Liputan6.com, Jakarta - National Aeronautics and Space Administration (NASA) memulai pencarian air di Bulan dengan meluncurkan satelit Lunar Trailblazer. Roket SpaceX Falcon 9 membawa pengorbit Lunar Trailblazer milik NASA dan lepas landas dari Kennedy Space Center di Cape Canaveral pada 26 Februari 2025 lalu.
Lunar Trailblazer akan mencari keberadaan khususnya di kawah-kawah yang selalu berada dalam bayangan di kutub Bulan. Melansir laman Space pada Senin (03/03/2025), Lunar Trailblazer memiliki berat sekitar 200 kg dan lebar 3,5 meter saat panel suryanya terbuka penuh.
Advertisement
Wahana antariksa ini menggunakan platform Curio dari Lockheed Martin, arsitektur pesawat luar angkasa SmallSat yang baru. Platform inilah yang memungkinkan Lunar Trailblazer mengeksplorasi Bulan dalam misi ini dengan ukuran dan biaya yang lebih murah.
Advertisement
Baca Juga
Wahana antariksa ini kan dilengkapi dua instrumen untuk menjalankan misi mencari air di bulan. Dua instrumen tersebut, antara lain, HVM3 (High-resolution Volatiles and Minerals Moon Mapper) dan LTM (Lunar Thermal Mapper).
HVM3 merupakan instrumen berupa spektrometer pencitraan yang dikembangkan oleh JPL (Jet Propulsion Laboratory) yang peka terhadap jejak-jejak spektral air yang mungkin tersedia dalam berbagai bentuk serta dapat membuat peta resolusi tinggi. HVM3 bekerja dengan mengukur panjang gelombang cahaya matahari yang dipantulkan oleh permukaan Bulan untuk mendeteksi jejak kimia kemungkinan keberadaan air.
Sedangkan, LTM merupakan instrumen berupa sensor yang dikembangkan oleh Oxford University yang akan memerinci properti suhu permukaan Bulan. LTM bekerja dengan menggunakan cahaya inframerah untuk memetakan suhu permukaan dan variasi konsentrasi mineral yang terkumpul pada permukaan bulan.
Dengan memanfaatkan dua instrumen yang dimilikinya, hasil misi ini akan mampu memberikan informasi baru dalam memahami evolusi yang terjadi di Bulan. Pemetaan air di Bulan yang dilakukan Lunar Trailblazer dapat membantu NASA mengidentifikasi dengan lebih baik lagi dalam menentukan lokasi pada misi pendaratan manusia di Bulan pada masa yang akan datang, seperti misi Artemis.
Selain itu, peta yang dihasilkan dapat menjadi petunjuk baru terhadap ambisi pemanfaatan dan pengiriman air dan material lain dari bulan ke bumi, dan juga sebaliknya.
Air Bulan
Sebelumnya, para peneliti NASA meyakini keberadaan air pada satelit bumi ini. Penemuan air di Bulan pertama kali dideteksi melalui data satelit.
Pada 2009, instrumen di pesawat luar angkasa Lunar Crater Observation and Sensing Satellite (LCROSS) yang diluncurkan oleh NASA menemukan adanya jejak uap air setelah menabrakkan modul ke kawah Cabeus di dekat kutub selatan Bulan. Hal ini adalah bukti pertama yang kuat tentang adanya air di Bulan.
Namun, penemuan paling signifikan terjadi pada 2020 ketika Observatorium Stratosfer untuk Astronomi Inframerah (SOFIA) mendeteksi molekul air (H₂O) di permukaan terang Bulan yang terkena sinar matahari. Penemuan ini menegaskan bahwa air tidak hanya ditemukan di area bayangan abadi di kawah kutub, tetapi juga di area lain di permukaan bulan.
Air di Bulan tidak ditemukan dalam bentuk cair seperti di Bumi. Sebaliknya, ia hadir dalam bentuk es, terutama di kawah-kawah yang tidak pernah terkena sinar matahari di dekat kutub bulan.
Selain itu, molekul air juga ditemukan di regolit (lapisan tanah) bulan, yang terperangkap di antara partikel-partikel debu. Menurut penelitian, air di Bulan diperkirakan berasal dari beberapa sumber, termasuk dampak komet, interaksi dengan angin matahari, dan proses geologis internal bulan.
(Tifani)
Advertisement
