Liputan6.com, Pulau Luzon - Letusan gunung berapi darat terbesar dalam sejarah terjadi di Pulau Luzon, Filipina.Â
Gunung Pinatubo, yang sebelumnya merupakan lereng tertutup hutan yang tak terlalu mencolok, akhirnya meletus pada 15 Juni 1991, tepat 33 tahun lalu.
Baca Juga
5 November 2021: Insiden Berdesakan Mematikan di Festival Astroworld Rapper Travis Scott, 10 Orang Tewas
4 November 1993: Pesawat Boeing 747-400 China Airlines Tergelincir ke Pelabuhan Victoria Hong Kong Saat Mendarat
3 November 1918: Pemberontakan Kiel Picu Kaisar Jerman Turun Takhta dan Lahirnya Republik Weimar
Hujan abu vulkanik jatuh sampai Singapura, dan dalam satu tahun berikutnya, partikel vulkanik di atmosfer menurunkan suhu global rata-rata sebesar 0,5 derajat Celsius, melansir dari Live Science, Sabtu (15/6/2024).
Advertisement
Adapun pada 15 Juni 1991 pukul 13.42 waktu setempat, Gunung Pinatubo secara besar-besaran meletus dengan hebat.
Letusan klimaksnya terjadi pada hari yang sama ketika Topan Yunya berhembus di atas Luzon, pulau tempat Pinatubo menunggu waktunya selama berabad-abad, dan terus berkembang.
Topan Yunya biasanya merupakan badai kecil, tetapi hujannya yang bercampur dengan abu Pinatubo membentuk lumpur berat seperti beton, yang jatuh dari langit dan menimpa atap-atap rumah, bahkan membuatnya roboh.
"Jika seseorang sebelumnya memberi tahu saya bahwa saya akan mengalami letusan gunung berapi besar ini hanya 15 kilometer dari saya saat topan melanda, saya akan tertawa dan berkata, 'Nah, saya tidak bisa merencanakan itu'," kata John Ewert, seorang ilmuwan USGS yang memantau gunung berapi dari dekat Pangkalan Udara Clark, kepada Live Science menjelang peringatan 20 tahun letusan itu.
"Dan memang, sulit merencanakan sesuatu seperti itu, tetapi, hal-hal seperti ini sering terjadi."
Bukan hanya beton saja yang turun dari langit. Di Pangkalan Udara Clark, potongan pumice atau batu lahar sebesar 4 cm jatuh. Jika terkena, pasti akan sakit.
"Jelas bahwa semua peralatan telah dikeluarkan dan sistemnya benar-benar tidak berjalan linear," kata Ewert.Â
"Semua seismometer beroperasi sekeras yang mereka bisa, dan kemudian kami mulai kehilangan stasiun di dekat gunung berapi karena mereka telah ditimpa aliran piroklastik."
Pinatubo telah mengalami letusan Plinean, suatu letusan vertikal besar yang lahir pada tahun 79 ketika magistra Romawi Plinius yang Muda mencatat letusan dahsyat Gunung Vesuvius.
Awan letusan membentang 34 kilometer ke atmosfer. Di puncaknya, awan itu mekar seperti payung, membentang sejauh 400 kilometer.
Kondisi Setelah Gunung Meletus
Di Pangkalan Udara Clark, suara gunung berapi dikalahkan oleh suara gemuruh yang mengerikan.
Suara tersebut merupakan suara lahar, aliran abu, air, dan puing-puing batuan yang meluncur ke bawah dari gunung ke pangkalan. Gemuruh tersebut merupakan batu-batu besar yang bertabrakan dan dilempar seperti kerikil dalam kekuatan yang luar biasa dari aliran lumpur.
Dan itu sudah waktunya untuk evakuasi.
Pada saat itu, tim hanya memiliki satu seismometer saja, yang mereka bawa bersama, lainnya telah ditelan oleh Pinatubo.
"Jalanan dipenuhi dengan mobil, orang, dan kerbau air. Kami berlari secepat mungkin menjauhi gunung berapi, dalam sebuah truk pikap," kata Ewert. "Dan kami bergerak dengan kecepatan berjalan! Seperti melihat ke belakang kami dan awan letusan mendatangi kami."
Awan tersebut tidak datang, tetapi hujan lumpur, dan wiper truk tidak bisa bekerja. Para ilmuwan beralih ke satu-satunya alat yang masih dimiliki, yaitu sekotak minuman soda ceri yang dihindari oleh para prajurit di kantin Pangkalan Udara Clark karena terlalu menjijikan untuk diminum.
Ternyata minuman tersebut cukup berguna untuk membersihkan abu dari kaca depan.
Advertisement
Cerita Saat Proses Evakuasi
Tim berhasil mencapai titik evakuasi, yaitu Pampanga Agricultural College (Sekolah Tinggi Pertanian Pampanga), 38 kilometer dari Gunung Pinatubo.
Di titik evakuasi, mereka menghabiskan malam dengan merasakan guncangan kecil setiap menit. Setiap 10 atau 15 menit, gempa besar mengguncang kampus tersebut.
Apa yang mereka rasakan sebagian adalah runtuhnya puncak Pinatubo menjadi kaldera seluas 2,5 kilometer. Kaldera ini nantinya menjadi danau kawah dalam salah satu banyak perubahan yang dibawa oleh letusan Pinatubo terhadap lanskap Bumi.
Meskipun termasuk letusan yang cukup besar, letusan ini kalah dari letusan di Alaska pada tahun 1912 pada abad ke-20.
Hanya seratusan orang yang meninggal, jumlah yang rendah karena evakuasi yang dilakukan secara proaktif.
Namun kemudian, jumlah korban meningkat menjadi lebih dari 700, karena hujan muson membuat lahar aktif kembali hingga menghanyutkan rumah-rumah. Suatu penyakit di kamp pengungsian juga menjadi faktor penyebab jatuhnya korban jiwa.
Memiliki Dampak Secara Global
Secara global, Pinatubo telah menurunkan suhu global rata-rata sebesar 0,5 derajat Celsius dalam setahun setelah gunung tersebut meletus.
Di Luzon, hujan abu berlanjut selama berbulan-bulan, dengan Pinatubo yang mengeluarkan semburan abu hingga puluhan ribu kaki ke atmosfer saat kembali ke tidurnya.
"Bahkan akibat dari letusan itu sendiri akan menjadi letusan yang signifikan," ujar Hoblitt. "Hanya saja, itu didahului oleh sesuatu yang jauh lebih besar."
Lereng Pinatubo masih menjadi tempat yang berisiko. Pada tahun 2009, lima orang tewas dalam tur jeep ke danau kawah Pinatubo ketika aliran lumpur menyapu gunung.
Peristiwa vulkanik "tidak berakhir dengan cepat dan rapi dalam kebanyakan kasus," kata John Ewert, seorang ilmuwan USGS.Â
"Ketika Anda mengubah lanskap secara radikal seperti itu, Anda menciptakan lingkungan yang dinamis dan menantang bagi manusia untuk menghadapinya."
Advertisement