Liputan6.com, Jakarta Apabila selama ini merasa berat badan sudah tidak ideal, cobalah untuk memperlambat cara makan Anda.
Menurut studi yang dipublikasikan online di BMJ Open, periset dari Jepang meminta lebih dari 59.000 pria dan wanita dengan diabetes tipe 2 untuk menilai kecepatan makan mereka dengan tiga pilihan: cepat, lambat, normal. Hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara kecepatan makan dan berat badan.
Baca Juga
Dalam penelitian tersebut ditemukan, mereka yang kecepatan makannya normal dan lambat cenderung tidak gemuk. Sementara mereka yang makan dengan cepat memiliki indeks massa tubuh lebih banyak.
Advertisement
Dilansir dari Men's Health, Selasa (20/2/2018), peserta juga mendapatkan pemeriksaan kesehatan. Mereka ditanya tentang kebiasaan makan, konsumsi alkohol, tembakau, dan tidur.
Melewatkan sarapan, makan malam dua jam sebelum tidur dan memakan camilan setelah makan, menurut periset dari Kyushu University Graduate School of Medical Sciences, Fukuoka, Jepang, juga dikaitkan dengan berat badan.
Simak juga video menarik berikut ini:
Orang dengan diabetes lebih sulit
Dr. Donald Hensrud, editor dari Mayo Clinic Diet, menyatakan bahwa hal tersebut masuk akal.
"Ini adalah salah satu teknik yang telah digunakan dalam program penurunan berat badan. Mencoba makan lebih lambat," kata direktur medis Mayo Clinic Healthy Living Program tersebut.
Namun, ada kekhawatiran mengenai objektivitas dalam penelitian tersebut.
"Ini tidak sama seperti mengukur sesuatu yang sangat spesifik. Ini mungkin benar, namun data yang dilaporkan perlu dilihat dengan lebih detil," kata Hensrud.
Dia juga mengatakan penelitian tersebut dilakukan pada orang dengan diabetes tipe 2. Hasilnya mungkin seperti itu karena orang dengan diabetes akan lebih sulit untuk menurunkan berat badan.
Advertisement
Aman dan tidak menyakitkan
Dalam penelitian tersebut juga ditulis, dengan mengurangi kecepatan makan, dapat mencegah obesitas dan menurunkan risiko penyakit seperti jantung, diabetes, kolestrol, dan hipertensi.
"Ini rekomendasi yang aman dan tidak menyakitkan," kata Hensrud. Namun, tingkat aktivitas fisik juga mempengaruhi.
"Tidak terbukti dengan meyakinkan seberapa besar hal ini akan berhasil. Namun, ini masuk akal dan mungkin tidak akan sangat menyakitkan serta mungkin bisa membantu," tutupnya.