Spanyol Akui Negara Palestina, Israel: Pelajari Sejarah Kekuasaan Islam di Andalusia

Spanyol, Norwegia, dan Irlandia secara resmi akan mulai mengakui Negara Palestina pada 28 Mei 2024.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 01 Nov 2024, 15:44 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2024, 09:00 WIB
Israel Katz
Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz. (Dok. AP/Dan Balilty)

Liputan6.com, Tel Aviv - Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, mengatakan konsulat Spanyol di Yerusalem tidak lagi dapat memberikan layanan kepada warga Palestina. Dia meminta pemerintah Spanyol "mempelajari sejarah 700 tahun kekuasaan Islam di Andalusia".

Langkah Katz itu merupakan tanggapan atas pengakuan Spanyol terhadap Negara Palestina.

Spanyol, bersama dengan Norwegia dan Irlandia, pada hari Rabu (22/5/2024) mengumumkan akan mengakui Negara Palestina, bergabung dengan lebih dari 140 anggota penuh PBB lainnya yang telah melakukan hal yang sama.

Menjelaskan langkah tersebut dalam sebuah video di media sosial, Wakil Perdana Menteri Spanyol Yolanda Diaz menegaskan partainya akan berjuang untuk membela hak asasi manusia dan mengakhiri genosida terhadap rakyat Palestina.

Diaz, yang merupakan pemimpin mitra koalisi junior pemerintah, mengakhiri video dengan mengatakan, "Dari sungai hingga laut, Palestina akan merdeka."

Pernyataannya itulah yang membuat marah para pejabat Israel, termasuk Katz.

Pada Jumat pagi, Katz menulis di platform X bahwa sebagai tanggapan atas pengakuan Spanyol terhadap Negara Palestina dan komentar Diaz, "Saya telah memutuskan untuk memutuskan hubungan antara perwakilan Spanyol di Israel dan Palestina, dan melarang konsulat Spanyol di Yerusalem menyediakan layanan kepada warga Palestina dari Tepi Barat".

Konsulat Spanyol untuk Palestina dipimpin oleh Konsul Jenderal Alfonso Lucini Mateo dan terletak di Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur yang diduduki. Demikian seperti dilansir Middle East Eye, Minggu (26/5).

Para aktivis pro-Palestina telah lama menyatakan bahwa slogan "Dari Sungai ke Laut" mengacu pada diakhirinya pelanggaran hak asasi manusia dan pendudukan Israel di seluruh wilayah bersejarah Palestina, sementara bagi mereka yang pro-Israel menerjemahkannya sebagai seruan kehancuran Israel.

Terminologi serupa juga digunakan oleh orang Israel yang percaya bahwa seluruh tanah bersejarah Palestina harus menjadi bagian dari Israel. Pada hari Rabu, Menteri Energi Israel Eli Cohen menanggapi langkah Spanyol, Irlandia, dan Norwegia dengan menyatakan, "Dari sungai hingga laut, akan ada satu negara: Negara Israel."

Bertolak Belakang dengan Sejarah

Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz.
Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz . (Dok. Instagram @katz_israel)

Pada hari Jumat, Katz turut membidik pemerintah Spanyol dengan menyoroti periode sejarah abad pertengahan ketika Semenanjung Iberia berada di bawah kekuasaan Islam.

"Jika individu yang bodoh dan penuh kebencian ini ingin memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh Islam radikal, dia harus mempelajari 700 tahun pemerintahan Islam di Al-Andalus – sekarang Spanyol," ujar Katz.

Pernyataan Katz kemudian menuai banyak kritik dan diejek di media sosial, di mana orang-orang menggarisbawahi ketidakakuratan pengetahuan sejarahnya.

Pada tahun 711 M, panglima perang Bani Umayyah Tariq ibn Ziyad menyeberangi Selat Gibraltar dengan 7.000 tentara, mengawali delapan abad kekuasaan muslim di berbagai wilayah Spanyol.

Spanyol muslim, yang dikenal sebagai Andalusia, menjadi pusat arsitektur, matematika, perdagangan, dan sastra, dengan Cordoba, yang pada saat itu merupakan salah satu kota terpadat di Eropa, menjadi rumah bagi polymath muslim Ibn Rusyd dan filsuf Yahudi Maimonedes.

Bertentangan dengan deskripsi Katz tentang "Islam radikal", pemikir muslim dari Andalusia seperti Ibn Rusyd dipandang sebagai jembatan antara pemikiran Islam dan Barat, menerjemahkan dan melestarikan filsafat Yunani serta memengaruhi Renaisans dan Pencerahan Eropa.

Umat ​​Kristen dan Yahudi tinggal di Spanyol yang dikuasai muslim dan banyak dari mereka yang menduduki jabatan di istana kerajaan dan kalangan intelektual. Andalusia dipandang sebagai tempat yang relatif aman bagi orang Yahudi, dibandingkan dengan wilayah lain di Eropa pada periode tersebut.

Di Inggris, orang-orang Yahudi diusir ke luar negeri pada tahun 1290 dan tidak diizinkan kembali selama 366 tahun berikutnya.

Ketika kota muslim terakhir di Spanyol, Granada, jatuh pada tahun 1492, umat Islam dan Yahudi dipaksa masuk Kristen oleh Inkuisisi Spanyol atau meninggalkan negara tersebut.

Sebagian besar orang Yahudi yang melarikan diri berakhir di Maroko dan di beberapa wilayah Islam di Afrika Utara dan dunia Arab yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya