Liputan6.com, Jakarta - Menurut sebuah pertemuan ilmiah, cuaca ekstrem yang terkait dengan perubahan iklim, peningkatan permukaan air laut, fluktuasi suhu, serta polusi udara dan air, semuanya berdampak signifikan pada upaya pengendalian HIV di wilayah Asia Pasifik.
Melansir dari SciDev.Net, Rabu (1/11/2023), peringatan tersebut muncul di tengah gelombang panas yang belum pernah terjadi sebelumnya, seiring dengan peringatan PBB bahwa suhu dunia telah memanas sebesar 1,1 derajat Celcius sejak masa pra-industri.
"Mereka yang paling terkena dampak perubahan iklim juga merupakan mereka yang paling rentan terhadap penyakit menular," ujar Kiyohiko Izumi, ketua tim HIV, virus hepatitis, dan infeksi menular seksual di Kantor Regional Pasifik Barat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Advertisement
Pada Konferensi Masyarakat AIDS Internasional tentang Ilmu HIV ke-12 yang berlangsung di Brisbane, Australia pada 23-26 Juli, Izumi memberikan pidato tentang dampak perubahan iklim terhadap upaya pengendalian HIV di kawasan Asia Pasifik yang diselenggarakan oleh WHO.
"Perubahan iklim dan bencana terkait sebagai faktor hulu dapat mempengaruhi semua aspek HIV, terutama mengarah pada peningkatan kerentanan terhadap HIV dan penurunan kemampuan untuk mengatasinya," tutur Izumi.
Korelasi antara Perubahan Iklim dan Meningkatnya Kasus HIV di Filipina
Meskipun terdapat penurunan keseluruhan dalam jumlah kasus infeksi HIV, beberapa negara seperti Filipina mengalami peningkatan kasus infeksi baru. Antara tahun 2001 hingga 2021, jumlah infeksi HIV baru di Filipina meningkat lebih dari tiga kali lipat.
"Penting untuk dicatat bahwa Filipina tidak hanya merupakan hotspot HIV dan AIDS, namun juga merupakan hotspot iklim," ujar Renzo Guinto, profesor kesehatan masyarakat global dan direktur integral program kesehatan planet dan global di St. Luke's Medical Center College of Medicine di Filipina.
"Kita tahu bahwa perubahan iklim berdampak pada kesehatan manusia dalam berbagai cara," tambah Guinto.
Pada tahun 2022, timnya merilis penelitian yang mengeksplorasi hubungan antara perubahan iklim dan HIV/AIDS.
Menurut Guinto, seorang anggota panel ahli teknis nasional dari komisi perubahan iklim Filipina, peristiwa cuaca ekstrem berpengaruh terhadap ketahanan pangan dan mengakibatkan migrasi paksa atau perpindahan penduduk. Hal ini juga mengganggu layanan kesehatan.
"Pertautan antara pangan, mobilitas, dan layanan kesehatan dapat menghasilkan dampak tidak langsung, terutama pada orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Meskipun belum ada bukti konkret bahwa HIV/AIDS sendiri adalah penyakit menular yang dipengaruhi oleh iklim, namun banyak penyakit menular lainnya seperti malaria, Zika, dan Chikungunya yang sensitif terhadap iklim, yang mungkin berinteraksi dengan HIV/AIDS," tambahnya.
Advertisement
Pemanasan Global dan Ancaman Penyakit Jamur Invasif pada Pasien HIV
Peningkatan suhu dan konsekuensi perubahan iklim lainnya juga meningkatkan risiko penyakit jamur invasif tertentu.
"Infeksi jamur dan infeksi jamur pada individu dengan HIV merupakan faktor utama dalam menyebabkan penyakit, kebutuhan perawatan di rumah sakit, dan kematian pada pasien yang berada dalam stadium lanjut HIV," ungkap Nathan Ford, seorang petugas ilmiah di WHO.
"Ini menunjukkan perlunya adopsi pendekatan global yang membantu kita memahami pengaruh pemanasan global terhadap penyebaran spesies yang mungkin bertindak sebagai inang perantara, terutama pada kelelawar dan burung, yang dapat menjadi pembawa patogen jamur bagi manusia," ujar Ford.
Ford merujuk pada panduan WHO yang digunakan untuk mengatasi infeksi jamur terkait dengan HIV, termasuk Talaromycosis.
"Talaromycosis adalah penyebab utama kematian terkait HIV di Tiongkok, Thailand dan Vietnam, insiden meningkat hingga 73 persen pada bulan-bulan hujan di negara-negara tersebut dan rawat inap juga sangat terkait dengan kelembapan," tambah Ford.
Hubungan antara Perubahan Iklim, Urbanisasi, dan Penyebaran HIV di Asia Pasifik dan Afrika sub-Sahara
Walaupun penelitian HIV biasanya berfokus pada upaya pencegahan, pengobatan, pengurangan stigmatisasi, dan pengembangan vaksin, para ahli menekankan pentingnya menginvestasikan penelitian untuk menyelidiki hubungan langsung antara perubahan iklim dan HIV.
Sindhu Ravishankar, Wakil Presiden Program dan Penelitian di Fast-Track Cities Institute, sebuah lembaga yang terkait dengan Asosiasi Penyedia Layanan AIDS di Washington DC, menyatakan bahwa pertumbuhan urbanisasi yang diperkirakan akan terjadi di wilayah Asia Pasifik dan Afrika sub-Sahara akan menciptakan kota-kota besar baru dan menjadi tempat tinggal bagi sejumlah besar populasi yang rentan.
Menurut Ravishankar, urbanisasi tersebut berpotensi meningkatkan ketidaksetaraan, yang paling dirasakan oleh rumah tangga berpendapatan rendah, dan juga dapat memperburuk masalah ketidakcukupan pangan yang berhubungan dengan HIV, yang pada gilirannya dapat memicu penggunaan narkoba dan masalah kesehatan mental yang serius.
"Migrasi dari pedesaan ke perkotaan juga dapat berkontribusi pada perubahan dan ekspansi jaringan seksual, yang pada akhirnya dapat meningkatkan penularan HIV," tambahnya.
Advertisement