Liputan6.com, Jalur Gaza - Seorang warga Palestina menuntut Israel agar segera mengembalikan jenazahnya putranya. Wanita itu takut Israel melakukan panen organ.
Anak dari wanita itu tewas pada 7 Oktober lalu. Wanita bernama Rasmia Kodeih percaya bahwa jenazah anaknya kini masih berada di pihak Israel.
Baca Juga
Dilaporkan Middle East Monitor, Sabtu (31/12/2023), wanita itu menegaskan bahwa ingin jenazah anaknya kembali dengan seutuh-utuhnya.
Advertisement
"Saya ingin tubuh putra saya kembali dengan semua organ-organnya," ujar Kodeih.
Tuduhan pencurian organ tubuh ini muncul pada Selasa lalu dari otoritas di Gaza. Pasalnya, ada jenazah-jenazah yang penampilannya menjadi berbeda karena pencurian organ vital dari mayat-mayat tersebut. Organisasi internasional pun diminta turun tangan.
Otoritas di Gaza juga menyebut tentara Israel tidak mengembalikan jenazah itu dengan nama-namanya, serta menolak menjelaskan di mana korban ditangkap.
"Ini adalah kejahatan besar yang memerlukan agar Israel disidang dan dihukum," ujar Kodeih. "Saya seorang ibu. Saya hanya ingin mereka mengembalikan tubuh putra saya sebagaimana aslinya."
Militer Israel enggan berkomentar mengenai tuduhan pencurian organ tubuh tersebut.
Hingga kini, 21 ribu orang di Gaza telah tewas akibat invasi Israel sejak 7 Oktober 2023. Israel berkata serangan itu adalah balasan atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, serta karena Hamas menawan sejumlah orang.
Konvoi Bantuan PBB untuk Gaza Diserang, Ditembaki Militer Israel
Sebelumnya dilaporkan, Badan PBB untuk Pengungsi Palestina mengatakan pada Jumat, 29 Desember 2023 bahwa konvoi bantuan diserang oleh militer Israel di Jalur Gaza, beruntung tak menimbulkan korban jiwa.
"Tentara Israel menembaki konvoi bantuan ketika mereka kembali dari Gaza utara melalui rute yang ditentukan oleh tentara Israel. Pemimpin konvoi internasional kami dan timnya tidak terluka, tetapi satu kendaraan mengalami kerusakan," tulis direktur UNRWA di Gaza, Tom White, di X.
Menurut UNRWA, kejadian itu terjadi pada Kamis, 28 Desember sore.
Militer Israel menanggapi permintaan komentar dengan mengatakan bahwa mereka sedang menyelidiki laporan tentang insiden tersebut.
Sebelumnya pada hari Jumat, kepala kemanusiaan PBB, Martin Griffiths, menulis sebuah unggahan di X menggambarkan apa yang disebutnya "situasi yang mustahil bagi masyarakat Gaza, dan bagi mereka yang mencoba membantu mereka".
Griffiths mengatakan konvoi bantuan telah ditembaki, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
"Anda pikir memasukkan bantuan ke Gaza itu mudah? Coba pikirkan lagi," kata Griffiths.
Sementara itu, sebelumnya anggota kabinet perang Israel Benny Gantz memperingatkan, pihaknya akan melakukan intervensi jika Hizbullah tidak berhenti menembaki Israel utara.
"Waktu untuk solusi diplomatik hampir habis," ujarnya, seperti dilansir BBC.
Di lain pihak, Panglima Angkatan Pertahanan Israel Herzi Halevi menuturkan pasukannya berada dalam kesiapan yang sangat tinggi untuk menghadapi lebih banyak pertempuran di wilayah utara.
"Tugas pertama kami adalah memulihkan keamanan dan rasa aman warga di Utara dan ini akan memakan waktu," kata Halevi, setelah melakukan penilaian situasi.
Baku tembak lintas batas Lebanon Vs Israel telah meningkat sejak perang Hamas Vs Israel terbaru dimulai pada 7 Oktober.
Sumber keamanan israel mengungkapkan kepada Reuters pada Rabu (27/12), Hizbullah melancarkan serangan lintas batas dalam jumlah tertinggi dalam satu hari sejak 8 Oktober. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa perang di Jalur Gaza akan meluas ke seluruh wilayah.
"Situasi di perbatasan utara Israel menuntut perubahan," kata Gantz dalam konferensi pers pada Rabu malam.
"Jika dunia dan pemerintah Lebanon tidak bertindak untuk mencegah penembakan terhadap penduduk Israel di utara dan menjauhkan Hizbullah dari perbatasan, IDF akan melakukannya."
Duta Besar Lebanon di Inggris, Rami Mortada, mengatakan justru negaranya yang menerima serangan dan pihak yang harusnya menahan diri adalah Israel. "Kami tidak tertarik pada eskalasi. Semua pihak perlu melakukan deeskalasi," ujarnya.
Advertisement
Israel Serukan Demiliterisasi Jalur Gaza, Tujuan Realistis atau Impian Semata? Ini Kata Pengamat
Adapun perang Israel vs Hamas yang sudah memasuki bulan ketiga kini memunculkan seruan Israel atas demiliterisasi Jalur Gaza, dan membentuk zona keamanan sementara di dalam wilayah tersebut setelah berakhirnya perang Israel.
"Gaza harus diubah menjadi zona demiliterisasi, dan Israel harus memastikan bahwa jalur tersebut tidak akan menjadi basis untuk melancarkan serangan terhadap negaranya, kata Ofir Gendelman, juru bicara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kepada wartawan dikutip dari laman Anadolu Agency, Rabu 27 Desember 2023.
Melihat serangan yang dilakukan Israel ke Gaza hingga 82 hari perang yang mengakibatkan 29.124 Palestina tewas menurut situs reliefweb.int, bagaimana sejatinya peluang demiliterisasi Jalur Gaza?
Prof Kobi Michael selaku peneliti senior di Institute for National Security Studies (INSS) angkat bicara perihal tersebut. Menurut dia, mengutip situs inss.org.il, Kamis (28/12/2023), operasi militer Israel yang disebut Operation Protective Edge dalam konflik yang pecah 7 Oktober lalu telah membuat konsep konflik berintensitas rendah menjadi tidak relevan.
"Ini mendramatisir kemampuan dan infrastruktur militer Hamas di Jalur Gaza dan potensi mereka untuk menyerang wilayah dalam negeri Israel, serta kegigihan organisasi tersebut dalam kampanye serangan berkepanjangan, yang lebih lama dibandingkan kampanye Gaza sebelumnya dan bahkan Perang Lebanon Kedua," ujar Prof Kobi Michael.
Selain itu, sambungnya, kemampuan dan infrastruktur militer Hamas mencerminkan proses pelembagaan kelompok tersebut sebagai kekuatan pemerintahan dan militer di Gaza, dan hubungan antara kekuatan militer dan politik."
"Kemampuan militer Hamas sejak Operation Protective Edge tetap signifikan, tentu saja jika dibandingkan dengan kemampuan yang dimiliki Palestinian Authority (PA) atau Otoritas Palestina. Hamas akan berusaha mempertahankan atau bahkan mengembangkannya, meskipun ada kesulitan melihat hasil operasi tersebut (yang menelan korban jiwa hingga 29 ribu lebih)," tutur Prof Kobi Michael.
WHO: 21 Rumah Sakit di Gaza Sudah Tidak Berfungsi Sama Sekali
Berdasarkan penilaian terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Gaza memiliki 13 rumah sakit yang berfungsi sebagian, dua rumah sakit yang berfungsi minimal, dan 21 rumah sakit yang tidak berfungsi sama sekali.
Di antaranya adalah Nasser Medical Complex, yang merupakan rumah sakit rujukan terpenting di Gaza Selatan, dan sudah berfungsi sebagian. Laporan terbaru mengenai perintah evakuasi di daerah pemukiman di sekitar rumah sakit sangatlah memprihatinkan.
"Ketika aktivitas militer meningkat di dekat rumah sakit, ambulans, pasien, staf, serta WHO dan mitranya tidak akan dapat menjangkau kompleks tersebut, dan rumah sakit utama ini akan segera menjadi hampir tidak berfungsi,” kata Perwakilan WHO di kantor WHO untuk Tepi Barat dan Gaza, Rik Peeperkorn, mengutip keterangan resmi Jumat pada Jumat, 29 Desember 2023.
"Gaza tidak mampu kehilangan rumah sakit lagi. WHO berupaya memerkuat dan memperluas sistem kesehatan yang sedang mengalami kesulitan," Rik menambahkan.
Staf WHO juga melaporkan pada hari Selasa bahwa kebutuhan akan makanan terus meningkat di Jalur Gaza. Orang-orang yang kelaparan kembali menghentikan konvoi kami hari ini dengan harapan dapat menemukan makanan.
Kemampuan WHO untuk memasok obat-obatan, perlengkapan medis, dan bahan bakar ke rumah sakit di Gaza semakin terhambat oleh kelaparan dan keputusasaan masyarakat dalam perjalanan menuju, dan di dalam, rumah sakit yang dijangkau.
Advertisement