Liputan6.com, Jakarta Masih banyak yang mengira bahwa vaksinasi bisa digantikan dengan cara Arab. Belum ada bukti bahwa pemberian tahmit, madu, kurma, herbal, maupun air susu ibu (ASI) dapat mengobati sejumlah penyakit ganas seperti campak, polio, dan difteri.
"Mereka, kaum anti-vaksin, bicara tanpa ilmu. Sejarah sudah membuktikan bahwa penyakit yang ganas sekali, yang banyak memakan korban manusia, bisa tereliminasi penyakitnya hanya setelah ditemukan vaksinnya," kata dokter spesialis anak konsultan, Piprim Basarah Yanuarso, saat dihubungi Health Liputan6.com pada Rabu (14/6/2017)
Advertisement
Baca Juga
Salah satunya adalah cacar. Cacar variola yang pada zamannya pernah meresahkan masyarakat dunia pada akhirnya bisa dimusnahkan setelah vaksinasi cacar ditemukan. Menurut Piprim yang juga pendiri Rumah Vaksinasi, baru kira-kira 200 tahun kemudian cacar variola ini dimusnahkan dari muka bumi.
"Cacar variola itu tidak bisa diobati pakai apa pun. Penyakit ini bikin si pasiennya bopeng-bopeng, bahkan kematian juga. Baru ketika vaksinasi itu ditemukan, diawali dari kebiasaan masyarakat Turki yang kemudian dikembangkan menjadi vaksinasi cacar oleh ahlinya, barulah cacar itu bisa dimusnahkan," kata dia menambahkan.
Contoh berikutnya adalah polio. Indonesia dinyatakan bebas polio pada 2005. Sedangkan sejumlah negara yang menolak vaksinasi polio, yang lebih memilih menggunakan cara Arab, susah sekali mengeliminasi wabah polio ini.
Lihat saja Afganistan dan Nigeria yang jumlah korban lumpuh akibat polio masih banyak di sana. Menurut Piprim, keprihatinan ini muncul akibat ulah masyarakat di sana yang menolak vaksinasi polio, padahal sudah menggunakan ASI eksklusif, madu, tahmit, kurma. Jangan kaget apabila kejadian polionya tetap saja ada dan sulit dihilangkan.
"Dari sini saja kita baca sejarah mengenai peran vaksinasi yang begitu penting buat manusia. Dan kita bisa membuktikan akhir-akhir ini," kata Piprim.
Piprim kemudian mencontohkan kasus difteri yang menimpa Sumatera Barat pada pertengahan 2014. Menurut Piprim, wabah itu muncul di kala banyak penduduk di sana yang galau akibat "ulah" kelompok antivaksin.
Cakupan imunisasi di Padang sempat menurun drastis pada 2012. Dari 93 persen turun menjadi 35 persen. Setelah berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, cakupan dan kesadaran masyarakat akan imunisasi naik lagi tapi tidak mencapai 80 persen, kata Piprim.
"Sampai pada akhirnya meletuslah wabah difteri di Padang yang menelan banyak korban pada 2014," kata Piprim.
"Perlu diketahui bahwa cakupan vaksinasi ini harus tinggi, harus 80 persen lebih. Kalau cakupannya menurun, jadi 60 persen saja, wabah itu bisa muncul lagi," kata Piprim menekankan.
Â