Liputan6.com, Jakarta Manusia adalah mahluk sosial. Sejak ada di dunia ini meski masih dalam rahim seorang ibu, dia selalu membutuhkan dan dipengaruhi oleh hadirnya orang lain. Bahkan ketika lahir, dibanding mahluk hidup yang lain, bayi manusia relatif adalah mahluk yang paling lemah. Jika beberapa binatang bahkan segera belajar berjalan atau mencari makan sendiri sesudah lahir, manusia membutuhkan waktu dalam hitungan tahun untuk dapat berjalan dan melakukan aktivitas mandiri lainnya.
Pada manusia, hadirnya orang lain tersebut tidak hanya akan memberikan pengaruh secara fisiologis lewat pemenuhan kebutuhan fisik namun juga mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Secara fisik, bantuan dari orang lain akan mendukung perkembangan fisiologis termasuk di dalamnya mendukung perkembangan motoriknya. Secara psikologis, kehadiran orang lain akan membantu manusia untuk berkembang menjadi pribadi yang memiliki kemampuan tidak hanya secara intrapersonal (berhubungan dengan diri sendiri) namun juga secara interpersonal (berhubungan dengan orang lain).
Baca Juga
Konsekuensi dari kesadaran diri seseorang bahwa dirinya adalah mahluk sosial adalah terbangunnya pemahaman bahwa orang lain membutuhkan dirinya seperti halnya dirinya membutuhkan kehadiran orang lain dalam kehidupannya. Pemahaman ini seharusnya akan berlanjut pada pilihan sikap untuk menjadi orang yang peka dan kemudian mau peduli dengan orang lain di sekitarnya. Tentu saja sikap ini dengan mudah dapat terbiaskan dengan apa yang disebut altruisme semu. Altruisme semu berarti munculnya perilaku berbagi pada orang lain misalnya lewat memberi sesuatu namun sebenarnya mengincar pamrih / keuntungan tertentu dari perilaku memberi tersebut. Misalnya seseorang menyumbang pada korban bencana alam dan dipublikasikan di media masa demi mendapatkan keuntungan berupa nama baik.
Advertisement
Secara umum, mudah menilai bahwa berbagi pada orang lain akan memberikan keuntungan bagi orang yang diberi. Akan tetapi, berbagi pada orang lain sebenarnya juga memberikan keuntungan tersendiri kepada orang yang berbagi itu sendiri. Selain tentu saja keuntungan terbangunnya relasi interpersonal yang lebih baik dengan orang yang diberi, mereka yang berbagi sebenarnya seringkali secara tidak sadar sedang membangun konsep diri yang positif tentang diri mereka sendiri. Jika perilaku berbagi ini dilakukan secara terus menerus, individu akan mengalami peningkatan dalam kesehatan psikologis.
Karena berbagi pada orang lain menjadi perilaku yang penting, orang tua perlu mulai mengajarkan pada anak semenjak dini. Perilaku ini dapat mulai diperkenalkan pada anak semenjak usia kurang lebih 1 tahun, tergantung kesiapan masing-masing anak. Beberapa hal yang perlu diperhatikan orangtua saat hendak memperkenalkan dan mengajarkan perilaku berbagi pada anak adalah sebagai berikut:
Beri contoh
1. Memberikan contoh pribadi yang murah hati
Cara pertama yang sangat efektif mengajarkan sesuatu pada anak adalah memberikan contoh tentang apa yang harus dilakukan. Kemampuan berbagi dan menjadi pribadi yang murah hati akan terinternalisasi dalam diri anak saat dia melihat orangtua sebagai orang yang sangat penting dalam hidupnya terlebih dahulu memberikan model tentang perilaku tersebut. Tentu saja sebagai model / contoh, orangtua tidak bisa melakukannya dengan berpura-pura. Orangtua perlu menjadi pribadi yang murah hati terlebih dahulu atau paling tidak menunjukkan pada anak bahwa hal itu penting dan orangtua serius mengusahakannya. Jika hal ini dilakukan, ada peluang besar anak akan terbentuk menjadi pribadi yang peduli di masa-masa perkembangan diri sang anak selanjutnya.
2. Mengajarkan anak bahwa dia tidak hidup sendiri
Salah satu halangan terbesar untuk menjadi pribadi yang murah hati adalah sikap yang terlalu egosentris. Sikap ini didasarkan pada pandangan bahwa pusat dari dunia adalah diri sendiri. Keberadaan orang lain di sekitar hanyalah sebagai pelengkap yang hanya dihargai / diakui sejauh mendukung keberadaannya tersebut. Jika tidak, orang lain di sekitarnya dipandang tidak berguna bahkan tidak ada. Sikap ini tentu saja menjauhkan seseorang dari sikap peduli dan murah hati karena individu yang memiliki sikap-sikap tersebut selalu menempatkan orang lain sebagai pribadi yang memiliki keberadaan tersendiri dan perlu diakui terlepas dari apakah keberadaan mereka bermanfaat bagi keberadaan orang tersebut atau tidak.
Mengajarkan perspektif ini pada anak tidaklah mudah. Dalam setiap pilihan anak, apalagi yang berkaitan dengan orang lain, anak perlu diajak mempertimbangkan juga sudut pandang dan keadaan orang lain. Misalnya saat anak masih ingin bermain di rumah temannya namun temannya harus istirahat atau melakukan aktivitas lain, orangtua perlu mengajak sang anak melihat kebutuhan temannya tersebut dan memakluminya meskipun sebenarnya keinginannya untuk bermain masih sedemikian besar
Advertisement
Ajari tentang keterbatasan
3. Mengajarkan anak akan keterbatasan sumber daya alam di dunia ini
Dalam kondisi kesejahteraan masyarakat yang tampaknya semakin baik, sumber daya alam seakan-akan tidak dapat habis. Akan tetapi, kondisi bahwa sumber daya alam adalah tak terbatas sebenarnya bersifat semu. Sebanyak apa pun sumber daya alam, pastilah dapat habis. Kondisi melimpah pun seringkali hanya terjadi di daerah-daerah tertentu sementara daerah yang lain mengalami kekurangan. Orangtua, khususnya yang berada pada kondisi kesejahteraan yang melimpah, semestinya mengajarkan anak untuk menghargai sumber daya alam yang dimiliki.
Meskipun tersedia banyak, mereka perlu menggunakannya secara bijaksana demi berbela rasa pada orang lain yang berkekurangan. Misalnya saat anak tidak menghabiskan makanan atau membuang-buang air, orangtua dapat mengatakan pada anak bahwa saat ini banyak orang yang masih kelaparan dan juga kesulitan mendapatkan air. Ini adalah fakta dan anak perlu mengetahuinya agar mereka dapat bertindak lebih bijaksana dalam mengkonsumsi sumber daya alam yang ada.
Yohanes Heri Widodo, M.Psi., Psikolog
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara, Yogyakarta