Liputan6.com, Jakarta "Kalau ditanya dokter bilang apa soal anak saya (yang derita rubella)? Harapannya tidak ada. Operasi jantung sudah, mata sudah. Sekarang lagi terapi. Kemungkinan untuk sembuh kecil."
Ungkapan pilu itu disampaikan Nursiah (47), ibu dari dua anak yang tinggal di Lhokseumawe, Aceh. Raut wajah seketika menunjukkan kesedihan. Tatapan nanar dan airmata nyaris membanjiri wajahnya.
Advertisement
Baca Juga
Kehidupan anak kedua Nursiah, Syakilla (8) harus terenggut oleh rubella. Kondisi Syakilla cacat dengan berbagai gangguan pada sarafnya. Ia sekarang tuli dan tidak bisa menelan. Untuk makan sehari-hari dengan bubur layaknya bayi. Ia baru bisa berjalan pada usia 4 tahun.
"Bukan belum bisa makan sendiri, tapi memang tidak bisa menelan. Ada gangguan saraf sehingga membuatnya kesulitan makan nasi. Syakilla juga rutin terapi macam-macam, ada terapi sensori integrasi (latih gerak sensorik) juga terapi kognitif (latih perkembangan otak dan perilaku)," ucap Nursiah saat diwawancarai awak media di Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Jakarta, ditulis Rabu (19/9/2018).
Akibat tidak bisa mendengar, Nursiah sempat ingin memberikan implan koklea (alat bantu dengar). Namun, implan koklea urung diberikan. Implan koklea tidak akan bekerja efektif karena saraf pendengaran sudah rusak.
"Implan yang harganya ratusan juta itu tidak membantu. Anak rubella sudah terkena sarafnya. Jadi, sinyal pendengaran yang masuk (lewat implan koklea) tidak mampu terkirim ke otak," Nursiah melanjutkan.
Simak video menarik berikut ini:
Tidak menangis saat lahir
Syakilla terkena rubella rupanya sejak masih di dalam rahim. Saat hamil, Nursiah terpapar virus rubella. Padahal, ia mengaku, sebelum hamil sudah disuntik vaksin MR. Gejala rubella yang dialami Nursiah saat hamil tidak terdeteksi.
Nursiah menceritakan, saat dirinya hamil Syafilla pada usia 38 tahun, dokter kandungan tidak mengatakan ada sesuatu yang aneh pada bayi. Dokter tetap berkata, "Kandungannya sehat dan baik-baik saja." Ia pun rutin memeriksakan kehamilan.
Syafilla lahir secara caesar. Namun, ada yang aneh. Saat lahir, bayi Syafilla tidak menangis. Bahkan sudah ditunggu sampai 10 menit, Syafilla tidak menangis. Bayi baru lahir itu akhirnya dibawa ke ruang perawatan. Ia harus menjalani perawatan selama 10 hari. Bahkan saat Nursiah sudah boleh keluar dari rumah sakit, Syafilla masih harus dirawat di perawatan Intensive Care Unit (ICU).
Ada gangguan saraf yang dialami Syakilla. Setelah diperiksa lebih lanjut, Syafilla rupanya punya masalah jantung. Ia harus operasi jantung. Pada Syakilla berusia 2 tahun, didiagnosis kena rubella.
"Hasil diagnosis itu juga dari perawatan rumah sakit swasta di Banda Aceh. Ini karena di rumah sakit daerah, dokter spesialis jantung hanya 1 orang. Beliau melanjutkan studi ke luar negeri, lalu anak saya tidak tercover (tertangani)," lanjut Nursiah.
Akhirnya, Syakilla harus dibawa ke rumah sakit yang lengkap fasilitas di Banda Aceh. Untuk sampai ke Banda Aceh penuh perjuangan. Jarak dari rumah di Lhokseumawe ke Banda Aceh harus ditempuh enam jam.
Tak hanya soal jarak tempuh, Nursiah terpaksa beli tabung oksigen untuk Syakilla di jalan. Tabung oksigen yang ada di rumah sakit dan puskesmas hanya ada untuk orang dewasa.
Advertisement
Operasi jantung dan katarak
Syakilla pernah kena demam saat berusia dua bulan. Deman tinggi disertai timbulnya bercak-bercak kemerahan. Nursiah mengira kondisi itu campak, bukan rubella.
"Saya enggak tahu itu rubella, tahunya ya campak. Sadarnya itu pas diagnosis campak dari dokter anak. Dia juga harus dites rubella. Untuk tes rubella, kami bayar sendiri Rp 2,5 juta," Nursiah menambahkan.
Selama pengobatan rubella, Nursiah sampai menemani Syakilla pergi ke beberapa rumah sakit di Medan dan Bandung, Jawa Barat. Pada tahun 2016, Syakilla menjalani operasi jantung. Ia dirujuk ke RS Harapan Kita, Jakarta. Seluruh pembiayaan operasis menggunakan fasilitas JKN-KIS.
"Alhamdulilah, gratis pakai JKN-KIS. Untuk berangkat ke Jakarta, tiketnya dibantu sama pemerintah daerah untuk Syakilla operasi jantung. Pas ke Bandung juga gitu. Pemda kami sangat care (perhatian)," lanjut Nursiah.
Setelah operasi jantung, Syakilla juga harus operasi katarak. Rubella sudah menyerang matanya dalam bentuk katarak sehingga penglihatan terganggu. Penglihatan perlahan-lahan pulih.
Selama 8 tahun inilah Syakilla terus menjalani pengobatan. Ia sekarang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ada kendala di SLB. SLB di daerah tidak punya guru khusus untuk siswa yang punya penyakit penyerta, seperti yang dialami Syakilla.
"Guru tunarungu ada, tapi buat siswa yang memang tunarungu. Kewalahan juga guru tunarungu (bila menangani siswa yang punya penyakit penyerta)," tutup Nursiah.