Liputan6.com, Korea Selatan - Sebuah tim peneliti Korea Selatan telah mengembangkan makanan hibrida baru, sumber protein yang diklaim terjangkau dan ramah lingkungan. Pengembangan ini dalam upaya mengembangkan pilihan masa depan yang berkelanjutan. Demikian seperti dilansir dari Euronews, Minggu (5/5/2024).
Di dalam sebuah laboratorium universitas kecil di Korea Selatan yang penuh dengan peralatan berdengung, semangkuk nasi matang terlihat di dalam lemari pendingin. Warna merah muda dan ungu dari nasi tersebut membuat makanan itu terlihat tak seperti nasi biasa.
"Ini merupakan nasi yang kami integrasikan sel hewan ke dalamnya, menggunakan zat yang disebut gelatin untuk melapisi permukaan butiran nasi secara nano. Kami membiakkan nasi ini di dalam inkubator pada suhu sekitar 37 derajat selama sekitar 1-2 minggu dan memasaknya menggunakan microwave," kata Milae Lee, seorang peneliti di Departemen Teknik Kimia dan Biomolekular di Universitas Yonsei, kepada Euronews Health.
Advertisement
Pada bulan Februari, para insinyur biomolekuler di Universitas Yonsei berhasil mengintegrasikan sel hewan ke dalam butiran nasi dalam upaya untuk mengembangkan makanan masa depan yang berkelanjutan.
Disebut "nasi hibrida", makanan baru ini mengandung 310 mg lebih banyak kandungan protein per 100 gram daripada nasi sebelum masa percobaan, menurut tim penelitian.
Nasi ini juga memiliki 160 mg lebih banyak karbohidrat per 100 gram daripada nasi konvensional. Tim peneliti menjelaskan bahwa ini disebabkan oleh penundaan dalam dekomposisi karbohidrat, suatu proses di mana karbohidrat melekat pada komponen sel pada organisasi sel.
Mengingat bahwa 1 gram daging sapi brisket mengandung sekitar 186,2 mg protein, mengonsumsi 100 gram nasi hibrida dapat dibandingkan dengan mengonsumsi 100 gram nasi standar dengan 1 gram daging sapi brisket, tulis tim penelitian dalam sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Matter.
Tim penelitian mengatakan peningkatan gizi ini disebabkan oleh gelatin ikan dan enzim yang digunakan untuk meningkatkan stabilitas struktural butiran nasi.
Analisis rasa menunjukkan bahwa rasanya mirip dengan nasi normal, dengan sedikit sentuhan protein hewan, menyerupai mentega dan almond, diikuti oleh aroma lemak yang halus setelahnya.
Mengenal Daging Hasil Budidaya
Sementara itu, ada pula daging budidaya, atau dikenal daging laboratorium, daging sintesis, atau daging ternak, yang diproduksi dengan mengkultur sel-sel hewan di laboratorium daripada memelihara dan menyembelih hewan untuk konsumsi daging.
Daging ini telah menarik perhatian sebagai solusi potensial untuk berbagi isu yang terkait dengan produksi daging konvensional, seperti degradasi lingkungan, kekhawatiran kesejahteraan hewan, dan risiko kesehatan masyarakat.
"Sebagai contoh, ketika diproduksi dalam skala industri, pengembangan daging budidaya dapat bebas dari antibiotik. Jadi itu benar-benar dapat mengurangi risiko resistensi antimikroba, yang sudah ada di Eropa, menyebabkan perkiraan 133.000 kematian per tahun," Seren Kell, kepala ilmu dan teknologi di Good Food Institute Europe, mengatakan kepada Euronews Health.
Mark Post merupakan orang pertama di dunia yang memperkenalkan konsep daging budidaya, sepotong hamburger yang terbuat dari sel induk, pada tahun 2013.
Ia percaya bahwa isu produksi daging konvensional sebagian dapat dikaitkan dengan ketidakefisienan dalam beternak hewan.
"Sebagian dari itu berasal dari ketidakefisienan hewan. Jadi, jika Anda dapat membuatnya lebih efisien di laboratorium melalui kultur sel dan rekayasa jaringan, Anda pada dasarnya dapat menciptakan materi yang sama dengan dampak negatif yang lebih sedikit," Post, seorang profesor dalam rekayasa jaringan berkelanjutan dan industri di Universitas Maastricht, mengatakan kepada Euronews Health.
Proses ini umumnya melibatkan pengambilan sampel kecil sel-sel hewan, seperti sel otot, yang kemudian berkembang biak dan membelah in vitro. Dalam proses yang disebut rekayasa jaringan, sel-sel ini dikenai beberapa intervensi untuk membuat jaringan otot dan jaringan lemak yang akhirnya membentuk daging.
"Sel-sel perlu diberi struktur tertentu yang harus diikuti. Dan butir beras melakukan itu," kata Post.
"Tentu saja, sel itu kecil karena butiran beras sendiri itu kecil. Ini telah dilakukan untuk banyak material berbeda untuk daun pohon, potongan apel, dan isolat kedelai," tambah Post.
Scaffolding sangat penting ketika membudidayaan sel-sel hewan karena membantu pertumbuhan sel. Ini juga memberikan sebagian dari tekstur penting dalam produk daging akhir.
"Ini adalah upaya yang sangat menarik untuk mengambil tanaman yang tumbuh luas dan penting lalu menggunakannya sebagai scaffolding untuk membudidayakan sel-sel hewan," kata Kell.
"Saya rasa tidak mungkin memiliki dampak langsung pada konsumen Eropa, tetapi saya pikir itu adalah demonstrasi yang sangat bagus tentang bagaimana Anda dapat menggunakan tanaman yang tumbuh luas dan sudah ada sebagai bahan dalam produksi daging budidaya," tambah Kell.
Advertisement
Makanan Budidaya yang Menjanjikan
Tim peneliti menyadari bahwa warna kemerahan dari beras hibrida tersebut mungkin mengejutkan konsumen di luar Asia.
"Di Korea, kita terbiasa dengan warna-warna berbeda dari beras karena seringkali kita menambahkan biji-bijian sereal berbagai warna ke dalam berasa. Bijian itu sebenarnya dianggap lebih sehat. Jadi saya pikir orang Korea dan orang Asia kurang berminat terhadap beras hibrida kami, tetapi saya bisa membayangkan konsumen, misalnya, di Eropa atau Amerika yang tidak terbiasa dengan warna beras ini," kata Jinkee Hong, seorang profesor di Departemen Teknik Kimia dan Biomolekuler di Universitas Yonsei.
Hong mengatakan bahan ramah lingkungan lainnya dengan afinitas sel tinggi dapat digunakan sebagai scaffold (perancah).
"Anda bisa menganggapnya sebagai 'teknologi platform'. Terlepas dari jenis partikel butirannya, jika Anda ingin membiakkan sel di dalamnya, Anda dapat melakukannya melalui metode khusus yang kami usulkan untuk pertama kalinya,” kata Hong.
“Tentu saja, tergantung pada jenis butirannya, lapisan ini mungkin tidak membuat semuanya sama persis. Namun, pelapisan ini dapat berfungsi sebagai teknologi dasar yang berkontribusi signifikan terhadap keseragaman,” tambahnya.
Hong, yang telah terlibat dalam penelitian daging budidaya di laboratorium selama beberapa tahun terakhir, ingin mengatasi keterbatasannya.
"Saya merasa kemajuan penelitian daging budidaya di laboratorium sangat stagnan di seluruh dunia. Rasanya seperti ada hambatan yaitu teknologi eksisting tidak dapat ditembus," kata Hong.
"Saya percaya bahwa daging budidaya di laboratorium adalah area yang menjanjikan, dan saya memikirkan bagaimana cara mempercepat kemajuan meskipun itu mungkin bukan solusi yang sempurna. Itu harus menjadi scaffold aman yang dapat dikonsumsi semua orang, memiliki kompatibilitas yang baik dengan sel sehingga mereka tumbuh dengan baik, dan dapat diproduksi secara massal dengan mudah. Semua itu merupakan keterbatasan umum dalam daging budidaya di laboratorium," tambahnya.
Hong mengatakan tim penelitinya memilih biji-bijian beras buka hanya karena mereka memiliki insiden alergi yang rendah tetapi juga karena orang Korea akrab dengan bahan-bahan tersebut.
"Kami berusaha memberikan banyak pemikiran mengenai apa yang kita makan dan kita nikmati. Kami mencoba menciptakan sesuatu yang tidak memiliki hambatan psikologis," kata Hong.
"Pada saat yang sama, kami berdasarkan kekuatan dan struktur (scaffolding) pada pengetahuan yang ada dalam biologi sel, terutama ketika menumbuhkan sel-sel otot dan lemak. Kami sangat berusaha untuk menggabungkan kedua aspek ini," tambahnya.
Beras merupakan makanan pokok tradisional dalam diet Korea Selatan.
Menurut data dari Badan Statistik Korea, rata-rata satu orang Korea mengonsumsi 56,4 kg beras pada tahun 2023.
Di Eropa, konsumsi beras milled per kapita per tahun berkisar dari 3,5 hingga 5,5 kg di negara-negara non-penghasil beras di Eropa utara hingga 6 hingga 18 kg di Eropa selatan, menurut data dari Komisi Eropa yang dipublikasikan pada tahun 2020.
"Anda mungkin berpikir sumber protein utama akan menjadi daging. Tetapi bagi orang Korea, beras berfungsi sebagai sumber protein yang signifikan dalam diet mereka," kata Jihyun Yoon, seorang profesor di Departemen Pangan dan Gizi di Universitas Nasional Seoul.
"Walaupun konsumsi beras sedang menurun akibat globalisasi, tetapi tetap tinggi secara keseluruhan di negara kami," tambahnya.
Para ahli mengatakan bahwa merefleksikan budaya makanan adalah hal krusial saat mengembangkan makanan baru.
"Budaya makanan, terutama di Eropa, merupakan kunci bagi identitas nasional seseorang. Penting bagi perusahaan daging budidaya untuk menghormati hal tersebut dan benar-benar menyesuaikan pendekatan dan produk mereka untuk wilayah atau negara tertentu," kata Kell.
"Sudah ada beberapa contoh bagus dari perusahaan Eropa untuk melakukan hal ini. Misalnya, Gourmet di Prancis sedang mengembangkan sel foie grais budidaya untuk makanan. Di Portugal, mengembangkan gurita budidaya," kata Kell.
Selain itu, kami juga melihat banyak dari mereka semakin bekerja dengan koki untuk mengandalkan kreativitas mereka. Dan mereka juga memiliki pemahaman yang sangat dalam tentang budaya makanan untuk mengembangkan produk yang sesuai dengan harapan orang," tambah Kell.
Ada Beberapa Keraguan
Menurut laporan oleh APAC Society for Cellular Agriculture (APAC-SCA) yang diterbitkan pada tahun 2023, 90% responden di Korea Selatan mengatakan mereka bersedia mencoba daging budidaya setidaknya sekali.
Namun, beberapa ahli skeptis tentang konsumsi luas dan penerimaan daging budidaya di negara itu.
"Alasan mengapa orang Korea bisa makan nasi setiap waktu tanpa bosan adalah karena rasanya hambar. Karena rasanya tidak kuat, kita menikmatinya dengan berbagai lauk tiga kali sehari," kata Yoon.
"Sangat dipertanyakan apakah benar-benar dapat memenuhi peran aslinya, sebagai makanan pokok jika kita membuat bentuk-bentuk nasi menggunakan daging budidaya."
Di kalangan akademisi, ada perdebatan terus-menerus tentang apakah memproduksi makanan tersebut dan mendorong konsumsinya adalah arah yang benar-benar diinginkan, tambahnya.
"Insinyur bioteknologi sangat tertarik pada kemajuan ini. Tetapi dari perspektif ahli gizi makanan yang mendorong konsumsi opsi makanan alami dan ramah lingkungan yang lebih banyak dan konsumsi makanan olahan yang lebih sedikit, semua daging alternatif, termasuk daging budidaya, akan masuk dalam kategori makanan olahan.
"Hal ini karena umumnya melibatkan proses di mana berbagai bahan tambahan digunakan untuk membuat mereka menyerupai daging menggunakan bahan-bahan asli."
Namun, tim peneliti dibalik beras hibrida mengatakan teknologi tersebut bisa digunakan untuk makanan bantuan selama darurat dan di negara-negara yang kurang berkembang, selama perang atau bahkan diluar angkasa.
Perusahaan konsultan global McKinsey memprediksi pada tahun 2021 bahwa pasar daging budidaya bisa mencapai €23,4 miliar (Rp376 triliun) pada tahun 2030. Eropa berada di garis depan dalam pengembangan kerangka regulasi, yang sekarang diikuti oleh banyak negara lain.
Saat ini ada persetujuan di Singapura, Israel, dan Amerika Serikat, tetapi belum di Eropa.
Daging berbasis sel termasuk dalam lingkup kerangka novel makanan UE yang disusun untuk bahan makanan yang tidak dikonsumsi secara signifikan sebelum 15 Mei 1998, saat peraturan tersebut mulai berlaku.
Semua jenis makanan baru memerlukan penilaian oleh European Food Safety Authority (EFSA) dan persetujuan pemasaran dari Komisi Eropa, yang menurut Professor Mark Post, memakan waktu "relatif lama dibandingkan dengan wilayah lainnya".
"Persetujuan pertama kemungkinan besar tidak akan terjadi dalam dua tahun ke depan, mungkin setelah dua tahun, tetapi tidak dalam dua tahun ke depan. Eropa dianggap sebagai salah satu lingkungan regulasi yang paling sulit," katanya.
Post, orang pertama di dunia yang memperkenalkan konsep daging budidaya, percaya masa depan daging budidaya di Eropa memiliki potensial sangat cerah.
"Jujur saja, cara kita memproduksi daging saat ini tidaklah berkelanjutan, jadi kita akan lebih cepat atau lebih lambat melihat masalah yang parah dengan itu," kata Post.
"Jadi kita semua harus berharap bahwa ini adalah teknologi yang memungkinkan kita untuk terus makan daging dengan laju dan kecepatan yang kita inginkan, tanpa konsekuensi bencana bagi lingkungan kita," tambahnya.
Meskipun penerimaan konsumen terhadap daging budidaya selama 10 tahun terakhir telah meningkat, "Akan membutuhkan beberapa tahun lagi sebelum ini bisa menjadi cukup umum," katanya.
Adapun beras hibrida belum tersedia untuk konsumen di Korea Selatan, karena tim peneliti mengatakan mereka sedang melakukan beberapa studi tambahan.
Advertisement