Liputan6.com, Islamabad - Seorang pria di Pakistan mengaku telah menembak mati putrinya yang berusia 15 tahun setelah sebelumnya berdalih bahwa korban tewas akibat serangan oleh orang tak dikenal.
Mengutip laman Independent, Kamis (30/1/2025), polisi mengungkap bahwa motif pembunuhan diduga terkait dengan ketidaksenangan sang ayah terhadap konten TikTok yang diunggah putrinya.
Baca Juga
Menurut keterangan kepolisian, peristiwa tragis ini terjadi di kota Quetta, Pakistan, pada Selasa (28/1).
Advertisement
Awalnya, tersangka bernama Anwar ul-Haq mengaku kepada polisi bahwa putrinya yang lahir di Amerika Serikat tewas akibat serangan bersenjata oleh pihak tidak dikenal. Namun, setelah penyelidikan lebih lanjut, ia akhirnya mengakui bahwa dirinya adalah pelaku penembakan tersebut.
Penyelidikan awal menunjukkan bahwa keluarga korban tidak setuju dengan cara berpakaian, gaya hidup, dan pergaulannya.
"Kami memiliki ponsel korban, tetapi masih terkunci," ujar penyelidik kepolisian Zohaib Mohsin kepada Reuters, seraya menambahkan bahwa kemungkinan kasus ini termasuk dalam kategori "honour killing" atau pembunuhan demi kehormatan.
Tersangka dan keluarganya diketahui baru saja kembali ke Pakistan setelah tinggal di Amerika Serikat selama sekitar 25 tahun. Menurut pihak berwenang, Haq merasa tidak senang dengan putrinya yang terus membagikan konten di TikTok, meskipun telah kembali ke Pakistan. Selain Haq, polisi juga menahan saudara iparnya terkait dengan kasus ini.
Hingga kini, pihak keluarga korban belum memberikan komentar terkait kejadian tersebut.
Polisi menyatakan bahwa Haq telah didakwa atas pembunuhan ini. Namun, mereka tidak memberikan bukti tambahan mengenai status kewarganegaraan AS dari tersangka selain dari pengakuannya sendiri. Pihak kepolisian juga belum mengonfirmasi apakah Kedutaan Besar AS telah diberitahu mengenai kasus ini.
Sensor Digital di Pakistan
Pakistan adalah negara dengan norma sosial yang sangat konservatif, terutama terkait peran perempuan dalam masyarakat. TikTok sendiri memiliki sekitar 54 juta pengguna di Pakistan dari total populasi 241 juta jiwa.
Pemerintah telah beberapa kali memblokir platform tersebut karena masalah moderasi konten, terutama yang dianggap "tidak senonoh".
Kasus ini terjadi di tengah meningkatnya pembatasan terhadap kebebasan digital di Pakistan. Pemerintah sedang merancang undang-undang baru yang akan mengawasi konten media sosial dengan ketat.
RUU ini memungkinkan otoritas untuk menyelidiki serta menghukum penyebar informasi palsu dengan hukuman penjara hingga tiga tahun dan denda sebesar 2 juta rupee (sekitar Rp115 juta).
Di sisi lain, pembatasan terhadap media digital semakin ketat dengan perlambatan kecepatan internet oleh otoritas telekomunikasi dan pemblokiran platform X (sebelumnya Twitter) selama lebih dari satu tahun.
Â
Advertisement
Kasus "Honour Killing" Masih Marak di Pakistan
Menurut Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan, lebih dari 1.000 perempuan terbunuh setiap tahun oleh anggota keluarga atau komunitasnya atas nama "kehormatan".
Penyebabnya beragam, mulai dari kawin lari, pergaulan dengan pria, hingga aktivitas di media sosial yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai konservatif.