Liputan6.com, Jakarta Hidup bagi seorang Drs Suyadi adalah ‘panggung’ dalam arti sebenarnya… Dia bisa menghidupkan panggung dengan spidol di atas papan tulis saat mendongeng. Ia gambar adegan demi adegan sambil bercerita. Dia juga fasih mencitrakan sebuah adegan dari epos Ramayana, lalu dia hidupkan penarinya dalam lembar kanvas. Bukan cuma akurat dalam penceritaannya, tapi visualnya seakan berkelebat dan bergerak dalam kanvas… Dalam keseharianpun, ia penutur bahasa Indonesia yang hanif. Tak pelak ia sisipi percikan dongeng jika ia bertumbuk dengan sebuah peristiwa…
Suyadi acap menggambarkan kehidupan anak Indonesia penuh kegembiraan, lengkap dengan efek dramatisnya. Ada yang asyik dengan layangannya. Ada yang ikut ‘terbawa’ orang tuanya ngamen di sebuah kedai. Ada yang seru sendiri saat bermain gendang masal… Anak-anak Indonesia tergambar ria dengan aktivitasnya: bermain. Ada juga puluhan gambar wajah membesut karakter, bermimik penuh ekspresi. Close up dan hidup.
‘Panggung’adalah fragmen hidup bagi Suyadi. Maka ketika saya mulai bergelut mengarsip karya-karyanya berupa 812 (entry) karya seni rupa berupa ilustrasi, drawing, sketsa, maupun lukisan, saya menemukan bahwa “Pak Raden bukan cuma Unyil”. Bahkan jauh dari itu, serial Unyil hanya segelintir dari kiprahnya di bidang seni rupa.
Advertisement
art book cover Artbook ini sejatinya hanyalah sebagian kecil dari proses saya selama bertahun-tahun mengarsip karya seni rupa Suyadi. (setiap kali itu juga saya selalu berpikir bahwa ; Suyadi mengabdikan hidupnya untuk menggambar). Artbook ini juga direncanakan akan terbit dalam beberapa seri volume dengan tujuan menjadi pengarsipan bagi kesejarahan Suyadi dalam seni rupa Indonesia (periode 1972 – 2013).
Dan dalam sebaran tumpukan arsip, materi dalam artbook ini menjadi jembatan yang erat bagi buku biografi yang saya susun untuk Suyadi yang berjudul “Drs Suyadi : Dongeng Seorang Pendongeng”. Atas bantuan sahabat saya Dicky Aryo Aditomo, buku ini mewujud indah dalam kemasan yang sangat mencerminkan siapa itu Suyadi. Dicky membuat saya yakin, dari tumpukan arsip yang tertimbun dalam bentuk digital tidak menciderai konsep buku biografi yang akan terbit nanti, malah akan mendukung satu dengan lainnya. Terimakasih untuk memproduseri buku mungil ini…
Serial Unyil (maksudnya dalam embrio gambar) langsung terlihat sunyi dibanding desakan gambar-gambar lain yang menderu. Unyil langsung senyap dalam puluhan gambar penari, manuskrip buku wayang “Suti” dan “Trimo”, Buto Ijo yang mengejar Timun Mas, sampul di mana si Budi dan si Wati hendak ke sekolah, juga rentetan penabuh gendang masal yang menghamburkan warna… Sekitar 10 tahun lalu, justru gambar-gambar dari buku pelajaran “Bahasa Indonesia” dan buku Seribu Kucing Untuk Kakek –lah yang membuat saya memberanikan diri mengetuk rumahnya.
Kekuatan garis hitam-putihnya, juga gerakdan ekspresi dalam gambarnya lah yang justru menggerakan hati saya (bukan Unyil). Saya menawarkan diri untuk membuatkan buku biografi untuknya, yang saat itu sempat ia tolak. Dan pada akhirnya saya menjadi pendamping Suyadi untuk urusan manajerial, penjadwalan, promosi dan keadministrasian. Pada akhirnya, saya memberanikan diri memproduseri beberapa pameran luksiannya, juga “Rumah Seribu Kucing”, yang menjadi cikal yayasan Drs Suyadi, produksi cinderamata, penerbitan dan segala hal mengenai Suyadi.
Unyil lahir lewat tangan Suyadi. Itu mutlak. Berkat kepiawaiannya dalam meramu seni rupa, gairahnya mendongeng (lewat kekuatannya mendalang), serta kecintaanya terhadap anak Indonesia, semua menjadi ensamble, mewujud, dan senyatanya telah dicintai masyarakat Indonesia berlapis generasi. Dan ketika volume perdana terbit, saya meyakinkan diri bahwa Unyil hanya sebagian kecil dari kiprah seni seorang Suyadi. Jagat panggunglah yang menjadi semestanya.
(Prasodjo Chusnato-Kurator)