Studi Ungkap Kapan Manusia Punah dan Penyebabnya

Benua akan kembali menyatu dan membentuk satu benua besar yang disebut Pangea Ultima. Terbentuknya superbenua ini tentu akan berdampak pada perubahan iklim Planet Bumi secara drastis.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 09 Nov 2024, 01:00 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2024, 01:00 WIB
Artificial Intelligence.
Ilustrasi AI Robotika Bersalaman dengan Manusia (Foto: Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi memprediksi kapan manusia punah di masa yang akan datang. Studi tersebut dipublikasikan di jurnal Nature Geoscience pada 2023 lalu.

Studi yang dilakukan oleh pakar dari University of Bristol, Inggris, ini memprediksi kepunahan massal berikutnya di Bumi usai kehancuran dinosaurus ini setidaknya terjadi dalam waktu 250 juta tahun lagi. Manusia akan punah akibat perubahan struktur benua yang memicu panas yang belum pernah terjadi di Bumi akibat perubahan iklim.

Melansir laman Earth pada Jumat (08/11/2024), peneliti menggunakan pemodelan iklim superkomputer pertama ini menunjukkan bagaimana iklim ekstrem akan meningkat secara dramatis. Perubahan iklim ekstrem ini terjadi saat benua-benua di dunia akhirnya bergabung membentuk satu benua super (super-kontinen).

Benua akan kembali menyatu dan membentuk satu benua besar yang disebut Pangea Ultima. Terbentuknya superbenua ini tentu akan berdampak pada perubahan iklim Planet Bumi secara drastis.

Temuan ini memproyeksikan bagaimana suhu tinggi ini terus meningkat, karena matahari menjadi lebih terang. Bintang galaksi Bima Sakti ini memancarkan lebih banyak energi dan menghangatkan bumi.

Proses tektonik yang terjadi di kerak Bumi dan menghasilkan pembentukan superkontinen yang akan menyebabkan letusan gunung berapi lebih sering terjadi. Hal ini akan menghasilkan pelepasan karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer.

Karbon dioksida akan semakin menghangatkan planet ini. Penulis utama studi ini, Alexander Farnsworth yang Senior Research Associate di University of Bristol, menyebut benua super yang baru muncul secara efektif akan menciptakan trio kenahasan (triple whammy).

Hal tersebut merupakan efek kontinental, matahari yang lebih panas, dan lebih banyak CO2 di atmosfer. Akibatnya, lingkungan yang sebagian besar tidak bersahabat, tanpa sumber makanan dan air bagi mamalia.

Saat itu, suhu bumi naik antara 40 hingga 50 derajat Celsius. Bahkan suhu harian yang lebih ekstrem, diperparah dengan tingkat kelembapan yang tinggi.

 

Manusia Tidak Lagi Beradaptasi dan Evolusi

Makhluk hidup umumnya selalu mampu beradaptasi untuk bertahan hidup dari berbagai iklim ekstrem sepanjang sejarah. Makhluk hidup ini mampu mengembangkan fitur-fitur seperti rambut atau bulu untuk menjaga tubuh tetap hangat, bahkan beberapa di antaranya punya kemampuan hibernasi selama musim dingin.

Meski mamalia telah berevolusi untuk menurunkan batas ketahanan suhu dingin mereka, toleransi suhu atas mereka pada umumnya tetap konstan. Fenomena benua super ini pun membuat paparan panas yang berlebihan dalam waktu lama menjadi lebih sulit untuk diatasi dan simulasi iklim pada akhirnya akan terbukti membuat manusia tidak dapat bertahan.

Namun, paparan panas yang berlebihan dalam jangka waktu lama jauh lebih sulit bagi mamalia untuk beradaptasi. Studi menunjukkan, ketika superbenua terbentuk hanya ada sekitar 8 persen hingga 16 persen daratan yang dapat dihuni oleh mamalia.

Dengan sebagian besar planet menghadapi panas dan kekeringan ekstrem, hampir tidak mungkin menemukan makanan dan udara.

 

Pentingnya Tata Letak Benua

Penelitian yang merupakan bagian dari proyek yang didanai oleh UK Research and Innovation Natural Environment Research Council (UKRI NERC) ini menyoroti pentingnya memahami tata letak benua dalam penelitian planet di luar tata surya kita, atau exoplanet.

Tim ilmuwan internasional menerapkan model iklim untuk mensimulasikan tren suhu, angin, hujan, dan kelembapan pada superkontinen yang diperkirakan akan terbentuk dalam 250 juta tahun mendatang, yang dikenal sebagai Pangea Ultima.

Untuk memperkirakan tingkat CO2 di masa depan, tim menggunakan model pergerakan lempeng tektonik serta model kimia dan biologi lautan untuk memetakan masukan dan keluaran CO2. Perhitungan CO2 ini dipimpin oleh Profesor Benjamin Mills dari University of Leeds, Inggris, yang mengungkapkan bahwa kadar CO2 dapat meningkat dari sekitar 400 parts per million (ppm) saat ini menjadi lebih dari 600 ppm jutaan tahun di masa depan.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya