Liputan6.com, Sloviansk - Rusia kembali meluncurkan serangan ke Rusia.
"Setidaknya delapan orang, termasuk seorang balita, tewas dalam serangan rudal Rusia di daerah pemukiman di Kota Sloviansk, Ukraina timur," kata polisi dan gubernur seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (15/4/2023).
Baca Juga
Serangan di lingkungan yang tenang pada Jumat 14 April terjadi ketika Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani undang-undang yang akan mempermudah memobilisasi warga menjadi tentara, dan memblokir mereka untuk melarikan diri dari negara.
Advertisement
Gubernur wilayah Donetsk, Pavlo Kyrylenko mengatakan kepada televisi nasional bahwa tujuh rudal S-300 Rusia telah ditembakkan ke Sloviansk, sebelah barat kota Bakhmut, tempat pertempuran terberat di garis depan Ukraina.
"Sampai sekarang, korban di semua lokasi - 21 orang terluka dan delapan orang tewas," kata Kyrylenko di televisi nasional.
Kyrylenko mengatakan serangan rudal "tidak kurang dari tujuh titik terkena" di Sloviansk, sebelah barat Kota Bakhmut, tempat pertempuran terberat di garis depan Ukraina.
Polisi Ukraina mengatakan di Twitter bahwa seorang anak meninggal di ambulans setelah ditarik keluar dari reruntuhan.
Ibu Negara Ukraina Olena Zelenska mengatakan anak laki-laki itu berusia dua tahun, dan mengirimkan belasungkawa kepada keluarga selama "kesedihan yang tak terlukiskan" ini.
"Keadaan jahat sekali lagi menunjukkan esensinya," tulis Presiden Volodymyr Zelensky dalam sebuah postingan disertai rekaman bangunan yang rusak.
"Baru membunuh orang di siang bolong. Merusak, menghancurkan semua kehidupan."
10 Bangunan Rusak, Warga Panik Ketakutan
Polisi Ukraina mengatakan 10 bangunan rusak dalam serangan itu. Mereka mengatakan dua lantai teratas dari sebuah gedung berlantai lima telah runtuh setelah serangan itu dan kebakaran terjadi di seberang lokasi.
Tim penyelamat menyisir daerah yang terkena dampak.
"Saya tinggal di seberang jalan dan sedang tidur sebentar ketika mendengar ledakan besar ini dan berlari keluar dari flat," kata Larisa, 59 tahun, kepada kantor berita AFP.
"Saya benar-benar takut dan dalam keadaan shock," katanya, seraya menambahkan bahwa dampak penembakan telah memecahkan jendela flatnya dan membuat pecahan kaca beterbangan di seluruh rumahnya.
"Saya mendengar seorang wanita berteriak, 'Ada anak di sini, ada anak di sini.' Dia berteriak begitu keras."
Advertisement
Putin Teken RUU Wajib Militer
Lebih dari setahun setelah Moskow meluncurkan tindakan ofensifnya di Ukraina, muncul kekhawatiran tinggi di Rusia bahwa pemerintah sedang merencanakan gerakan mobilisasi baru setelah sebuah RUU diajukan melalui parlemen minggu ini untuk membuat sistem draf digital.
Di bawah undang-undang, yang ditandatangani Putin pada Jumat 14 April, seorang wajib militer akan dilarang bepergian ke luar negeri dan harus melapor ke kantor pendaftaran setelah surat panggilan elektronik diterima.
Puluhan ribu orang melarikan diri dari Rusia tahun lalu setelah Putin mengumumkan mobilisasi untuk menopang pasukan Moskow di Ukraina.
Serangan terhadap Sloviansk, yang banyak penduduknya telah melarikan diri sejak invasi Rusia, terjadi ketika Moskow mengatakan sedang berusaha untuk merebut lebih banyak Distrik Bakhmut yang porak poranda.
Meskipun memiliki nilai strategis yang kecil, kota ini telah menjadi tempat berkumpulnya para komandan militer, yang menyebabkan gesekan brutal pada perang selama sembilan bulan.
"Unit penyerang Wagner sedang melakukan operasi tempur intensitas tinggi untuk menaklukkan distrik barat kota,” kata tentara Rusia dalam sebuah pernyataan, mengacu pada kelompok paramiliter swasta.
Pasukan lintas udara Rusia "memberikan dukungan kepada regu penyerang dan menghentikan upaya musuh untuk mengirimkan amunisi ke kota dan membawa cadangan", tambahnya.
Sebelumnya pada Kamis 13 April, Moskow mengklaim telah menghentikan pasukan Ukraina di Bakhmut.
Sementara Kyiv membantah klaim tersebut, dengan mengatakan pihaknya memiliki akses ke pasukannya dan dapat mengirimkan amunisi. Ukraina telah berjanji untuk terus membela Bakhmut.
Menlu Rusia Kaitkan Perdamaian di Ukraina dengan New World Order, Tanpa Dominasi AS dan Sesuai Piagam PBB
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov berkata siap melakukan negosiasi dengan Ukraina jika ada "new world order" atau tatanan dunia baru. Lavrov ingin Amerika Serikat tak mendominasi di tatanan tersebut.
Keinginan itu diungkap Menlu Rusia saat berkunjung ke Ankara, Turki, untuk membahas ekspor gandum dari Ukraina. Turki selama ini berperan sebagai penengah di isu ekspor gandum Ukraina agar pelabuhan tak diblokir Rusia.
Dilaporkan euronews, Minggu (9/4/2023), Menlu Lavrov menyebut perlunya ada diskusi prinsip dasar new world order.
"Apa yang harus dibahas adalah prinsip-prinsip tatanan dunia baru yang akan kita perlukan," ujar Menlu Sergey Lavrov.
Ia berkata seharusnya tidak ada tatanan dunia yang sepihak, namun yang berdasarkan prinsip-prinsip Piagam PBB.
"Yang saya tekankan sekali lagi, (Piagam PBB) sedang dilanggar secara langsung oleh perkumpulan Barat," ujarnya.
Sejak tahun lalu, pihak PBB telah mengecam Rusia karena invasi mereka ke Ukraina telah melanggar Piagam PBB.
"Invasi Rusia ke wilayah Ukraina adalah pelanggaran integritas wilayah dan Piagam dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Itu harus berakhir demi rakyat Ukraina, Rusia, dan seluruh dunia," ujar Sekjen PBB António Guterres pada Mei 2022.
Advertisement