Liputan6.com, Jalur Gaza - Amerika Serikat memberikan respons negatif pada kebijakan Israel untuk menambah permukiman di Tepi Barat, Palestina. Permukiman Israel di daerah Palestina itu bersifat ilegal.
Tak hanya AS, Uni Eropa bahkan memberikan pernyataan yang sangat keras terhadap kebijakan Israel tersebut.
Baca Juga
Berdasarkan laporan Middle East Monitor, Kamis (30/11/2023), Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield berkata negaranya "secara tegas" menolak ekspansi permukiman Israel. Rencana Israel itu dianggap melemahkan kebersamaan dengan Palestina.
Advertisement
Linda Thomas-Greenfield juga berkata bahwa AS sangat prihatin terhadap meningkatnya kekerasan yang dilakukan para pemukim ekstremis terhadap rakyat Palestina di Tepi Barat.
"Para ekstremis yang menyerang rakyat sipil di Tepi Barat harus dibuat tanggung jawab, dan kekerasan ini harus dihentikan. Dan Presiden Biden telah memperjelas bahwa Amerika Serikat siap untuk mengambil tindakan, termasuk dengan pencekalan visa untuk para ekstremis itu," ujar Linda Thomas-Greenfield.
Sementara, Wakil Presiden Komisi Eropa Josep Borrell menyebut ia muak dengan kebijakan permukiman Israel di tengah peperangan.
"Saya muak saat mengetahui bahwa di tengah peperangan, pemerintah Israel ingin menyalurkan pendanaan baru untuk membangun lebih banyak permukiman ilegal," ujar Borrell di situs Twitter.
Pejabat tinggi Uni Eropa itu lantas menegaskan bahwa kebijakan itu bukanlah "pertahanan diri" serta justru tidak akan memberikan keamanan ke Israel.
"Permukiman-permukiman itu adalah pelanggaran berat Hukum Kemanusiaan Internasional, dan mereka adalah beban keamanan terbesar Israel," tegas Borrell.
WHO soal Jalur Gaza: Penyakit Terancam Lebih Mematikan Dibanding Pengeboman Israel
Ada lebih banyak orang di Jalur Gaza dapat meninggal karena penyakit dibanding pengeboman jika sistem kesehatan wilayah itu tidak diperbaiki. Hal tersebut ditegaskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Selasa (28/11/2023), seraya menggarisbawahi lonjakan penyakit menular dan diare pada anak-anak.
"Pada akhirnya kita akan melihat lebih banyak orang meninggal karena penyakit daripada yang kita lihat akibat pengeboman jika kita tidak mampu mengembalikan (menyatukan) sistem kesehatan ini," kata Margaret Harris dari WHO dalam briefing PBB di Jenewa, seperti dilansir Reuters pada Kamis (29/11/2023).
Dia mengulangi kekhawatirannya mengenai peningkatan penyakit menular, khususnya diare pada bayi dan anak-anak, dengan kasus diare pada anak-anak berusia lima tahun ke atas melonjak hingga lebih dari 100 kali lipat dari tingkat normal pada awal November.
"Semua orang di mana pun kini mempunyai kebutuhan kesehatan yang sangat mendesak karena mereka kelaparan karena kekurangan air bersih dan (mereka) berdesak-desakan," ujar Margaret.
Mengutip Reuters, otoritas kesehatan Gaza mengatakan bahwa lebih dari 15.000 orang dipastikan tewas akibat pengeboman Israel. Dari jumlah tersebut, sekitar 40 persennya adalah anak-anak, sementara masih banyak yang diperkirakan berada di bawah reruntuhan.
Israel telah bersumpah untuk memusnahkan Hamas, kelompok militan yang menguasai Gaza, setelah mereka menyerbu perbatasan di Israel selatan pada 7 Oktober. Peristiwa itu disebut Israel menewaskan sekitar 1.200 orang dan membuat 240 orang ditawan.
Advertisement
Bantuan Tidak Cukup
Berdasarkan ketentuan gencatan senjata sementara, Israel mengizinkan lebih banyak bantuan mengalir ke Gaza termasuk makanan, air, dan obat-obatan meskipun lembaga bantuan mengatakan bantuan tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar.
Juru bicara Badan Anak-anak PBB (UNICEF) di Gaza James Elder mengatakan bahwa rumah sakit di wilayah tersebut penuh dengan anak-anak yang menderita luka bakar dan pecahan peluru serta gastroenteritis karena meminum air kotor.
"Saya bertemu banyak sekali orang tua … Mereka tahu persis apa yang dibutuhkan anak-anak mereka. Mereka tidak memiliki akses terhadap air bersih dan ini melumpuhkan mereka," tutur Elder.
Dia menggambarkan melihat seorang anak dengan sebagian kakinya hilang tergeletak di lantai rumah sakit selama beberapa jam tanpa mendapat perawatan karena kurangnya tenaga medis. Sebagian anak-anak lain yang terluka terbaring di kasur darurat di tempat parkir dan taman.
"Setiap dokter harus membuat keputusan yang mengerikan … siapa yang mereka prioritaskan," ujar Elder.
Tiga per Empat RS di Gaza Tutup
Mengutip laporan PBB mengenai kondisi kehidupan para pengungsi di Gaza utara, Harris mengungkapkan, "(Tidak ada) obat-obatan, tidak ada kegiatan vaksinasi, tidak ada akses terhadap air bersih dan kebersihan serta tidak ada makanan."
Harris menggambarkan runtuhnya Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza Utara sebagai sebuah "tragedi" dan menyuarakan keprihatinan tentang penahanan beberapa staf medisnya oleh pasukan Israel selama konvoi evakuasi WHO.
Hampir tiga per empat rumah sakit atau 26 dari 36 rumah sakit, telah ditutup seluruhnya di Gaza, tambahnya, karena pengeboman atau kekurangan bahan bakar.
Advertisement