Afrika Selatan Desak Mahkamah Internasional Perintahkan Gencatan Senjata di Jalur Gaza, Hentikan Serangan Israel ke Rafah

Akankah desakan Afrika Selatan dituruti oleh Mahkamah Internasional? Lembaga kehakiman PBB itu sejauh ini belum memerintahkan Israel untuk menghentikan operasi militernya di Jalur Gaza.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 21 Mei 2024, 14:29 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2024, 07:20 WIB
Kepadatan Tenda-Tenda Pengungsi di Deir el-Balah
Serangan Israel ke Rafah membuat penduduk Palestina berbondong-bondong pergi ke Deir el-Balah. (Foto: AFP)

Liputan6.com, Washington, DC - Afrika Selatan mendesak pengadilan tinggi PBB pada hari Kamis (16/5/2024) untuk memerintahkan gencatan senjata di Jalur Gaza selama dengar pendapat mengenai tindakan darurat untuk menghentikan operasi militer Israel di Kota Rafah.

Ini adalah ketiga kalinya Mahkamah Internasional mengadakan sidang mengenai konflik di Jalur Gaza sejak Afrika Selatan mengajukan tuntutan pada bulan Desember di pengadilan, yang berbasis di Den Haag, Belanda, tersebut dengan menuduh Israel melakukan genosida.

Duta Besar Afrika Selatan untuk Belanda Vusimuzi Madonsela mendesak panel yang terdiri dari 15 hakim internasional memerintahkan Israel menarik diri sepenuhnya dan tanpa syarat dari Jalur Gaza.

"Pengadilan telah menemukan bahwa ada risiko nyata dan segera terjadi terhadap rakyat Palestina di Gaza akibat operasi militer Israel. Ini mungkin merupakan kesempatan terakhir bagi pengadilan untuk bertindak," kata pengacara Irlandia Blinne Ni Ghralaigh, yang merupakan bagian dari tim hukum Afrika Selatan, seperti dilansir kantor berita AP, Jumat (17/5).

Hakim di pengadilan Mahkamah Internasional mempunyai wewenang yang luas untuk memerintahkan gencatan senjata dan tindakan lainnya, meskipun pengadilan tidak memiliki aparat penegak hukum sendiri. Perintah Mahkamah Internasional pada tahun 2022 yang menuntut Rusia menghentikan invasi besar-besaran ke Ukraina sejauh ini tidak diindahkan.

Dalam dengar pendapat awal tahun ini, Israel membantah keras melakukan genosida di Jalur Gaza dan mengatakan pihaknya melakukan semua yang mereka bisa untuk menyelamatkan warga sipil dan hanya menargetkan militan Hamas. Israel menyebut Rafah adalah benteng terakhir kelompok militan tersebut.

Permintaan terbaru Afrika Selatan berfokus pada serangan ke Rafah.

Afrika Selatan berpendapat bahwa operasi militer Israel jauh melampaui pembelaan diri yang dapat dibenarkan.

"Tindakan Israel di Rafah adalah bagian dari tujuan akhir. Ini adalah langkah terakhir dalam kehancuran Jalur Gaza," kata pengacara Vaughan Lowe.

Menurut permintaan terakhir, perintah awal sebelumnya dari pengadilan yang bermarkas di Den Haag tidak cukup untuk mengatasi serangan militer brutal terhadap satu-satunya tempat perlindungan yang tersisa bagi rakyat Jalur Gaza.

Israel akan diizinkan untuk menjawab tuduhan tersebut pada hari Jumat Waktu setempat.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Negara Lain Bergabung dengan Afrika Selatan

Potret Pilu Anak-anak Palestina di Tengah Serangan Israel
Seorang anak berjalan pergi dengan barang-barang yang diselamatkan dari reruntuhan bangunan yang terkena serangan Israel di Rafah di Jalur Gaza selatan pada 15 Oktober 2023. (Photo by MOHAMMED ABED / AFP)

Pada bulan Januari, para hakim memerintahkan Israel untuk melakukan semua yang mereka bisa untuk mencegah kematian, kehancuran, dan tindakan genosida di Jalur Gaza, namun panel tersebut tidak memerintahkan diakhirinya serangan militer yang telah menghancurkan wilayah kantong Palestina itu. Dalam perintah kedua pada bulan Maret, pengadilan mengatakan Israel harus mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi kemanusiaan.

Afrika Selatan hingga saat ini telah mengajukan empat permintaan kepada pengadilan internasional untuk menyelidiki Israel, di mana sidang digelar tiga kali.

Sebagian besar penduduk Jalur Gaza yang berjumlah 2,3 juta orang telah mengungsi sejak perang Israel Vs Hamas dimulai pada 7 Oktober 2023. Otoritas Kesehatan Jalur Gaza mengatakan lebih dari 35.000 warga Palestina telah tewas dalam perang tersebut.

Afrika Selatan memulai proses hukum pada bulan Desember 2023 dan melihat kampanye hukum yang diupayakannya berakar pada isu-isu penting yang berkaitan dengan identitas mereka. Partai yang berkuasa, Kongres Nasional Afrika, telah lama membandingkan kebijakan Israel di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki dengan sejarah mereka sendiri di bawah rezim apartheid yang didominasi oleh minoritas kulit putih, yang membatasi sebagian besar warga kulit hitam di tanah air. Apartheid berakhir pada tahun 1994.

Pada hari Minggu (12/5), Mesir mengumumkan rencananya untuk bergabung dalam kasus ini. Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan tindakan militer Israel merupakan pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional, hukum kemanusiaan, dan Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 mengenai perlindungan warga sipil selama masa perang.

Beberapa negara juga mengindikasikan rencana mereka untuk melakukan intervensi, namun sejauh ini hanya Libya, Nikaragua, dan Kolombia yang telah mengajukan permintaan resmi untuk melakukan intervensi.

Infografis Aksi Pro-Palestina Marak di Kampus-Kampus AS dan Prancis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Aksi Pro-Palestina Marak di Kampus-Kampus AS dan Prancis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya