Liputan6.com, Jakarta Saya dikenal sebagai anak yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Itulah kenapa saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 4 guru saya Ibu Suginiati S.Pd mendaulat menjadi dokter kecil mewakili sekolah kami, SD 1 Bantul, Yogyakarta.
Saya mulai kompetisi dengan mempelajari modul dokter kecil yang tebal sekali. Ibu guru juga menganjurkan agar saya membaca dan mempelajari beberapa referensi lain. Perasaan sedikit aneh sebenarnya terselip dalam batin tatkala menjalankan tahapan ini. Saya bukanlah anak yang suka membaca dan belajar. Tapi saya tidak merasakan sebuah paksaan. Saya jalani tahapan awal ini justru dengan senang hati.
Selain membaca modul, tentu saja banyak persiapan lain yang dilakukan. Hingga akhirnya tiba saat seleksi di tingkat kecamatan. Tahap demi tahap saya lalui dengan lancar dan pengumuman juara pertama membuat saya sangat beryukur atas jerih payah ini. Namun, rupanya ini belum selesai. Saya masih harus bertempur dan mengikuti seleksi di tingkat kabupaten. Saya harus berjuang lebih keras lagi.
Advertisement
Selang beberapa bulan kemudian, majulah kami mengikuti seleksi tingkat kabupaten yang berupa tes tertulis, penyuluhan dan P3K. Tahap demi tahap terlewati hingga hasilnya saya mendapat juara ketiga dan berhak maju ke tingkat provinsi. Di tingkat provinsi, ujian yang saya jalani masih realtif sama yakni tes tertulis, penyuluhan dan pengetahuan tentang pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K). Yang membedakan, untuk tahap penyuluhan dan P3K dilakukan secara berkelompok. Kebetulan saat itu saya didaulat menjadi juru bicara tim.
Perjuangan tidak sia-sia. Kerja keras akhirnya membuahkan hasil. Kami berhasil mengalahkan kelompok dari 4 kabupaten lain di Bantul dan layak menyandang juara pertama se-Provinsi Yogyakarta. Saya sadar, pengalaman luar biasa ini merupakan sarana penting untuk membangun prestasi selanjutnya.
Maka, saat duduk di kelas 5, dan diberitahu oleh pembina bahwa ada seleksi menuju tingkat nasional saya sangat bersemangat. Mulailah saya mempelajari materi dokter kecil kembali. Tidak ada yang berubah. Dan saya yakin sudah menguasai materi dengan baik. Saat penjurian tibalah. Di awal saya merasa sudah melampaui ujian tertulis dengan baik karena materi yang disampaikan sama persis yang dipelajari. Tahapan penyuluhan akhirnya terlampaui. 10 menit harus tampil dan 10 menit tepat pula saya selesaikan.
Saya yakin bakal menang dalam kompetisi tahun 2014 ini, batin saya. Namun, rupanya Tuhan berkehendak lain. Saat pengumuman tiba, juara pertama tidak berhasil saya raih seperti yang sudah diimpikan sejak lama. Saya tidak bisa maju ke tingkat nasional. Saya sempat kecewa dengan yang saya alami. Namun, dorongan pembina membangkitkan kembali semangat.
Saya bertekad untuk mengikuti seleksi tingkat nasional lagi tahun selanjutnya saat saya sudah duduk di kelas 6. Dan akhirnya, saat pertandingan itu tiba. Meski materi yang diujikan sama rupanya penampilan lawan sempat membuat saya keder. Perasaan khawatir menyeruak hingga muncul rasa pesimistis. Kelihatannya kalah nih! Seru saya dalam hati.Â
Namun, rupanya perasaan itu hanyalah godaan sementara. Saya munculkan semangat dari dalam hati. Tetap semangat bertanding. Buah itu datang juga. Akhirnya, saya berhasil menyandang juara pertama Dokter Kecil Award tahun 2015.
Gairah juang tampaknya tak berhenti di situ. Banyak perlombaan lain saya ikuti mulai dari pidato Bahasa Indonesia, lomba debat Bahasa Indonesia tingkat SMP se-DIY baru-baru ini dan saya berhasil mendapat juara 3. Saya juga aktif terlibat dalam berbagai organisasi mulai dari OSIS, Booklovers hingga Forum Anak di Kabupaten Bantul.
Pesan saya cuma satu untuk teman-teman semua. Teruslah berjuang, jangan menyerah hingga kamu bisa meraih cita-citamu!
Penulis : Naddzwa Septiyanur Azizah, siswa kelas 8 SMP 1 Bantul, Yogyakarta