapun bebek karet kuning telah menjadi simbol demonstransi pro-demokrasi di Thailand pada tahun 2020. Pengunjuk rasa saat itu membawa bebek karet kuning dalam aksinya untuk menambah unsur kesenangan dan ejekan sebagai tanggapan atas taktik pengendalian kerusuhan yang digunakan polisi.

Bebek karet kuning pada saat itu tidak dianggap menyindir monarki, namun jaksa menuduh di persidangan bahwa cara bebek berpakaian yang ditampilkan dalam kalender mencemooh dan mencemarkan nama baik Raja Maha Vajiralongkorn.

Pengadilan pada Selasa menghukum Narathorn tiga tahun, sebelum akhirnya meringankannya menjadi dua tahun.

Narathorn termasuk di antara sekitar 200 orang yang telah ditangkap berdasarkan lese majeste -pasal yang melindungi keluarga kerajaan- sejak tahun 2020. Kritikus menyebut lese majeste sebagai pasal karet yang menindak keras kebebasan berbicara.

HRW: Lese Majeste Dieksploitasi untuk Menekan Perbedaan Pendapat

Demo Thailand
Sejumlah bebek karet muncul di tengah aksi demo Thailand pada 17 November 2020. (MLADEN ANTONOV / AFP)

Human Rights Watch (HRW) mengatakan apa yang menimpa Narathorn menunjukkan bahwa otoritas Thailand menghukum aktivitas apapun yang mereka anggap menghina monarki.

"Kasus ini mengirim pesan ke semua warga Thailand dan ke seluruh dunia bahwa Thailand bergerak lebih jauh dari -bukan lebih dekat- menjadi demokrasi yang menghargai hak," kata Direktur HRW Asia Elaine Pearson.

Kelompok HAM menuduh pemerintah Thailand mengeksploitasi undang-undang lese majeste dalam beberapa tahun terakhir untuk menekan perbedaan pendapat politik.

Protes yang pecah di Thailand pada Juli 2020 dan berlanjut hingga 2021, mengejutkan kaum royalis konservatif karena untuk pertama kalinya, para aktivis menuntut reformasi monarki yang kuat di negara itu. Selama demonstrasi, mereka secara terbuka mengejek anggota keluarga kerajaan.

Thailand sering dikritik baik atas penerapan lese majeste, namun Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha bersikeras bahwa lese majeste diperlukan untuk membela monarki, yang keberadaannya secara resmi dianggap penting bagi identitas nasional Thailand.

Pada Rabu, dua aktivis muda yang saat ini ditahan dengan tuduhan lese majeste memasuki hari ke-50 mogok makan untuk memprotes undang-undang tersebut.

Infografis Demokrasi Indonesia Tidak Membaik
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2016 lebih buruk daripada 2015 (liputan6/abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya