Netanyahu Sebut Serangan Israel ke Kamp Pengungsi Palestina di Rafah Sebagai Kesalahan Tragis

Perluasan operasi militer Israel di Rafah telah menyebabkan satu dari dua rumah sakit terakhir yang masih berfungsi tutup.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 28 Mei 2024, 09:15 WIB
Diterbitkan 28 Mei 2024, 09:01 WIB
Benjamin Netanyahu
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Dok. AFP)

Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengakui pada hari Senin (27/5/2024) bahwa "kesalahan tragis" telah dilakukan dalam serangan udara Israel ke kamp pengungsi Palestina di Kota Rafah, menewaskan sedikitnya 45 orang. Dari jumlah itu, otoritas kesehatan Jalur Gaza merinci bahwa 12 di antaranya perempuan, delapan anak-anak, tiga lansia, dan tiga jenazah lainnya terbakar hingga tidak dapat dikenali lagi.

Laporan VOA yang dikutip Selasa (28/5) menyebutkan, 200 orang lainnya terluka dalam tragedi itu. 

Menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza, serangan pada Minggu (26/5) malam membantu meningkatkan jumlah korban tewas warga Palestina secara keseluruhan dalam perang Israel Vs Hamas menjadi di atas 36.000 jiwa.

Netanyahu tidak merinci kesalahan yang dimaksudnya. Militer Israel awalnya mengklaim mereka telah melakukan serangan udara presisi yang menargetkan Hamas, menewaskan dua militan senior kelompok itu. Ketika rincian mengenai serangan tersebut terungkap, militer Israel kemudian mengatakan telah membuka penyelidikan atas kematian warga sipil.

"Meskipun kami berupaya semaksimal mungkin untuk tidak menyakiti warga sipil yang tidak bersalah, tadi malam terjadi kesalahan yang tragis," kata Netanyahu dalam pidatonya di parlemen Israel pada Senin, seperti dilansir kantor berita AP. "Kami sedang menyelidiki insiden tersebut dan akan mendapatkan kesimpulan karena ini adalah kebijakan kami."

Rincian serangan Israel ke kamp pengungsi Tel al-Sultan mengerikan.

"Kami berusaha mengeluarkan (jenazah) anak-anak yang terpotong-potong. Kami menarik keluar anak-anak muda dan lanjut usia. Kebakaran di kamp itu sulit digambarkan," kata warga Bernama Mohammed Abuassa.

Mengerikan

Didesak Israel, 80.000 Pengungsi Palestina Tinggalkan Rafah
Badan PBB yang membantu pengungsi Palestina mengatakan pada 9 Mei 2024 sekitar 80.000 orang meninggalkan Rafah dalam tiga hari sejak Israel mengintensifkan operasi militer di kota Gaza selatan. (Foto: AFP)

Dewan Keamanan PBB dilaporkan menjadwalkan pertemuan darurat tertutup pada Selasa sore mengenai situasi di Rafah atas permintaan Aljazair, perwakilan Arab di dewan.

Komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia Volker Turk mengecam serangan Israel dengan, "Gambar-gambar dari kamp tersebut sangat mengerikan dan tidak menunjukkan adanya perubahan nyata dalam metode dan sarana peperangan yang digunakan oleh Israel yang telah menyebabkan banyak kematian warga sipil."

Turk menambahkan sangat jelas bahwa keputusan untuk menyerang wilayah yang padat penduduk sipil akan mengakibatkan hasil yang dapat diprediksi: kematian lebih banyak warga sipil Palestina.

Dia meminta Israel mematuhi perintah Mahkamah Internasional (ICJ) pekan lalu untuk menghentikan serangan ke Rafah.

Presiden Dewan Eropa Charles Michel menyebut serangan Israel mengerikan dan mendesak Israel menghentikan serangannya di Rafah.

"Mengerikan melihat warga sipil Palestina yang tidak bersalah terbunuh dalam serangan baru-baru ini. Tidak ada zona aman bagi pengungsi internal di Rafah," kata Michel di platform media sosial X.

Di Washington, Amerika Serikat (AS), Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih merespons serangan Israel dengan menuturkan, "Israel mempunyai hak untuk menyerang Hamas dan kami mengetahui bahwa serangan ini menewaskan dua teroris senior Hamas yang bertanggung jawab atas serangan terhadap warga sipil Israel. Namun, seperti yang telah kami jelaskan, Israel harus mengambil segala tindakan pencegahan untuk melindungi warga sipil."

Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) menggambarkan situasi di Jalur Gaza pasca serangan Israel sebagai "neraka dunia".

"Informasi yang datang dari Rafah tentang serangan lebih lanjut terhadap keluarga-keluarga yang mencari perlindungan sangatlah mengerikan," sebut UNRWA.

Rumah Sakit Kuwait di Rafah Tutup

Didesak Israel, 80.000 Pengungsi Palestina Tinggalkan Rafah
Seiring berlanjutnya serangan di Rafah, pasukan Israel meminta warga Palestina untuk meninggalkan kota tersebut. (Foto: AFP)

Rafah telah menampung lebih dari satu juta orang – sekitar setengah dari populasi Jalur Gaza – yang mengungsi dari wilayah lain di Jalur Gaza. Kebanyakan dari mereka telah melarikan diri berulang kali. Ratusan ribu pengungsi memadati tenda-tenda kumuh di dalam dan sekitar kota, yang terletak di ujung selatan Jalur Gaza dan berbatasan dengan Mesir itu.

Netanyahu ngotot bahwa Israel harus menghancurkan apa yang disebutnya sebagai batalion terakhir Hamas yang tersisa di Rafah.

Di tempat lain di Rafah, Direktur Rumah Sakit Kuwait Suhaib Al-Hams mengumumkan penutupan rumah sakit yang dipimpinnya. Rumah sakit itu merupakan satu dari dua rumah sakit yang masih berfungsi di Kota Rafah.

"Kami mengumumkan penutupan Rumah Sakit Khusus Kuwait dan pemindahan staf medis ke rumah sakit lapangan yang sedang dipersiapkan di sekitarnya," kata Suhaib Al-Hams, seperti dikutip dari kantor berita Xinhua.

Langkah tersebut diambil karena perluasan operasi militer Israel di Rafah dan tindakan berulang kali yang sengaja menargetkan lingkungan rumah sakit. Yang terbaru, Israel menargetkan gerbang rumah sakit, mengakibatkan kematian dua petugas medis.

Sementara itu, Rumah Sakit Al-Aqsa di Deir al-Balah, memperingatkan bahwa pencegahan pasokan bahan bakar oleh tentara Israel dapat mengakibatkan penghentian layanan kesehatan dalam empat jam ke depan.

Rumah Sakit Al-Aqsa menjelaskan bahwa tentara Israel telah mencegah pasokan bahan bakar sejak Minggu. Rumah sakit ini menyediakan perawatan medis dan layanan kesehatan kepada lebih dari 1.200 orang yang sakit dan terluka, termasuk 600 pasien gagal ginjal yang memerlukan dialisis ginjal

Pihak Rumah Sakit Al-Aqsa meminta komunitas internasional menekan Israel agar memasok 50.000 liter bahan bakar untuk memastikan pekerjaan staf medis selama 10 hari ke depan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya