Al-Arabiya dan Al-Jazeera Ikut `Perang` di Mesir

Selain perang saudara, penjungkalan Morsi juga memicu perang media.

oleh Riz diperbarui 30 Jul 2013, 09:27 WIB
Diterbitkan 30 Jul 2013, 09:27 WIB
perang-media-130730b.jpg

Pelengseran Mohammed Morsi menimbulkan konflik besar antara dua kubu, yakni kelompok penentang dan pro-Morsi. Kelompok penentang identik dengan kekuatan militer di bawah Kepada Panglima Angkatan Bersenjata Mesir, Jenderal Abdel Fatah Al Sisi. Sementara kelompok pro-Morsi didomnasi para kader Ikhwanul Muslimin.

Uniknya, penjungkalan Morsi juga memicu perang media. Media Arab Saudi Al-Arabiya dan media Qatar Al-Jazeera kerap menyajikan informasi dari sudut pandang berbeda sesuai perspektif masing-masing.

Perbedaan Al-Arabiya dan Al-Jazeera itu pertama kali muncul selama revolusi Arab (Arab Spring) pada 2011 lalu. Menurut analis dari Arab Saudi, Abdullah al-Shamry, 2 televisi berita ini memberikan perspektif Saudi dan Qatar dalam liputannya mengenai peristiwa-peristiwa yang berlangsung cepat itu.

"Arab Spring telah membuat polarisasi pada media Arab. Kedua saluran berita itu menjadi lebih peduli pada menyiarkan opini para pemiliknya ketimbang menawarkan pandangan profesional dan objektif," kata Shamry, seperti dikutip dari Ahram Online, Selasa (30/7/2013).

Dia menilai, Al-Arabiya dan Al-Jazeera telah kehilangan kredibilitas dibanding para pesaing, seperti France 24 dan Sky News Arabia. "Para pengamat yang muncul di Al-Jazeera dan Al-Arabiya dipilih secara hati-hati demi mendukung posisi mereka," ujar Shamry.

Perbedaan

Al-Jazeera dimiliki kerabat Emir Qatar. Media yang didirikan pada 1996 itu telah merevolusi dunia media di Arab yang selama beberapa dekade didominasi media-media yang dikendalikan pemerintah. Sedangkan Al-Arabiya dimiliki pengusaha Saudi Waleed al-Ibrahim yang berhubungan dekat dengan keluarga kerajaan Saudi.

Perbedaan sikap 2 media tersebut semakin jelas dalam liputan terhadap krisis di Mesir sejak demonstrasi pada Juni lalu yang diikuti kudeta militer atas Morsi.

"Al-Arabiya dan Al-Jazeera meliput peristiwa di Mesir dalam 2 cara yang secara diametrikal berlawanan," kata Mohammed El Oifi, pengamat media Arab dari Universitas Sorbonne di Paris.

Ketika Al-Arabiya menyiarkan langsung demonstrasi menentang Morsi di Lapangan Tahrir, Kairo, Al-Jazeera menayangkan demonstrasi pro-Morsi di sudut lain di ibukota Mesir itu.

Saat Al-Arabiya merayakan 'revolusi kedua' Mesir, sebagian besar pengamat tamu yang didatangkan Al-Jazeera menggambarkan penggulingan Morsi sebagai 'kudeta melawan legitimasi'.

Bagi Oifi, posisi Al-Arabiya adalah refleksi sejati dari garis yang diadopsi Arab Saudi yang kepala negaranya, Raja Abdullah, menjadi pemimpin asing pertama yang memberikan selamat kepada presiden sementara Mesir Adly Mansour, beberapa jam setelah ia dilantik menggantikan Morsi.

"Sebaliknya Al-Jazeera mengadopsi posisi yang lebih berlawanan dalam peristiwa 30 Juni (penggulingan Morsi) ketimbang pemerintah Qatar sendiri yang sepertinya bisa menerima kejatuhan Morsi," jelas Oifi.

Ketika sekitar 53 orang pendukung Morsi terbunuh di luar markas Garda Republik di Kairo pada 8 Juli, Al-Arabiya mengabaikan cerita versi Ikhwanul Muslimin mengenai insiden itu dan sebaliknya menayangkan pernyataan-pernyataan militer.

Sementara Al-Jazeera menayangkan cuplikan dari sebuah rumah sakit lapangan yang memperlihatkan demonstran pro-Morsi yang tewas dan terluka. Stasiun televisi ini juga menayangkan langsung konferensi pers Ikhwanul Muslimin.

Diancam

Awal bulan Juli ini,  sekitar 7 awak Al-Jazeera mengundurkan diri karena tidak setuju dengan kebijakan redaksional stasiun berita itu, atau karena menerima ancaman.

Direktur pelaksana Al-Jazeera yang mendedikasikan televisinya sebagai saluran langsung ke Mesir, Ayman Gaballah, menulis di harian The Telegraph pada 13 Juli bahwa "awak kami menerima ancaman maut, leaflet-leaflet berdarah yang dikirimkan ke kantor-kantor kami, dan kami diburu pihak militer saat jumpa pers dengan jurnalis lain."

Akademisi Kuwait Saad al-Ajmi yang pernah menjadi Menteri Informasi Kuwait mengatakan, Al-Arabiya dan Al-Jazeera menawarkan liputan mendalam mengenai peristiwa-peristiwa. Namun, mereka punya perbedaan pandangan politik.

"Keduanya meliput demonstrasi dari kedua sisi. Kendati begitu, sudut pandangnya jelas merefleksikan upaya mereka untuk memusatkan pada massa besar demonstran di satu kubu atau lainnya," ujar Jami.

Pemirsa

Tak hanya pengamat, para pemirsa pun menyerang kedua saluran berita televisi ini. Satu laman Twitter dengan hashtag "#Tweet Like You Are Al-Arabiya" mengolok-olok liputan stasiun televisi yang berbasis di Dubai ini.

Dan satu grup Facebook dengan anggota lebih dari 6.000 orang menyerukan agar saluran Al-Jazeera si kolaborator dari Mesir diusir. Dan menuding televisi berita ini tengah memecah belah rakyat Mesir.

Bagi seorang pemuda bernama Hossam (18), "Al-Jazeera membesar-besarkan dan memusatkan perhatian pada Ikhwanul Muslimin. Liputannya bias."

Abdel Fataah Mohammed, seorang ekspatriat Mesir di Uni Emirat Arab, berkata, "Al-Jazeera agak condong ke Ikhwanul Muslimin namun itu terjadi karena sudut pandang demikian tidak mendapat tempat di stasiun lain."

"Bagaimana pun saluran berita ini (Al-Jazeera) tetap memotret peristiwa langsung dengan apa adanya dan mendatangkan pengamat tamu dari semua kalangan tidak seperti pesaingnya. Saya telah berhenti menonton Al-Arabiya. Mereka tidak objektif," ujar Mohammed.

Sementara menurut pemirsa lain, Ajmi, persaingan media ini sehat. "Variasi liputan mereka mengenai peristiwa-peristiwa bermanfaat untuk pemirsa. Tidak cukup bagi pemirsa Arab jika hanya mengikuti satu sudut pandang," ungkapnya. (Riz/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya