Erdogan Jadi Presiden Turki 3 Periode, Ini yang Diprediksi Terjadi

Hasil Pilpres Turki putaran kedua yang berlangsung pada Minggu (28/5/2023) menunjukkan Erdogan meraih lebih dari 52 persen suara, sementara Kemal Kilicdaroglu hanya mampu meraih lebih dari 47 persen suara.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 29 Mei 2023, 13:23 WIB
Diterbitkan 29 Mei 2023, 13:01 WIB
Angkat Bicara, Pejabat Dunia Kecam Kebijakan Trump Soal Yerusalem
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memberi keterangan saat menggelar pertemuan di Ankara, Turki (5/12). Karena kebijakan Trump soal Yerusalem, Erdogan akan memutus semua hubungan diplomatik dengan Israel. (Yasin Bulbul / Pool via AP)

Liputan6.com, Ankara - Konsekuensi kemenangan Recep Tayyip Erdogan (69) dalam Pilpres Turki 2023 dinilai akan bergema hingga ke seluruh dunia. Sosok yang telah memimpin Turki selama 20 tahun terakhir itu menang dengan perolehan lebih dari 52 persen suara, sementara pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu (74) hanya mampu meraih lebih dari 47 persen suara.

Oposisi semula menilai bahwa Pilpres Turki 2023 merupakan momentum untuk menggulingkan Erdogan menyusul sentimen negatif terhadap sejumlah isu, termasuk krisis biaya hidup. Lantas, apa dampak kemenangan Erdogan, khususnya terhadap Turki? Berikut ulasannya seperti dilansir dari berbagai sumber.

Cengkeraman Kekuasaan Erdogan Semakin Ketat

Terpilih kembali melalui Pilpres Turki 2023, otomatis menjadikan Erdogan pemimpin terlama dalam sejarah negara itu. Dan selama itu pula dia disebut telah mengonsolidasikan kekuasaannya melalui perubahan konstitusi, mengikis lembaga-lembaga demokrasi termasuk peradilan dan media, serta memenjarakan lawan dan kritikus.

Peneliti di think tank Chatham House, Galip Dalay, menuturkan bahwa bagi Turki masa jabatan ketiga Erdogan sebagai presiden berarti adalah sebuah "kelanjutan". Di bawah Erdogan, yang pertama kali berkuasa sebagai perdana menteri pada tahun 2003 (peran yang dijalaninya selama 11 tahun sebelum menjadi presiden tahun 2014), Turki dipandang telah mundur ke arah otoritarianisme.

Pada tahun 2018, Freedom House menurunkan status Turki dari negara "sebagian bebas" menjadi "tidak bebas". Human Rights Watch dalam laporannya pada tahun 2022 juga menggarisbawahi kemunduran rezim Erdogan terkait catatan hak asasi manusia (HAM) Turki.

Profesor Geopolitik Eropa di Universitas Carlos III Ilke Toygur menilai bahwa kemenangan Erdogan dalam Pilpres Turki 2023 bisa membuat situasi lebih buruk.

"Saya bahkan mengharapkan sikap yang lebih menakutkan ketika menyangkut demokrasi dan kebijakan luar negeri," kata Toygur.

Pengaruh Islam Semakin Tumbuh

Ilustrasi bendera Turki. (Unsplash)
Ilustrasi bendera Turki. (Unsplash)

Erdogan populer di kalangan pemilih konservatif dan religius. Dia membela hak-hak muslim konservatif setelah puluhan tahun rezim sekuler berkuasa, termasuk mengizinkan perempuan mengenakan jilbab di gedung-gedung publik.

Terbuka lebar peluang bagi Erdogan mengejar kebijakan yang lebih Islamis pada masa mendatang menyusul laporan bahwa dia memperluas aliansinya dengan kelompok-kelompok Islam, seperti Huda Par dan Yeniden Refah sebelum pemilu Turki.

 

Memperbaiki Ekonomi

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (AP/Yasin Bulbul)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (AP/Yasin Bulbul)

Pemilu Turki digelar di tengah krisis ekonomi, yang diperparah oleh gempa dahsyat pada 6 Februari 2023

Ekonom mengatakan kebijakan suku bunga rendah Erdogan mendorong inflasi hingga 85 persen tahun lalu, dengan lira anjlok hingga sepersepuluh nilainya terhadap dolar selama dekade terakhir.

Analis memperkirakan prioritas pertama Erdogan pada masa jabatan terbarunya adalah memperbaiki ekonomi. Meski demikian, tidak ada perubahan signifikan yang diyakini akan terjadi.

"Ada banyak masalah ekonomi di Turki. Jadi, ini adalah titik terlemah rezim Erdogan," kata ekonom Arda Tunca kepada Euronews.

Pasca gempa dahsyat 6 Februari 2023, para penentang Erdogan mengira para pemilih akan "menghukumnya" menyusul respons lamban atas bencana itu.

Namun, putaran pertama pemungutan suara pada 14 Mei menunjukkan hal sebaliknya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan muncul di posisi teratas dalam pemilu parlemen di 10 dari 11 provinsi yang terdampak gempa, membantunya mengamankan mayoritas parlemen bersama dengan sekutunya.

Meskipun Erdogan telah menggunakan nasionalisme untuk mempertahankan popularitasnya, krisis ekonomi tidak mungkin dapat diselesaikan dengan cepat.

 

Rusia Senang, Barat Waswas

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pertemuan pada 29 September 2021. (AP)
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pertemuan pada 29 September 2021. (AP)

Kekalahan Kilicdaroglu, yang berjanji membawa Turki ke jalur yang lebih demokratis dan kolaboratif, diduga kuat akan disambut baik Rusia. Sementara di lain sisi, bisa diratapi Barat mengingat Turki telah mengambil sikap yang lebih konfrontatif dan mandiri dalam urusan luar negeri.

Di bawah Erdogan, Turki telah melenturkan kekuatan militer di Timur Tengah dan sekitarnya, menjalin hubungan lebih dekat dengan Rusia. Sementara itu, hubungan dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat menjadi semakin tegang.

Erdogan disebut melakukan "tindakan penyeimbangan" diplomatik sejak Rusia menginvasi Ukraina, menentang sanksi Barat terhadap Rusia, sementara pada saat yang sama mengirimkan drone ke Kyiv.

Menurut para ahli, Erdogan tidak ingin sepenuhnya memutuskan hubungan dengan Barat. Dia hanya ingin melakukan sesuatu dengan caranya sendiri.

"Turki memisahkan diri dari Barat, meskipun secara spiritual adalah anggota NATO," kata ekonom Arda Tunca.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya