Jeritan Hati Para Imigran Ilegal yang Dideportasi AS ke Panama: Tolong Kami

Panama adalah satu dari sejumlah negara Amerika Latin yang bersedia menampung imigran ilegal yang terdampak kebijakan Trump.

oleh Khairisa Ferida Diperbarui 22 Feb 2025, 20:40 WIB
Diterbitkan 22 Feb 2025, 20:40 WIB
Para imigran ilegal yang dideportasi dari Amerika Serikat menempelkan kertas berisi pesan tertulis di jendela Hotel Decapolis tempat mereka menginap sementara di Panama City pada 18 Februari.
Para imigran ilegal yang dideportasi dari Amerika Serikat menempelkan kertas berisi pesan tertulis di jendela Hotel Decapolis tempat mereka menginap sementara di Panama City pada 18 Februari. (Dok. AFP)... Selengkapnya

Liputan6.com, Panama City - Selama berhari-hari, mereka mengaku terkunci di dalam sebuah hotel di Panama, dikelilingi oleh keamanan ketat dengan kontak terbatas dengan dunia luar.

Hampir 300 imigran ilegal dari Asia, yang semuanya dideportasi dari Amerika Serikat (AS), ditahan di sana oleh pihak berwenang Panama yang setuju menampung mereka dan akhirnya memulangkan mereka. Ini adalah bagian dari kampanye deportasi massal pemerintahan Donald Trump, yang telah menekan negara-negara Amerika Latin untuk membantu.

Pengacara yang mewakili beberapa imigran menuturkan kepada CNN seperti dikutip pada Sabtu, (22/2/2025), bahwa beberapa dari imigran telah dipindahkan ke sebuah kamp terpencil di pinggir hutan yang sulit dijangkau. Sekarang, mereka menunggu untuk mengetahui apakah mereka akan dikirim kembali ke negara asal mereka atau ke negara lain yang bersedia menerima mereka.

Namun, menurut pengacara mereka, kondisi yang mereka hadapi sangat mengkhawatirkan dan mungkin melanggar hak-hak mereka.

Para imigran mulai tiba di Panama City minggu lalu setelah dideportasi dari AS. Beberapa bahkan tidak tahu bahwa mereka akan diterbangkan ke negara lain hingga mereka benar-benar mendarat di Panama, menurut pengacara Ali Herischi, yang mengatakan, "Mereka diberitahu bahwa mereka akan pergi ke Texas."

Imigran-imigran tersebut kemudian dibawa ke Decapolis Hotel dan dipaksa untuk tinggal di sana selama berhari-hari tanpa bisa keluar.

Jenny Soto Fernandez, seorang pengacara Panama yang mewakili sekitar 24 imigran dari India dan Iran, menuturkan bahwa klien-kliennya hidup dalam isolasi, ketakutan, dan ketidakpastian.

Dia mengisahkan banyak dari mereka yang tidak tahu hak-hak mereka dan tidak diberikan surat perintah pengusiran saat dideportasi. Mereka juga menghadapi hambatan bahasa dan terus khawatir akan dipulangkan.

Salah satu imigran ilegal adalah Artemis Ghasemzadeh, seorang warga negara Iran yang melarikan diri dari negaranya karena takut dianiaya karena berpindah keyakinan ke agama Kristen.

"Menurut hukum Islam, Anda tidak bisa beralih dari Islam ke agama lain," kata Herischi, yang mewakili dia.

Ghasemzadeh kini khawatir nyawanya akan terancam jika dia dipulangkan ke Iran.

"Kami dalam bahaya," tulisnya dalam pesan teks kepada CNN pada Selasa. "Kami menunggu (sebuah) keajaiban."

Tekanan Psikologis

Ilustrasi bendera Panama.
Ilustrasi bendera Panama. (Dok. AP/ Eric Batista)... Selengkapnya

Di hotel itu, beberapa migran mencoba menyampaikan kekhawatiran mereka dengan mengirimkan sinyal-sinyal darurat kepada jurnalis yang berkumpul di luar. Berdiri di depan jendela, mereka mengangkat potongan kertas dengan tulisan tangan yang meminta dukungan.

"Saya harap Anda membantu kami," bunyi salah satu pesan. "Kami tidak (aman) di negara kami."

Pesan lainnya ditulis dengan lipstik langsung di jendela.

"BANTU KAMI," bunyi pesan yang ditulis dengan lipstick berwarna merah.

"Para imigran ilegal tersebut tidak diizinkan untuk meninggalkan hotel untuk perlindungan mereka sendiri," kata Menteri Keamanan Panama Frank Abrego pada Rabu.

Dia mengungkapkan mereka ditahan di hotel sebagian karena pejabat perlu memverifikasi dengan efektif siapa orang-orang ini yang tiba di negara kami.

Fernandez berpendapat bahwa para imigran memiliki hak untuk mencari suaka karena mereka melarikan diri dari penganiayaan.

"Orang-orang yang mengajukan status pengungsi ini—bukan karena mereka ingin datang ke sini untuk petualangan atau perjalanan. Tidak, mereka melarikan diri. Mereka adalah korban kekerasan dan penganiayaan," ujarnya kepada CNN.

Fernandez menjelaskan dia telah mencoba setidaknya empat kali untuk bertemu dengan klien-kliennya di hotel untuk menandatangani dokumen hukum yang diperlukan oleh pihak berwenang, tetapi selalu diblokir oleh petugas dan tidak pernah bisa melewati lobi.

"Mereka sangat emosional, berteriak, 'Saya ingin pengacara saya! Saya ingin dia. Saya tidak ingin berbicara dengan orang-orang di sini'," sebut Fernandez.

Pengacara Susana Sabalza mengatakan kepada CNN bahwa dia mewakili sebuah keluarga dari Taiwan yang telah ditahan di hotel selama lima hari tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi.

Dia menuturkan meskipun mereka memiliki tempat tidur yang nyaman dan tempat untuk tinggal, mereka berada dalam tekanan psikologis karena terkurung bersama penjaga keamanan, polisi imigrasi, (dan) petugas di sana.

 

Sedikit Keberuntungan

Presiden Panama Jose Raul Mulino.
Presiden Panama Jose Raul Mulino. (Dok. AP Photo/Matias Delacroix)... Selengkapnya

Presiden Panama Jose Raul Mulino pada Kamis (20/2) membantah bahwa pihak berwenang telah melanggar hukum.

"Organisasi-organisasi ini menghormati hak asasi manusia. Itu salah dan saya membantah bahwa kami memperlakukan mereka dengan buruk," tegas Mulino.

Abrego mengklaim pada Rabu bahwa dia belum mendengar ada imigran yang meminta suaka.

"Tapi jika mereka merasa perlu, seperti halnya manusia pada umumnya, untuk mengajukan suaka, kita harus memperhatikannya dan menyetujuinya atau menolaknya," tambahnya.

Pemerintah Panama mengatakan bahwa dari Selasa hingga Rabu, sekitar 97 migran dipindahkan dari hotel dan dibawa dengan bus ke kamp penahanan terpencil di pinggir Hutan Darien. Kejadian ini terjadi setelah laporan dari New York Times yang mengungkapkan keputusasaan para migran yang terjebak di hotel di Panama City.

Keajaiban yang diharapkan Ghasemzadeh tidak terjadi. Beberapa jam setelah berbicara dengan CNN, dia menjadi salah satu yang dipindahkan ke kamp tersebut. Kerabatnya mengatakan dia baru mengetahui pada Selasa malam bahwa dia akan dipindahkan dari hotel bersama sekitar 12 orang lainnya, dan dia tidak tahu ke mana pihak berwenang akan membawanya pada waktu itu.

Herischi, yang mewakili Ghasemzadeh dan sembilan pengungsi lainnya, menuturkan kepada CNN bahwa klien-kliennya berakhir di "kamp yang sangat buruk".

Dia menceritakan mereka menggambarkan tempat itu sebagai keras dan kotor, dengan akses terbatas ke obat-obatan dan internet.

Sabalza mengaku keluarga yang dia wakili turut dibawa ke kamp.

"Ini rumit karena ada anak-anak berusia lima tahun (dan) ini adalah tempat tropis," tutur dia kepada CNN.

Dia menegaskan bahwa pihak berwenang Panama belum memberikan pedoman tentang bagaimana pengacara dapat mengunjungi klien-klien mereka di kamp atau apakah mereka memerlukan izin khusus untuk masuk.

"Ini mendesak bagi kami untuk memiliki kejelasan tentang status kesehatan mental dan fisik klien-klien kami," ungkap Sabalza.

Saat migran-migran itu tiba di gerbang kamp pada Rabu pagi, Herischi mengatakan situasinya begitu tidak terorganisir sehingga penjaga tidak memiliki daftar nama migran untuk mengidentifikasi mereka saat tiba. Penjaga kemudian menyita semua ponsel migran.

"Ini menunjukkan bahwa (itu) adalah situasi yang sangat tidak terorganisir dan keputusan politik yang diambil sembarangan untuk menerima ini, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan mereka," katanya kepada CNN.

Herischi menambahkan bahwa dia berencana mengajukan gugatan hukum terhadap Panama dan AS di Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika dan pengadilan federal AS.

Lebih dari 100 migran, sebut pejabat Panama, telah meminta untuk tidak dipulangkan.

Abrego mengandalkan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dalam upaya menemukan negara ketiga yang bersedia menerima mereka.

Sementara itu, Presiden Mulino mengatakan kelompok migran lainnya akan dikirim ke kamp karena "di sana mereka bisa lebih merasa tenang".

Adapun 175 imigran yang masih berada di hotel, menurut Mulino, telah dengan sukarela setuju untuk kembali ke negara asal mereka. Setidaknya 13 imigran telah dipulangkan.

Herischi menyebutkan pihak berwenang Panama memastikan bahwa mereka tidak akan mengirim Ghasemzadeh dan migran lainnya kembali ke Iran jika mereka ketakutan akan pembalasan. Sebaliknya, pejabat terkait mengaku akan berbicara dengan kedutaan negara lain untuk melihat apakah mereka dapat menerima para imigran.

Lebih lanjut, Herischi menyimpulkan, "Satu-satunya 'keberuntungan' yang mereka dapatkan adalah bahwa Panama tidak memiliki hubungan dengan Iran, jadi tidak ada kedutaan Iran di sana."

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya