Kesaksian Horor Eks Operator Drone AS `Si Pembunuh Jarak Jauh`

Brandon Bryant meluncurkan rudal, membunuh banyak orang dari jauh. Di Irak, Afghanistan, di manapun AS punya kepentingan.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 25 Okt 2013, 17:07 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2013, 17:07 WIB
drone-pembunuh131025b.jpg
"Aku melihat pria itu tewas. Kematian yang perlahan..." Kalimat itu meluncur dari bibir eks operator senjata pada drone atau pesawat tak berawak milik Angkatan Udara Amerika Serikat saat mendeskripsikan aksinya di Afghanistan.

Meski tak terjun langsung ke medan perang, sang operator mengaku dihantui horor ini: fakta bahwa ia membunuh banyak orang yang berada ribuan kilometer jauhnya, sementara ia duduk dengan aman di sebuah bunker komando milik AS.

Nama eks operator itu Brandon Bryant, yang berpangkat Airman First Class. Ia buka mulut kepada GQ untuk meningkatkan kepedulian publik terhadap dampak drone.

Ia mengisahkan sebuah insiden secara detail -- dimulai saat ia mengambil alih kontrol sistem senjata MQ-1B Predator drone yang berkeliling diam-diam di atas pedesaan Afghanistan.

Bryant duduk di kursi empuk di bilik gelap di gurun Nevada, hanya diterangi oleh monitor layar besar dan sejumlah layar lipat. Di sampingnya duduk pilot yang mengendalikan drone tersebut.

Bryant diminta melacak 3 orang yang sedang berjalan menyusuri jalan berdebu. Ia menginstruksikan kamera drone mengambil gambar dekat orang-orang itu. Informasi menyebut, mereka menenteng senapan. Namun, dari gambaran di kamera, ia yakin itu bukan senjata melainkan tongkat gembala sederhana.

Lalu, terdengar perintah nyaring di headset-nya: "Tembak!"

Prosedur dilakukan:

IR mode: Check

Laser designator: Check.

Hitungan mundur: 3...2...1. "Rudal meluncur"

Lalu, rudal Hellfire berharga 95.000 dolar Australia melesat dari bawah drone Predator dengan kecepatan supersonik, hanya beberapa detik sebelum ia menyambar target.

Kemudian, operator terus mengawasi layar. Tiga pria yang jadi target terus berjalan, tanpa menyadari ia sedang diintai.

Sejurus kemudian, kamera IR merekam nyala api. Terang. Semua diam.

"Saat asap mengabur, potongan tubuh dua orang di antaranya berceceran di sekitar kawah ledakan," kata Brandon Bryant kepada GQ, seperti dimuat News.com.au, Jumat (25/10/2013).

"Dan pria ketiga ada di sana, ia kehilangan kaki kanannya, di atas lutut. Ia memegang potongan kakinya, berguling, darah mengucur deras dari sana ...Butuh waktu lama baginya untuk meninggal. Aku melihatnya. Menyaksikannya sewarna dengan tanah tempatnya berbaring. Merah."



Tapi bahkan di bunker yang dilengkapi dengan pengatur suhu udara, Bryant merasakan dampak perang yang terjadi ribuan kilometer jauhnya.

Suatu hari, ia ditugaskan mengintai seorang komandan pemberontak Irak lewat mata elektronik dari angkasa.

Ia melihat targetnya menarik dan menyeret dua gadis keluar dari mobilnya. "Mereka diikat dengan mulut tersumbat," kata Bryant. "Pria itu memaksa keduanya berlutut dan mengeksekusinya di tengah jalan, meninggalkan jasad mereka begitu saja. Orang-orang hanya melihat tapi tak melakukan apapun."

Demikian pula dengan para petinggi militer AS. Saat itu, kata Bryant, tak ada perintah untuk bertindak.

Bukan Anak Kecil, Tapi Anjing...

Bryant mengakui, dalam tugasnya ia melakukan banyak tugas penting, seperti mendukung pasukan di lapangan.

Sebelum menargetkan seseorang, para operator juga diberitahu, dengan presentasi PowerPoint, siapa saja target mereka, dan mengapa ia jadi sasaran. "Aku suka itu. Aku senang bisa tahu alasan dari semua tindakan," kata dia.

Tapi ada juga insiden yang membuatnya meragukan peran robot pembunuh bersayapnya.

Suatu hari, Bryant menceritakan, sesaat setelah rudal diluncurkan, ada sosok kecil berlari dari pojok ke pojok, di muka sebuah bangunan. "Di mataku ia seperti anak kecil," kata dia. Dan ia yakin benar dengan penglihatannya.

Namun, pihak intelijen yang mengawasi misi tersebut melaporkan dalam keterangan resminya bahwa korbannya adalah seekor anjing. Ia tak percaya.

Bryant mengakui, para operator hanya sedikit lebih baik dari mesin yang mereka operasikan. Emosi mereka bisa saja mati. Seperti zombie.

Tapi, Bryant tak kebal. Ia belakangan didiagnosis menderita gangguan stres pasca trauma -- penderitaan umum bagi para mantan operator senjata drone militer AS.

Bagi pilot sensasinya seperti mengendarai pesawat asli, namun bagi operator senjata yang tertinggal adalah kelelahan di balik layar monitor yang terus berkedip -- berusaha memahami apa yang terjadi di belahan dunia lain. Membunuh orang dari jauh. Mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan kontroversial.

Bryant angkat bicara dengan maksud meningkatkan kesadaran tentang pembunuhan berdarah dingin yang dilakukan operator drone termasuk apa yang dulu ia lakukan.

Meski menganggap 2 pembocor rahasia AS, Chelsea Manning dan Edward Snowden sebagai pahlawan, Bryant menolak mendiskusikan detail tugasnya yang diklasifikasikan sebagai 'rahasia'.

Kontroversi

Kesaksian Bryant makin memanaskan kontroversi seputar drone perang AS.



Bagaimanapun, pemerintah AS bersikukuh, operasi pesawat tanpa awaknya menargetkan pemimpin teroris -- dengan mengirimkan drone ke wilayah udara sebuah negara --adalah tindakan yang dilegalkan menurut aturan hukum internasional.

"Untuk tidak menyerang 'teroris' dengan cara ini sama saja dengan mengundang lebih banyak serangan ke daratan Amerika Serikat," kata mereka .

Sebaliknya, Amnesty International mengatakan aksi tersebut sebagai 'kejahatan perang'. Pakistan, Yaman, dan Afghanistan sudah merasakan dampak drone yang dikirimkan AS.

AS telah melakukan 400 serangan pesawat tak berawak di distrik suku yang bergolak di Pakistan, di perbatasan Afghanistan sejak 2004, menewaskan 2.500 sampai 3.600 orang, menurut Bureau of Investigative Journalism yang berbasis di London. (Ein/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya