Liputan6.com, Washington - Dinamika politik Amerika Serikat (AS) jelang pemilu AS 2024 November mendatang semakin tidak menentu, terlebih setelah adanya upaya percobaan pembunuhan terhadap salah satu kandidat, Donald Trump, pada Sabtu (13/7/2024) dalam kampanyenya di Butler, Pennsylvania.
Insiden mengejutkan tersebut dinilai mempengaruhi politik dan sikap pemilih AS pada hari-hari menjelang pemilu AS mendatang.
Baca Juga
Dilansir Al Jazeera, Senin (15/7), Ahli Strategi Politik AS Rina Shah mengatakan satu hal yang akan terjadi setelah serangan tersebut, "Apa pun yang terjadi, segalanya akan berubah mulai saat ini."
Advertisement
Shah menyebut bahwa hal ini akan terlihat jelas dalam Konvensi Nasional Partai Republik (RNC) di Milwaukee, Wisconsin, di mana Partai Republik akan berkumpul mulai Senin untuk memulai proses resmi pencalonan Trump sebagai kandidat mereka.
Acara tersebut dimulai hanya dua hari setelah penembak yang diidentifikasi sebagai Thomas Matthew Crooks mengarahkan tembakannya ke arah Trump.
"Kita punya waktu kurang dari 120 hari lagi dan ini akan mengubah segalanya," lanjut Shah.
Bisa Timbulkan Perpecahan
Di sisi lain, Direktur Penelitian di Soufan Group, sebuah perusahaan konsultan keamanan, Colin P Clarke mengatakan bahwa insiden tersebut "melambangkan ekstremnya" demokrasi AS saat ini.
Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Amerika kurang terpolarisasi secara ideologis, mereka semakin "terpolarisasi secara emosional". Ini berarti mereka "memiliki rasa tidak suka yang kuat terhadap anggota partai lain", menurut sebuah analisis yang diterbitkan tahun lalu oleh Rachel Kleinfeld, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace.
Sementara itu, survei pada bulan Juni yang dilakukan di Universitas Chicago menemukan bahwa hampir 7 persen responden mengatakan penggunaan kekerasan dibenarkan untuk mengembalikan Trump ke kursi kepresidenan.
Analis keamanan Clarke menambahkan bahwa meskipun kekerasan pada rapat umum Trump bisa menjadi momen pemersatu bagi warga Amerika, insiden tersebut "kemungkinan akan menimbulkan perpecahan".
Kata-katanya terbukti benar, dan sejumlah anggota Partai Republik, termasuk calon wakil presiden Trump, Senator JD Vance, menyalahkan Biden atas serangan tersebut. Vance mengatakan retorika Biden menggambarkan Trump sebagai "seorang fasis otoriter yang harus dihentikan dengan cara apa pun".
Advertisement
Trump Bakal Terima Dukungan?
Sejumlah analis sepakat bahwa Trump kemungkinan akan menerima banyak dukungan setelah mengalami serangan tersebut.
Terlebih, ketika ia memutuskan untuk tetap hadir di RNC sehari setelah serangan.
"Foto ikonik Trump yang berdiri dengan kepalan tangan di udara, darah mengucur di sisi kepalanya, dan bendera yang menutupi tubuhnya benar-benar mendorong narasi tersebut," ujar Ahli Strategi Partai Republik James Davis.
Bahkan sedikit peningkatan dukungan dapat membuat perbedaan dalam signifikan dengan selisih tipis antara Trump dan Biden.
Arshad Hasan, ahli strategi Partai Demokrat, juga mengakui bahwa Trump kemungkinan besar akan mendapatkan keuntungan setelah serangan itu, terutama karena tim kampanye Biden berjanji untuk menghentikan komunikasi dan iklan yang mengkritik Trump selama 48 jam untuk menghormatinya.
Meskipun Hasan mengatakan adalah bijaksana bagi Partai Demokrat untuk fokus pada "kemanusiaan” setelah serangan itu, mereka juga harus terus menyerukan pengendalian senjata yang lebih besar, yang telah dijadikan prioritas oleh Biden dalam masa kepresidenannya.
"Saat yang tepat untuk membicarakan kekerasan bersenjata adalah kapan pun ada kekerasan bersenjata," katanya.
Biden dan Trump Kejar-kejaran Suara
Trump dan Biden sama-sama berharap untuk memenangkan sekelompok kecil pemilih yang belum menentukan pilihan di beberapa negara bagian utama, dan pada saat yang sama juga mendapat suara dari pemilih yang biasanya tidak datang ke tempat pemungutan suara.
Trump sebagian besar telah melewati masa hukumannya pada bulan Mei atas tuduhan terkait pembayaran uang tutup mulut yang diberikan kepada bintang film dewasa, meskipun beberapa jajak pendapat menunjukkan adanya penurunan di kalangan pemilih yang belum menentukan pilihan. Sementara itu, Biden menghadapi seruan yang semakin besar dari dalam partainya sendiri untuk mundur karena kekhawatiran mengenai usianya semakin meningkat.
Namun, jajak pendapat Bloomberg/Morning Consult yang dirilis pekan lalu menunjukkan Biden sedikit unggul dari Trump di Michigan dan Wisconsin, dan Trump sedikit unggul di Arizona, Georgia, Nevada, dan North Carolina.
Advertisement