6 Maret 1993: Pertempuran Huambo di Angola, Korban Tewas 350 dan 1.500 Orang Terluka

Huambo menjadi saksi bisu pertempuran brutal antara pasukan pemberontak Unita dan pasukan pemerintah Angola pada 6 Maret 1993. Lebih dari 350 orang tewas, sementara ribuan lainnya mengalami luka-luka akibat konflik berkepanjangan.

oleh Alya Felicia Syahputri Diperbarui 06 Mar 2025, 06:00 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2025, 06:00 WIB
Pasukan pemerintah melarikan diri dari kota Huambo di Angola, menurut laporan Unita (AP/Arsip)
Pasukan pemerintah melarikan diri dari kota Huambo di Angola, menurut laporan Unita (AP/Arsip)... Selengkapnya

Liputan6.com, Huambo - Sejarah mencatat bahwa lebih dari 350 orang tewas dalam pertempuran antara Unita rebels (pemberontak Unita) dengan pasukan pemerintah Angola di Kota Huambo pada 6 Maret 1993, menurut laporan militer Angola.

Selain itu, pemerintah Angola juga melaporkan bahwa ada 1.500 orang mengalami luka-luka akibat dari  bentrokan sengit tersebut.

Para diplomat mengatakan bahwa pertempuran itu “kejam”, tanpa ada pihak yang membawa banyak tahanan.

Mengutip dari BBC On This Day Kamis (6/3/2025), disebutkan Radio station of Angola's rebel movement Unita atau stasiun radio gerakan pemberontak Angola, Unita, bahwa pasukan pemerintah telah melarikan diri dari kota tersebut. Unita juga mengklaim telah menyita banyak senjata dan amunisi, termasuk beberapa tank buatan Rusia.

Garnisun pemerintah di Huambo telah terisolasi selama beberapa pekan dan hanya menerima pasokan melalui pengiriman udara yang terbatas.

Pertempuran di sekitar Huambo semakin intens setelah Unita mengerahkan pasukan tambahan dari Provinsi Bie, sekitar 165 kilometer di sebelah timur kota.

Radio Unita juga melaporkan bahwa pemimpin mereka, Dr. Jonas Savimbi, akan berbicara kepada publik mengenai upaya penyelesaian konflik secara damai.

Sejak Januari 1993, Huambo yang berpenduduk sekitar 400 ribu jiwa tidak memiliki akses air bersih dan listrik. Banyak wilayah di kota itu hancur akibat serangan artillery shells atau peluru artileri.

Pertempuran di Huambo lebih bersifat simbolis daripada strategis. Bentrokan ini terjadi setelah gagalnya perjanjian damai tahun 1991 yang bertujuan mengakhiri 16 tahun perang saudara di bekas koloni Portugal tersebut.

Huambo merupakan wilayah yang dihuni Suku Ovimbundu, kelompok yang memberikan dukungan utama bagi Unita, atau Persatuan Nasional untuk Kemerdekaan Total Angola.

Sebelumnya, pejabat PBB mengakui kegagalan upaya diplomasi untuk menghentikan perang saudara yang kembali pecah di Angola. Mereka menyebut hasilnya sebagai "kekecewaan pahit".

Ppemberontak Unita tidak menghadiri pembicaraan damai yang disponsori PBB di Addis Ababa, Ethiopia, pekan lalu, tetapi mengusulkan perundingan baru di Jenewa.

Lembaga bantuan setempat menggambarkan situasi kesehatan di Angola sebagai "darurat". Di ibu kota Luanda, seorang anak dilaporkan meninggal setiap dua jam di rumah sakit anak.

Sebagian besar lembaga bantuan utama telah meninggalkan negara tersebut setelah Unita melancarkan upaya kudeta yang gagal di Luanda pada bulan November 1992.

Dua hari setelah baku tembak di Huambo, Unita mengumumkan telah merebut kota terbesar kedua di Angola dan sepenuhnya menguasai wilayah tersebut setelah mengambil alih posisi pemerintah.

Diperkirakan lebih dari 10 ribu orang tewas dalam pertempuran selama dua bulan di Huambo.

Pemimpin Unita, Jonas Savimbi, tewas dalam baku tembak dengan pasukan pemerintah pada Februari 2002. Unita kemudian bertransformasi menjadi partai politik dan menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan pemerintah Angola pada April 2002.

Pada 2003, Unita meminta maaf atas keterlibatannya dalam perang saudara yang berlangsung selama 27 tahun dan meminta pengampunan. Sekretaris urusan politik Unita, Abilio Camalata Numa, menyatakan pihaknya bertanggung jawab atas banyaknya korban jiwa, tetapi tetap membela "proyek politik" yang menjadi alasan perang tersebut.

Promosi 1

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya