Liputan6.com, Xinjiang - Seorang pria bernama Kusman Rehim ditahan oleh kepolisian Xinjiang karena melakukan pembacaan Al-Qur'an dengan bersenandung di sebuah acara pernikahan. Polisi Xinjiang juga disebut menemukan Al-Qur'an di rumahnya.
Pria itu bernama Kushman Rehim yang berusia 56 tahun. Ia memiliki latar belakang Kazakh.
Baca Juga
Dilaporkan Radio Free Asia, Senin (4/9/2023), Kushman dilaporkan pada 14 Juli lalu. Penangkapannya diungkap oleh kelompok HAM Kazakstan, yakni Atajurt.
Advertisement
"Kusham Rehim ditahan pada 14 Juli," ujar ketua Atajurt, Bekzat Maksutkhan. "Alasan utamanya adalah polisi menemukan sebuah Qur'an di rumahnya."
Lebih lanjut, Bekzat menyorot senandung Rehim dalam sebuah pernikahan.
"Ia melakukan pembacaan Al-Qur'an di rumah orang-orang saat Idul Adha dan ikut terlibat di pernikahan Muslim," kata Bekzat.
Penahanan tersebut dilakukan di tengah kebijakan pemerintah China yang semakin ketat terhadap agama. Di pemerintahan Presiden Xi Jinping, agama-agama di China harus mengikuti aturan Partai Komunis China.
Pembacaan Al-Qur'an seperti yang dilakukan Kusham Rehim telah dilarang pemerintah sejak 2017, saat itu pemerintah China sedang jor-joran menangkap kelompok Uyghur dan grup etnis lainnya yang kemudian mereka dikirim ke kemah "re-edukasi".
Pihak berwenang di China menilai kegiatan Islami seperti berjenggot, berkerudung, dan grup studi Qur'an merupakan bukti dari "ekstremisme agama".
Sebelumnya, Kushman Rehim juga pernah ditangkap karena perkara agama, tetapi dibebaskan setelah kasusnya dipublikasikan Atajurt.
Bilal, adik laki-laki Kusman di Kazakhstan, berkata kakaknya ditangkap ada 21 April, kemudian dibebaskan, lalu ditangkap lagu pada 14 Juli kemarin.
"Satu alasannya adalah ia melakukan pembacaan Al-Qur'an di upacara pernikahan Muslim," kata Bilal. "Alasan kedua adalah polisi menemukan sebuah Qur'an di rumahnya."
Tempat Ibadah di RRC Harus Dukung Partai Komunis China dan Xi Jinping
Sebelumnya, Partai Komunis China dilaporkan memperketat aturan rumah ibadah. Aturan ini berdampak ke biara, gereja, kuil, masjid, dan tempat-tempat beragama lainnya.
Dilaporkan Radio Free Asia, Senin (7/8), tempat-tempat ibadah tersebut harus mendukung kepemimpinan Partai Komunis China dan program-program Presiden Xi Jinping terkait aktivitas religius.
"Tidak boleh ada organisasi atau individu yang menggunakan lokasi-lokasi aktivitas keagamaan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang membahayakan keamanan nasional, mengganggu ketertiban sosial, merusak kepentingan nasional," demikian bunyi aturan yang dirilis di situs United Front Work Department milik PKC.
Para pengurus lokasi keagamaan akan secara menyeluruh disaring oleh pejabat urusan agama. Mereka harus "mencintai tanah air dan mendukung kepemimpinan Partai Komunis China dan sistem sosialis."
Aturan itu akan berlaku mulai 1 September 2023.
RFA menyebut aturan tersebut merupakan bagian dari "sinicization" dalam hal agama, atau berarti memperkuat nuansa Sino (China). Contohnya adalah seperti mencegah perayaan natal, meminta gereja untuk memajang foto Xi Jinping, serta meminta masjid dan gereja untuk tidak memakai kubah dan salib.
Advertisement
Ceramah Dipantau
Tempat-tempat keagamaan diharuskan mengirim dulu rencana aktivitas-aktivitas untuk mendapat persetujuan. Mereka juga ditugaskan untuk "mendidik warga religius untuk mencinta tanah air", serta patuh dengan kebijakan "sinicization".
Para pengurus rumah ibadah juga harus memiliki files dari semua staf atau residen di rumah ibadah tersebut. File itu harus berisi aktivitas keagamaan dan sosial orang tersebut, serta kontak dengan organisasi atau individu luar negeri.
Ceramah pun harus diatur agar sesuai dengan "situasi nasional China" dan "mengandung nilai-nilai inti sosialis"Â
Menurut akademisi Taiwan, kebijakan China terkait agama itu menunjukkan bahwa politik menang melawan agama.
"Itu berarti politik menang dari agama, jadi jika kamu melanggar aturan-aturan itu, mereka bisa mengambil tindakan hukum terhadap kamu," ujar Chang Chia-lin, profesor dari Institute of Mainland China di Tamkang University.
Chang berpikir bahwa tempat-tempat keagamaan itu akan dipaksa untuk patuh ke aturan pemerintah itu setelah 1 September mendatang.
Aturan ini pun disayangkan oleh Biksu Shi Daoguo di China. Ia berkata agama Buddha adalah terkait kebijaksanaan, sehingga penganutnya harus berpikir independen.
"Buddhisme adalah agama kebijaksanaan yang seharusnya melatih orang-orang untuk berpikir secara independen," ujarnya.
"Sinicization" dinilai Shi Daoguo sebagai cuci otak dan tak bisa membuat orang berpikir independen.
Saat ini, Shi Daoguo mengaku sudah dipantau oleh para pejabat lokal karena protes terhadap kebijakan "sinicization". Keuangannya pun menjadi sasaran, karena izinnya dicabut sehingga donasi menjadi terdampak.
"Mereka bisa membuatmu pincang secara finansial," ujarnya.