Liputan6.com, Jakarta - Kebebasan pers di seluruh dunia sedang terancam oleh pihak yang seharusnya menjadi penjamin kebebasan pers, yaitu otoritas politik. Hal tersebut terungkap melalui Indeks Kebebasan Pers Dunia tahunan terbaru yang dirilis Reporters Without Borders (RSF).
Temuan tersebut didasarkan pada fakta bahwa dari lima indikator yang digunakan dalam pemeringkatan, indikator politiklah yang mengalami penurunan paling besar, dengan rata-rata penurunan global sebesar 7,6 poin. Empat indikator lainnya yang digunakan antara lain ekonomi, legislatif, sosiokultural, dan keamanan.
Semakin banyak pemerintah dan otoritas politik yang dinilai tidak memenuhi peran mereka sebagai penjamin lingkungan terbaik bagi jurnalisme dan hak publik atas berita dan informasi yang andal, independen, dan beragam. RSF melalui laporannya melihat adanya penurunan yang mengkhawatirkan dalam hal dukungan dan penghormatan terhadap otonomi media dan meningkatnya tekanan dari negara atau aktor politik lainnya.
Advertisement
"Sementara lebih dari separuh penduduk dunia memberikan suara pada tahun 2024, RSF memperingatkan adanya tren mengkhawatirkan yang diungkapkan oleh Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2024: penurunan indikator politik, salah satu dari lima indikator yang dirinci dalam indeks. Peran negara dan kekuatan politik lainnya dalam melindungi kebebasan pers semakin berkurang. Ketidakberdayaan ini kadang-kadang terjadi bersamaan dengan tindakan-tindakan yang lebih bermusuhan yang melemahkan peran jurnalis atau bahkan menginstrumentasikan media melalui kampanye pelecehan atau disinformasi," ujar Direktur editorial RSF Anne Bocande seperti dikutip dari situs resmi RSF, Sabtu (3/5/2024).
Di tingkat internasional, tahun ini ditandai dengan kurangnya kemauan politik dari komunitas internasional untuk menegakkan prinsip-prinsip perlindungan jurnalis, khususnya Resolusi Dewan Keamanan PBB 2222.
Perang di Jalur Gaza ditandai dengan tingginya jumlah pelanggaran terhadap jurnalis dan media sejak Oktober 2023. Lebih dari 100 jurnalis Palestina dibunuh oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF), termasuk setidaknya 22 orang saat bertugas.
Diduduki dan terus-menerus dibombardir oleh Israel, Palestina berada di peringkat 157 dari 180 negara dan wilayah yang disurvei dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024 secara keseluruhan.
Norwegia menduduki peringkat pertama dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024 versi RSF, disusul berturut-turut Denmark, Swedia, Belanda, Finlandia, Estonia, Portugal, Irlandia, Swiss, dan Jerman.
Adapun Timor Leste berada pada peringkat ke-20, Amerika Serikat (AS) ke-55, Thailand ke-87, Israel ke-101, Malaysia ke-107, Indonesia ke-111, Singapura ke-126, Rusia ke-162, Arab Saudi ke-166, China ke-172, Iran ke-176, dan Korea Utara ke-177.
Posisi tiga terbawah masing-masing diduduki oleh Afghanistan peringkat ke-178, Suriah ke-179, dan Eritrea ke-180.
Kebebasan Pers di 5 Wilayah Dunia Tahun 2024
Di Timur Tengah dan Afrika Utara, situasinya "sangat serius" di hampir separuh negara. Qatar menjadi satu-satunya negara di kawasan ini yang situasinya tidak diklasifikasikan sebagai "sulit" atau "sangat serius".
Asia Pasifik menjadi wilayah tersulit kedua di dunia untuk praktik jurnalisme. Di Afrika Sub-Sahara, praktik jurnalisme dilaporkan RSF sangat terdampak kekerasan politik, di mana lebih dari delapan persen negara-negara di kawasan kini berada dalam kondisi sangat serius. Jumlah itu disebut dua kali lebih banyak dibandingkan tahun 2023.
Di Amerika, ketidakmampuan jurnalis untuk meliput isu-isu yang berkaitan dengan kejahatan terorganisir, korupsi atau lingkungan hidup karena takut akan pembalasan merupakan masalah besar. Di hampir semua negara di Amerika Selatan, situasi kebebasan pers kini "bermasalah" – kemunduran yang disebabkan oleh terpilihnya predator kebebasan pers seperti Javier Milei di Argentina dan ketidakmampuan pemerintah mengurangi kekerasan terhadap jurnalis. Meksiko masih menjadi negara paling berbahaya bagi jurnalis, dengan 37 orang tewas sejak 2019.
Negara-negara di mana kebebasan pers dianggap "baik" semuanya berada di Eropa, secara spesifik lagi di Uni Eropa, yang telah mengadopsi Undang-undang Kebebasan Media Eropa (EMFA).
Advertisement