Ini Alasan Harga Cokelat Premium Indonesia Mahal

Cokelat Indonesia mahal karena petani melakukan kerja ekstra demi menghasilkan biji-biji kokoa berkualitas

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 25 Sep 2018, 20:00 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2018, 20:00 WIB
Pipiltin Cocoa atau Ilustrasi Cokelat
Tissa Aunilla, pemilik Pipiltin Cocoa Indonesia, Membocorkan Mengapa Harga Cokelat Premium seperti Barang Dagangannya Dibandrol dengan Harga yang Agak Mahal (Liputan6.com/Hermann Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Pipiltin Cocoa, salah satu produsen couvertour cokelat Indonesia, tidak sembarangan mencantumkan harga di setiap hasil produksinya. Bukan mau sok-sok premium, tapi Tissa Aunilla meyakini bahwa ada perhitungan yang matang agar kualitas barang dagangan tetap terjaga,Ā sertaĀ para petani kokoa yang menjadi rekan Pipiltin Cocoa selama ini meraihĀ untung yang sepadan.

Saat mulai merintis usaha khusus produksi cokelat asli Indonesia beberapa tahun silam,Ā Tissa tidak menutup kupingĀ dari omongan orang-orang yang kerap mempertanyakan mengapa harga untuk sebungkus atau seporsi cokelat begitu mahal. Tidak mungkin dia harus menjelaskan perihalĀ cost of productionĀ yang memang cukup tinggi ke orang-orang tersebut.

Baca juga:Ā Jungkir Balik Tissa Aunilla Bangun Pabrik Cokelat Premium Asli Indonesia

"Mahal itu relatif," kata Tissa. "Kenapa di harga pasar Indonesia begitu mahal, karena (Pipiltin Cocoa) harus mengambil biji yang difermentasi selama lima hari," kata Tissa menambahkan.Ā Karena itu dia harus membayar sebesar 40 sampai 50 persen di atas harga pasar ke petani.

Pipiltin Cocoa atau Ilustrasi Cokelat
Pipiltin Cocoa Tidak Sembarangan Membeli Biji Kokoa dari Masing-masing Petani di Setiap Daerahnya. Tissa Harus Memastikan Biji Tersebut Matang Pohon. (Liputa6.com/Hermann Zakharia)

Pipiltin Cocoa menjalin kerja sama dengan petani kokoa yang menerapkan pertanian organik daeri empat daerah di Indonesia, yaitu Pidie Jaya (Aceh), Tabanan (Bali), Jawa Timur, dan Flores.Ā Ā Ā 

Dan,Ā alasanĀ  memilih biji cokelat yang harus melewati proses fermentasi, agar rasa yang berbeda-beda dari setiap jenis biji kokoa tersebut bisa keluar. "Jadi, difermentasi itu didiamkan di dalamĀ boxĀ selama lima hari. Memang adaĀ effortĀ lebih yang harus dilakukan sama petani dari masing-masing daerah ini," kata Tissa.

Tissa dan tim pun harus memastikan bahwa biji yang mereka dapat bukan biji yang sehabis dipetik langsung dikirim ke mereka. Pipiltin Cocoa punya kualifikasi sendiri. Selain harus melewati proses fermentasi, proses lain yang harus dilalui adalahĀ beans count.Ā 

"Jadi, dalam 100 gram cokelat, kalau ditimbang harus ada 95 biji paling banyak, tidak boleh lebih," ujar wanita yang melepas status sebagai corporate lawyer demi usaha ini.Ā 

Berat itu penting, kata Tissa. Itu berarti biji-biji yang akan diproduksi oleh Pipiltin CocoaĀ mengandung gula (fructose). "Kenapa sih itu penting? Karena berarti lagi matang pohon. Kalau matang pohon pasti enak," kata Tissa.

Menurut Tissa, kalau hal itu tidak dilakukan, orang-orang jadi sulit membedakan rasa dari cokelat Bali, Aceh, atau Flores,"Enggak ada bedanya kalau enggak fully fermentedĀ danĀ biji count-nya enggak bagus."

Tantangan Saat Membangun Pipiltin Cocoa

Pipiltin Cocoa atau Ilustrasi Cokelat
Perhitungan yang Matang Dilakukan Tissa Aunilla Agar Pipiltin Cocoa dan Petani Kokoa yang Menjadi Partner Selama Ini Sama-sama Untung (Liputan6.com/Hermann Zakharia)

Itu segelintir tantangan yang Tissa dan rekan bisnisnya hadapi dalam membangun usaha Pipiltin Cocoa, sampai bisa seterkenal sekarang. Kualitas yang terjaga baik, tidak heran jika para atlet Asian Games 2018 menjadikan cokelat hitamĀ (dark chocolate)Ā dari pabrik Pipiltin Cocoa sebagai buah tangan.Ā 

"Tantangannya di situ.Ā Kita harus make sure bijinya bagus, tapi harganya juga harus masuk," kata Tissa.

Tissa berani menjamin bahwa seluruh produknya adalah 'cokelat beneran', tidak sekadar 'label'. Sayangnya, di Indonesia belum adaĀ  Food and Drug Administration (FDA)Ā seperti di Amerika, yang akan memberi label cokelat jika terdapatĀ cocoa butterĀ sebesar 20 persen.

"Jadi, enggak akan ada yang sekonyong-konyongnya menulis cokelat di bungkusnya, tapi sebenarnyaĀ candy,"Ā ujarnya.

Ā 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya