Liputan6.com, Tbilisi - Polisi antihuru-hara di Georgia menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah massa yang memprotes rancangan undang-undang yang dianggap oleh pihak oposisi menargetkan kebebasan media.
Ribuan orang yang mengibarkan bendera Georgia dan Uni Eropa berkumpul di luar parlemen pada malam kedua untuk memprotes undang-undang yang terinspirasi dari Rusia.
Baca Juga
Para anggota parlemen menyetujui pembacaan kedua rancangan undang-undang “agen asing” yang kontroversial pada Rabu, (1/5/2024).
Advertisement
Uni Eropa memperingatkan hal ini dapat merugikan ambisi Tbilisi untuk bergabung dengan blok tersebut.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan bahwa dia mengikuti apa yang terjadi di Georgia, dikutip dari laman BBC, Kamis (2/5).
Dalam sebuah postingan di X, sebelumnya Twitter, dia mengatakan: "Rakyat Georgia menginginkan masa depan Eropa bagi negara mereka. Georgia berada di persimpangan jalan. Georgia harus tetap berada di jalur menuju Eropa."
RUU tersebut lolos dalam pembahasan kedua dengan suara 83 berbanding 23. Jika RUU tersebut menjadi undang-undang, organisasi akan diminta untuk menyatakan apakah mereka didanai dari luar negeri.
Partai yang berkuasa di Georgia menginginkan undang-undang tersebut disahkan pada akhir bulan ini, namun para kritikus mengatakan undang-undang tersebut bersifat otoriter.
Negara ini telah diguncang oleh protes selama berminggu-minggu atas masalah ini. Pada Selasa (30/4) malam, terjadi bentrokan serupa antara polisi dan pengunjuk rasa di Rustaveli Avenue, di luar gedung parlemen.
Ketua Partai Oposisi di Georgia Ikut Terluka
Beberapa orang terluka, termasuk Levan Khabeishvili, ketua partai oposisi utama Gerakan Nasional Bersatu (UNM).
Dia mengunggah gambar wajahnya yang memar di media sosial dan kemudian muncul di parlemen, wajahnya diperban berat.
Saksi mata menuduh beberapa petugas polisi menyerang secara fisik pengunjuk rasa dan kepala polisi luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan dia mengutuk keras kekerasan terhadap warga Georgia yang secara damai berdemonstrasi menentang undang-undang tentang pengaruh asing.
Wakil Menteri Dalam Negeri Aleksandre Darakhvelidze mengatakan, enam petugas terluka dan 63 orang ditangkap dan dia mengeluh bahwa unjuk rasa tersebut berubah menjadi kekerasan.
Dia mengatakan Khabeishvili terluka ketika mencoba menerobos barisan polisi, meskipun pihaknya mengatakan dia telah dipukuli oleh polisi.
Georgia diberikan status kandidat UE pada Desember 2023 dan jajak pendapat menunjukkan sekitar 80 persen penduduknya mendukung bergabung.
Protes terhadap RUU tersebut dimulai pada pertengahan April, setelah partai berkuasa Georgian Dream mengusulkan langkah-langkah yang mewajibkan organisasi non-pemerintah (LSM) dan media independen untuk mendaftar sebagai organisasi yang memiliki kepentingan kekuatan asing, jika mereka menerima lebih dari 20% suara.
Mereka juga akan diawasi oleh Kementerian Kehakiman Georgia dan dapat dipaksa untuk membagikan informasi sensitif atau akan dikenakan denda besar hingga US$9.400.
Para penentang mengatakan, langkah-langkah tersebut terinspirasi oleh undang-undang otoriter yang digunakan negara tetangganya, Rusia, untuk menghancurkan perbedaan pendapat.
Namun miliarder pendiri partai Georgian Dream, Bidzina Ivanishvili, mengklaim partai Barat memanfaatkan negara tersebut sebagai bagian dari konfrontasinya dengan Rusia.
Advertisement
Kekhawatiran para Pengunjuk Rasa
Para pengunjuk rasa khawatir bahwa rancangan undang-undang pengaruh asing yang diusulkan dapat digunakan untuk menghancurkan suara-suara kritis menjelang pemilihan parlemen akhir tahun ini.
Undang-undang otoriter serupa yang mulai berlaku di Rusia pada tahun 2012 telah digunakan untuk meminggirkan suara-suara yang menentang Kremlin -- termasuk tokoh budaya terkemuka, organisasi media, dan kelompok masyarakat sipil.
Banyak warga Georgia khawatir tindakan tersebut akan menggagalkan Georgia dari jalurnya menuju status keanggotaan UE yang sangat didambakan, kata koresponden BBC di Kaukasus Selatan, Rayhan Demytrie.
Sejumlah pemimpin Eropa telah memperingatkan bahwa rancangan undang-undang yang diusulkan “tidak sesuai” dengan norma dan nilai-nilai Eropa.
Namun pemerintahan Perdana Menteri Georgia Irakli Kobakhidze tetap teguh.
Kobakhidze menuduh LSM-LSM berupaya melancarkan revolusi di Georgia sebanyak dua kali, mempromosikan "propaganda gay" dan menyerang Gereja Ortodoks Georgia.
Pemerintah bersikeras bahwa RUU tersebut bertujuan untuk menjamin transparansi dan menolak anggapan bahwa RUU tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Eropa atau bahwa Rusia berada di balik undang-undang tersebut.