Liputan6.com, Jakarta Salam sehat anak Indonesia! Menjadi dokter itu cita-cita saya sejak bersekolah di Taman Kanak-Kanak B. Alasannya, jadi dokter itu seru. Bisa menolong orang banyak dan menyehatkan bangsa.
Dari sinilah, kisahku dimulai. Waktu duduk di kelas 4, ada acara jumantik/juru pemantau jentik, saya dipanggil guru UKS (Usaha Kesehatan Sekolah). Dia tanya, "Zaki mau jadi dokter?". Lalu saya bilang, "Iya bu."
Baca Juga
Kata guru, kalau mau jadi dokter harus belajar dari usia sekarang dengan menjadi dokter kecil.
Advertisement
Jadi, tak heran, saat kenaikan kelas 5, saya langsung ditunjuk oleh guru ikut seleksi dokter kecil (dokcil). Saya asal ikut saja. Pertama, saya diajari tentang bagaimana berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pengetahuan tentang NAPZA(Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lain), kantin sehat, jenis dan pengelolaan sampah, dan cara cuci tangan yang benar. Alhamdulillah, akhirnya saya terpilih.
Tak berhenti di situ, proses saya lanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Saya ikut kompetisi tingkat kecamatan. Juara satu saya raih. Lalu tingkat kabupaten, juara satu juga saya raih.
Udah kepalang basah. Sekalian saja saya ikut kompetisi tingkat provinsi. Demi meraih prestasi yang lebih tinggi ini, selama satu bulan, saya belajar betul materi dokcil. Saya rela-relain ketinggalan pelajaran demi belajar materi yang bakal dilombakan.
Dan saatnya tiba. Saya berangkat mengikuti lomba dokcil tingkat provinsi. Di lokasi, saya merasa tes yang saya jalani lebih sulit dibanding tes di tingkat nasional. Ada tes lisan, tertulis, essay kasus, dan yang paling menegangkan tes wawancara.
Oh my God... Di antara semua peserta, aku doang yang dites Ketua IDI Provinsi Sulawesi Selatan. Tapi, puji syukur yang setinggi-tingginya pada Allah SWT. Saya menjadi juara satu lagi. Nah, di situ saya mulai menyadari bahwa saya mendapatkan banyak hal. Saya belajar mandiri, cara bersosialisasi, menjaga sopan santun, table manner, menumbuhkan jiwa kepemimpinan, dan tentu saja menguasai materi dokcil.
Belum puas
Di titik ini, saya masih belum puas. Lalu, berangkatlah saya mengikuti kompetisi Dokter Kecil Award tingkat Nasional. Bulan November 2016, saya berangkat. Perasaan bahagia sekaligus sangat excited menggelora dalam hati.
Banyak teman dari seluruh nusantara yang saya temui. Ada kakak dari PMI Jakarta Selatan yang baik, cantik, dan ganteng. Teman-teman baru peserta kompetisi dokter kecil yang lain. Ada yang kalem, ada juga yang cerewet. Tapi saya have fun sajalah. Kami semua dikumpulkan di Wisma Tani, Jakarta Selatan.
Kompetisi saya lalui dan akhirnya saya mendapatkan nilai tertinggi kedua. Walau bukan yang terbaik, saya tetap bersyukur. Saya tetap mendapat nilai memuaskan. Saya tetap bangga dengan hasil yang saya capai. Akhirnya kami diwisuda di Menara 165, Simatupang, Jakarta Selatan.
Pulang ke daerah masing-masing dengan perasaan bangga dan bahagia, kami mengemban tugas menjadi "health ranger" di tempat masing-masing. Di lingkungan rumah, sekolah, tetangga, keluarga, dan tempat bergaul.
Saat yang saya tunggu-tunggu itu datanglah. Saya sudah sejak lama mengharapkan reuni para dokter kecil. Akhirnya pada 17-20 April, momen itu kami jalani bersama di Camp Hulu Cai, Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Bersama dengan teman-teman pemenang Dokter Kecil Award dari berbagai generasi saya mengikuti berbagai macam kegiatan pendalaman. Belajar tentang menulis, mengelola media sosial, berkomunikasi, memberi penyuluhan, bakti sosial, dan banyak hal lain yang luar biasa.
Kali ini, pengalaman menggembirakan itu saya rasakan kembali. Semoga kegembiraan dan ilmu-ilmu ini memberi saya semangat untuk belajar dan meraih cita-cita saya. Amin. Terima kasih kakak-kakak alumni dokter kecil dan para dokter Ikatan Dokter Indonesia.Â
Â
Penulis :Â Muhammad Zaki Fauzan Zahir, Kelas 6 SDN 03 Balangnipa, Sulawesi Selatan.
Advertisement