Liputan6.com, Jakarta Pemberian antibiotik kepada pasien di rumah sakit sudah tidak rasional, demikian ungkap pemerhati kesehatan masyarakat dari International Network for Rational Use of Drugs Indonesia (INRUD Indonesia), DR. dr. Sunartono.
"Penggunaan antibiotik saat ini ada kecenderungan yang tidak rasional, 50 persen berlebihan tidak seperti yang dibutuhkan," kata Sunartono di Sleman, seperti dikutip dari AntaraNews, Senin (2/4/2018).
Baca Juga
Menurut dia, hal tersebut membawa dampak yakni resistensi terhadap antibiotik yang dialami pasien yang kadang tidak disadari dan menimbulkan epidemik yang tersamar di dalam tubuh seseorang.
Advertisement
"Pengentasan masalah ini sedang menjadi program pemerhati kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan aturan untuk penggunaan antibiotik ini," tuturnya.
Ia mengatakan, tidak semua jenis penyakit harus diberi antibiotik. Penggunaan antibiotik harus seefisien mungkin.
"Semua rumah sakit harus menjalankan program ini, antibiotik hanya diberikan untuk pasien dengan kondisi risiko besar terkena infeksi seperti operasi pembedahan dan sejenisnya," ujar Sunartono.
"Sedangkan untuk penyakit-penyakit ringan seperti influenza, batuk maupun pilek, dan penyakit sejenisnya tidak perlu menggunakan antibiotik," sambungnya.
Sunartono mengatakan, jika pasien sudah terkena resistensi antibiotik, pengobatan lebih sulit dan biaya pengobatan juga lebih mahal.
"Setiap rumah sakit harus memiliki program mencegah resistensi antibiotik ini. Ini harus dilakukan dari atas sampai bawah," katanya.
Ia menambahkan, upaya ini seperti usaha untuk menekan angka penggunaan injeksi yang cukup tinggi pada era 1980-an.
"Saat itu ada gerakan untuk menekan angka penggunaan injeksi bagi pasien yang dinilai cukup tinggi. Gerakan yang diawali dari Gunung Kidul tersebut akhirnya menjadi percontohan nasional," ungkapnya.
Â
Simak juga video menarik berikut:
Â
Cegah resistensi antibiotik
Dalam rangka mendorong pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Anti-Mikroba, Keluarga Alumni Gadjah Mada Kedokteran akan menyelenggarakan workshop Meningkatkan Penggunaan Rasional dan Mengurangi Konsumsi Anti-Infeksl untuk Pengendalian Resistensi Anti-Mikroba Pendekatan Partisipatif, lnstitusional dari bawah.
"Kegiatan akan dilaksanakan pada 5 April 2018 di Ruang Teater Gedung Perputakaan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM," kata Ketua Panitia Workshop, dr. Budiono Santosa.
Menurut dia, kegiatan workshop ini bekerja sama dengan organisasi mitra seperti "International Network for Rational Use of Drugs Indonesia" (INRUD Indonesia), Asosiasi Dinas Kesehatan (ADINKES), Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Divisi Farmakologi Klinik.
"Resistensi Antimikroba (RA), merupakan masalah kesehatan yang secara resmi menjadi agenda global `United Nations Sustainable Development Goal` (UN 5065). Indonesia juga menjadi salah satu pendukung inisiatif internasional ini," paparnya.
Ia mengatakan, WHO telah mengembangkan "Global Strategy for the Containment of Antimicrobial Resistance (2001) dan Global Action Plan on Antimicrobial Resistance (2015), yang merupakan rekomendasi untuk negara negara anggota dalam mengendalikan RA.
"Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No 8, 2015, telah mencanangkan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit, dimana setiap rumah sakit harus membentuk Tim Pelaksana (tim PPRA) dan melaksanakan kegiatan PengendaIian Resistensi Antimikroba," katanya.
Budiono mengatakan, peraturan Menteri ini menunjukkan komitmen pemerintah RI untuk mengendalikan berkembangnya Resistensi Antimikroba, dan merupakan landasan hukum bagi pelaksanaannya di rumah sakit.
"Namun demikian masih diperlukan upaya pendampingan dan bantuan teknis bagi institusi rumah sakit dan dinas kesehatan untuk menghindari hambatan pelaksanaan program di lapangan," tutupnya.
(Victorianus Sat Pranyoto/AntaraNews)
Advertisement