Liputan6.com, Jakarta Akhir-akhir ini kita semakin sering mendengar informasi seputar kasus narkoba. Dari semua jenis narkoba yang ada, narkoba jenis sabu-sabu menjadi yang paling favorit bagi para pengguna seantero Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan data resmi milik Badan Narkotika Nasional (BNN), jumlah pecandu segala jenis narkoba di Tanah Air melampaui empat juta jiwa. Itu pun yang tercatat, bayangkan apabila digabungkan dengan mereka yang masih berkeliaran, angkanya tentu fantastis.
Sebagian besar dari mereka adalah pecandu sabu-sabu. Mulai dari artis tersohor dalam negeri hingga pejabat pemerintah, sabu-sabu nampaknya selalu berhasil membuat korbannya ketagihan.
Kita sudah tahu siapa saja yang terjerat hukum, di mana lokasi pesta sabunya, berapa jumlahnya, bahkan ciri-ciri penggunanya. Namun sebetulnya pertanyaan paling penting yang belum banyak terjawab adalah, mengapa narkoba jenis sabu-sabu paling diminati, dibutuhkan, dan dicari di negara ini?
Melansir atau mengutip informasi dari media lain atau institusi terkait saja tidaklah cukup untuk kita menyimpulkan alasannya. Kali ini Liputan6.com berhasil mewawancarai 3 mantan pemakai sabu-sabu akut dari tiga kota besar yang berbeda di Indonesia.
Untuk menghormati kenyamanan privasi masing-masing individu, identitas mereka tidak akan dibuka ke publik.
Mantan pecandu sabu-sabu
Sebut saja si A, B dan C. A merupakan seorang wanita mantan pecandu narkoba jenis sabu-sabu dengan jangka waktu pemakaian kurang lebih 5 tahun. B dan C adalah mantan pecandu sabu-sabu pria. B menggunakannya selama 2,5 tahun, dan C 3 tahun 2 bulan. Usia mereka berkisar antara 19 hingga 27 tahun.
Ketiganya sudah pernah menjadi target operasi pihak kepolisian di wilayah masing-masing dan sudah pernah menjalani rehabilitasi di dalam dan luar negeri. Mereka sudah berhenti menjadi pengguna dan gerak-gerik mereka sampai detik ini masih dipantau oleh pihak BNN.
Tiga mantan pecandu ini melakukan tes urine, darah, dan rambut setiap dua minggu sekali untuk memastikan pihak berwenang bahwa mereka terbebas dari barang haram tersebut.
Mereka bersedia untuk membantu masyarakat Indonesia belajar memahami apa yang ada di pikiran pemakai sabu dan melihatnya dari kacamata para mantan pecandu.
Ini sangatlah penting, terutama untuk strategi pencegahan. Menciptakan efek jera berarti kita harus terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat sabu-sabu begitu nikmat dan spesial.
Mengeliminasi faktor-faktor yang membuat sabu-sabu begitu berharga akan mempermudah upaya pencegahan sekaligus pemulihan pada korban.
Alasan sabu terfavorit
Berikut faktor-faktor di balik keunggulan narkoba jenis sabu di Indonesia menurut tiga mantan pengguna akut.
Proses menarik
Cara membuat perangkat sabu tergolong sulit. Lain halnya dengan ganja yang bisa dilinting atau ekstasi yang bisa langsung dikonsumsi, proses pembuatan alat isap sabu membutuhkan keterampilan khusus. Tidak hanya 'bong', korek pun harus dimodifikasi supaya apinya kecil dan berwarna biru.
Cara pemakaian juga tidak kalah rumit. Teknik pembakaran harus sangat hati-hati sehingga cangklong tidak gosong. Seorang pengguna kerap merasa bangga apabila bisa mengatur napas mereka dengan baik. Ini dikarenakan mereka menemukan kenikmatan yang maksimal ketika mampu "menarik" atau mengisap dalam kurun waktu yang cukup lama dan dengan ritme napas yang konsisten.
A: "Ada kepuasan batin tersendiri, seolah gue berhasil merakit atau membuat sesuatu yang butuh banyak skill. Intinya, psikis gue pada saat itu melihatnya sebagai tanda suatu pencapaian."
B: "Terserah mau bilang gue 'katro' atau apa, tapi memang dulu ada kebanggaan tersendiri saat berhasil buat alat sabu menggunakan metode yang enggak simple dan enggak semua orang bisa contoh atau lakukan."
C: "Jawaban gue sih pastinya enggak beda jauh sama A dan B. Rasa puas sama bangga memang udah suatu bentuk penjelasan yang paling pas. Tapi emang kalau gue tipe orang yang doyan ngotak-ngatik barang, pokoknya yang menantang sisi keterampilan gue, deh. Jadi, enggak heran kalau waktu dulu tangan berasa gatal banget pingin buru-buru merasakan serunya buat alat."
Durasi lama
Durasi efek sabu-sabu tergolong lama dan mungkin yang paling panjang di antara lainnya. Satu atau dua isap saja mampu membuat seseorang terjaga lima hingga delapan jam. Untuk pengguna di kota-kota besar, ini merupakan suatu kelebihan untuk membantu mereka agar selalu aktif bekerja, bersosialisasi, dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan.
Karakter perkotaan yang begitu sibuk membuat orang-orang di dalamnya termotivasi untuk menjadi sibuk juga. Namun sayangnya, beberapa orang memilih menggunakan sabu untuk tetap sibuk dan menjadi bagian dari masyarakat yang aktif.
A: "Mungkin banyak orang mengira kokain atau 'special K' (Ketamine) bisa membuat mereka selalu terjaga, tapi sebetulnya jangkanya lebih pendek dibanding sabu. Pada saat lagi aktif-aktifnya kerja dan jadi pengguna barang ini serasa berguna banget untuk memastikan otak gue jalan lancar saat menciptakan ide dan sigap terus selama sesi diskusi. Jadi gue berpikir pada saat itu, buat apa beli yang lain dengan harga hampir mirip tapi durasinya tetap kalah sama sabu?"
B: "Nyokap dulu sering panggil gue `kalong`, gara-gara selalu bangun pas malam hari. Beda sama A yang gunain itu untuk kerja pas pagi dan siang hari, kalau gue gunain kelebihan durasi panjangnya untuk hal-hal seperti, main game, pergi nongkrong, rekreasi, pokoknya yang fun dan bisa dilakukan sepanjang malam. Pas itu gue mikir-nya, `Kalau perlu enggak tidur, ya enggak tidur deh gue!`"
C: "Kalau gue mungkin lebih mirip sama A ya soal gimana menikmati durasi sabu yang tergolong cukup lama efeknya. Pekerjaan gue memang bukan typical yang menguras pikiran, tapi lebih ke pengurasan tenaga. Nah, waktu dulu gue memang ngeliat-nya bermanfaat banget sabu enggak hanya bikin gue kuat angkat sana-sini tapi kuatnya jadi lebih lama sehingga gue bisa kelar bahkan sebelum jatuh temponya."
Advertisement
Alasan sabu paling laku
Asap tidak bau
Asap sabu-sabu tidak memiliki aroma yang khas. Kalau pun ada yang bisa mencium baunya, mereka kerap mendeskripsikan aroma tersebut mirip dengan batere yang sedang meleleh. Tapi kebanyakan mengatakan bahwa mereka tidak bisa mendeteksi aromanya.
A: "Setiap pengguna pasti memiliki rasa paranoid masing-masing. Memang alat perangkat sabu paling sulit disembunyikan karena banyak perintilannya. Tapi salah satu kelebihannya adalah enggak bau asapnya, ini yang memungkinkan gue pada waktu itu untuk 'make' di tempat umum."
B:"Rokok kan bau, sama cimenk (ganja) juga gampang ketahuan karena baunya itu khas banget. Orang-orang yang enggak ngerokok atau nge-ganja pasti peka sama bau asap bahkan yang enggak terlalu beraroma sekalipun kayak sabu. Tapi pada saat itu gue mikir setidaknya paling minim risiko ketahuannya lewat aroma."
C:"Iya, enggak bau dan cepat hilang di udara jadi enggak mudah terdeteksi kalau dinilai dari baunya. Terus kalau gue personally memang enggak suka bau yang macam-macam, wangi parfum aja kadang nusuk buat gue. Jadi dulu menurut gue saat itu lumayan convenient ya.”
Percaya diri
Ada sejumlah narkoba yang mampu membuat seseorang keluar dari zona nyamannya. Namun sabu dinilai memberikan kadar kepercayaan diri yang pas, tidak berlebihan. Kepercayaan diri yang diberikan kokain cenderung lebih agresif, kerap memotivasi penggunanya untuk melampiaskan amarah atau melibatkan diri dalam suatu perkelahian.
Pengguna sabu-sabu biasanya saat lagi "on" senang bersosialisasi dan ngobrol. Mereka tidak bisa berhenti bicara dan biasanya merasa terlalu positif sehingga memberikan janji-janji pada orang tertentu yang belum tentu bisa ditepati ke depannya.
A: “Kalau gue dulu lagi presentasi atau bicara depan publik, rasanya lancar banget, mungkin sampai enggak ada peluang untuk orang lain ngomong. Gue sebelumnya itu demam panggung dan enggak berani menatap mata orang lain terlalu lama, takut di-judge. Terus sabu memberikan gue dorongan yang belum pernah gue dapatkan. Salah banget sih, harus jadi bergantung sama itu untuk bisa pe-de, jadi kalau dipikir-pikir gue itu belum punya keberanian yang sesungguhnya karena itu bukan datang dari diri gue tapi dari barang. Kesal sih.”
B: “Kalau nyokap gue panggil gue `Kalong`, teman-teman gue punya panggilan beda yaitu `Sevel`. Kenapa? Karena ketika ‘on’, gue doyan banget ngoceh. Saat mengobrol bareng teman-teman, gue jadi paling dominan terus berasa positif banget. Kalau disuruh membangun flyover ayo deh yuk, pasti bisa. Kocak sih jiwa positif gimana gitu, semuanya di-iya-kan, mau susah, 'ribet' atau tidak, gue pada saat itu merasa gue bisa lakukan semua dan enggak ada yang bisa menghentikan gue.”
C: “Tidak bisa dipungkiri memang sabu pernah menjadi motivator gue. Tapi mungkin hanya sehari dua hari. Itu ibaratnya hari ini gue kelewatan senangnya namun ternyata ini gara-gara kebahagiaan esok hari gue pakai hari ini. Nah, besoknya pasti drop atau kalau pun ditambah lagi dosisnya, enggak akan seperti rasa awal. Ya bagaimana bisa, setiap hari kan setiap orang memiliki rasa senang yang takarannya sudah pas. Kalau ditambah jadi berlebihan, dan jadi defisit besoknya. Lebih mending mana? Happy sesuai takaran tiap hari atau happy banget beberapa hari saja dan banyak down-nya di hari-hari yang happiness-deficit?”
Alasan orang Indonesia pilih sabu
Kesanggupan membeli
Banyak orang mengira sabu-sabu harganya mahal lantas hanya orang berkecukupan yang mampu beli. Pemikiran ini salah. Sabu-sabu dijual dalam bentuk paket. Memang untuk 1 gram harga berkisar dari Rp1,6 hingga Rp2 juta. Namun sabu-sabu juga tersedia dalam paket seperempat dengan harga Rp400-450 ribu dan setengah Rp750-800 ribu.
Bahkan beberapa tahun terakhir ini para penjual sudah mulai mempermudah pengguna untuk membelinya dengan menjual paket senilai Rp100-200 ribu. Hal seperti ini justru yang tidak bisa dilakukan dalam proses penjualan narkoba jenis kokain.
A: “Gue sering mendengar kisah orang sampai menjual barang mereka untuk bisa beli sabu. Namun sebetulnya sekarang semakin parah karena dijual menjadi paketan murah yang mana enggak memerlukan penggunanya mengumpulkan uang dalam jumlah banyak. Seramnya ya sekarang anak-anak muda yang belum memiliki pendapatan tetap aja bisa gunakan uang jajan dari orangtua untuk beli sabu dan enggak ketahuan.”
B: “Dulu kan gue doyan pesta sabu dan biasanya patungan sama yang lain supaya bisa dapat 1 gram atau lebih. Biasanya kalau patungan uang terkumpul banyak dan kita bisa dapat diskon. Setiap orang bisa hanya mengeluarkan Rp50 ribu saja tapi bisa ikut menikmati.”
C:”Kalau boleh jujur dulu gue sempat jual barang-barang antik orangtua gue buat beli sabu. Sedih banget sih kalau diingat, mereka sayang banget sama koleksi mereka itu. Terus muncullah paketan kecil yang harganya tergolong murah dan semua lapisan masyarakat sanggup membeli. Ini sempat jadi godaan buat gue karena di saat gue mau insaf, merasa bersalah sama orangtua dan berniat berhenti pertama kali, mengetahui harga juga terlalu mahal, gue jadi lumayan tergoda untuk beli lagi. Gue pada saat itu mikir, ‘Oh bisa nih gue beli tanpa harus jualin (barang) antik bokap-nyokap’. Gila sih, makin ancur sekarang.”
Akses mudah
Memang menemukan bandar sabu tidak semudah mencari penjual rokok yang ada di mana saja. Namun, menurut banyak mantan pengguna, tawaran barang haram itu selalu datang bahkan saat kita tidak membutuhkannya.
A: “Enggak sesulit itu, biasanya pengguna punya lebih dari satu bandar untuk beli barang. Jadi kalau yang satu lagi kosong, gue bisa beralih ke yang satunya lagi.”
B: “Kadang punya gue belum habis saja tiba-tiba dikasih kabar barang baru sudah turun lagi. Ya terlalu mudah.”
C: “Beberapa tahun terakhir ini ada sistem pengantaran, jadi kita harus repot-repot mengambilnya ke lokasi-lokasi rawan polisi."
Advertisement
Alasan sabu masih merajalela
Tetap sadar
Narkoba kerap diasosiasikan dengan kondisi tubuh dan pikiran manusia yang tidak sadar atau menyatu dengan realita. Namun, berbeda dengan ekstasi atau ganja yang penggunanya bisa berhalusinasi dan melakukan sesuatu di luar kesadaran diri, sabu-sabu menurut mantan pengguna justru membuat mereka lebih peka dan menyatu dengan realita.
Hanya saja mereka menjadi lebih aktif dari biasanya.
A: “Gue enggak perlu merasa ‘nyeberang’ atau kayak orang gila yang enggak nyambung dengan orang sekitar. Gue masih diri gue sendiri tapi lebih petakilan aja.”
B:”Gue enggak perlu takut pulang ke rumah ketemu orangtua karena mata gue enggak kayak abis nge-gele atau ngiprit (ekstasi) yang cuman segaris, ‘merem-melek’ dan kadang putih semua seperti Undertaker.”
C:”Sama seperti A, gue akan merasa lebih insecure dengan barang lain karena kelakuannya pasti auto-pilot, enggak dikendalikan sama diri sendiri. Kalau ini gue bisa lebih hati-hati dalam membuat keputusan.”
Efek ‘Nagih’
Sabu-sabu tergolong sebagai narkoba jenis adiktif. Kelasnya pun setara dengan heroin, morfin, dan "putaw". Sabu kerap membuat penggunanya terus-menerus merasa ingin memakainya.
A: “Dibilang nagih ya nagih memang, rasa kepinginnya kadang bisa lebih parah daripada rasa lapar dan haus digabungkan.”
B: “Oh ya pastinya, dan untungnya rasa nagih-nya berbeda dengan rasa pingin heroin yang lebih ke sakaw. Sabu kebetulan enggak didampingi rasa sakit pas lagi nagih.”
C: “Ketika sesuatu membawa kebahagiaan buat lo tentunya lo bakal berusaha pertahanin, meski sesuatu itu negatif. Nah itulah yang gue pikir dulu terhadap sabu.”
Langsing instan
Salah satu efek sabu-sabu adalah turunnya nafsu makan. Ini menjadi alasan mendasar yang membuat jumlah pengguna wanita kian bertambah di Tanah Air.
A: “Ya, ada banget momen di mana gue gunakan barang ini demi kurus cepat. Tapi, kan berbeda ya kurus sehat dan enggak, jadinya enggak oke sama sekali.”
B: “Aduh, ini sih enggak relevan buat gue tapi ya mungkin banget ya para cewek-cewek terlalu desperate sampai malas olahraga. Mereka enggak sadar kayaknya kalau cowok umumnya lebih doyan yang berisi dan 'semok'.”
C:”Ya, mantan pacar gue pernah juga terjerumus ini gara-gara pingin kurus. Aneh sih jadi seperti nenek-nenek, 'peyot' gitu.Tapi enggak bisa dipungkiri barang ini berhasil buat semua orang dengan umur, jenis kelamin, latar belakang berbeda-beda jatuh hati.”