Sistem Peringatan Dini Tsunami Palu Semestinya Mampu Selamatkan Ratusan Nyawa, tapi...

Sistem peringatan dini tsunami Palu semestinya mampu selamatkan ratusan nyawa, tapi sistem alat deteksi tsunami tidak berfungsi.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 01 Okt 2018, 18:00 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2018, 18:00 WIB
Pandangan Udara Kota Palu Usai Dilanda Gempa dan Tsunami
Pandangan udara memperlihatkan sejumlah bangunan rusak usai dilanda gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). Gempa berkekuatan 7,4 Magnitudo disusul tsunami melanda Palu dan Donggala pada 28 September 2018. (JEWEL SAMAD/AFP)

Liputan6.com, Palu, Sulawesi Tengah Sistem peringatan dini tsunami Palu semestinya mampu menyelamatkan ratusan nyawa. Sayang, menurut keterangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) alat deteksi itu sudah tidak berfungsi selama bertahun-tahun. 

(Baca: BNPB: Alat Deteksi Tsunami Tak Beroperasi Sejak 2012)

Louise Comfort, ahli manajemen bencana dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat menjelaskan, Indonesia saat ini hanya menggunakan seismograf, perangkat sistem penentuan posisi dan alat pengukur pasang surut untuk mendeteksi tsunami. Kinerja seismograf punya efektivitas terbatas.

Di Amerika Serikat, National Oceanic and Atmospheric Administration memiliki jaringan 39 sensor bawah laut yang dapat mendeteksi perubahan tekanan yang sangat kecil, dilansir dari The New York Times, Senin (1/10/2018). Deteksi perubahan tekanan ini dapat menunjukkan, apakah tsunami akan terjadi atau tidak. 

Data dari sensor kemudian diteruskan melalui satelit dan dianalisis. Peringatan tsunami atau tidak pun dapat diumumkan segera. Menurut Comfort, Indonesia juga punya jaringan serupa dengan 22 sensor bawah laut, tetapi tidak lagi digunakan karena tidak dipelihara atau rusak.

 

Simak video menarik berikut ini:

Lemahnya sistem peringatan tsunami yang ada

Pandangan Udara Kota Palu Usai Dilanda Gempa dan Tsunami
Pandangan udara memperlihatkan sebuah jembatan runtuh usai dilanda gempa dan tsunami Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). Jumlah korban tewas akibat gempa dan tsunami Palu dan Donggala menjadi 832. (JEWEL SAMAD/AFP)

Demi meningkatkan sistem deteksi dini peringatan tsunami, Comfort terlibat dalam proyek membawa sensor tsunami canggih baru ke Indonesia. Proyek sensor canggih ini diharapkan menggantikan sistem deteksi dini peringatan tsunami dengan menggunakan sensor bawah laut. 

Penggunaan sensor bawah laut ini untuk menghindari penggunaan sensor pelampung permukaan (pendeteksi tsunami), yang dapat rusak atau ditabrak kapal. Namun, proyek itu tertunda dikarenakan masalah pendanaan.

Tatkala tsunami Palu setinggi 3 meter terjadi, kondisi tersebut dinilai tragis karena menyoroti betapa lemah sistem peringatan tsunami yang ada.

"Bagi saya, ini (tsunami Palu) adalah tragedi bidang sains, terlebih lagi tragedi bagi masyarakat Indonesia yang jadi korban tsunami," jelas Comfort, dikutip dari The Telegraph. 

"Ini adalah kesedihan mendalam saat mengingat ada jaringan sensor yang dirancang canggih untuk memberikan informasi peringatan tsunami secara tepat."

Peringatan tsunami tidak terdeteksi

Pandangan Udara Kota Palu Usai Dilanda Gempa dan Tsunami
Pengendara sepeda motor melewati perahu dan rerntuhan bangunan usai gempa dan tsunami melanda Palu, Sulawesi Tengah, Senin (1/10). Pihak berwenang tengah menyiapkan kuburan massal untuk memakamkan ratusan korban tewas. (JEWEL SAMAD/AFP)

Sistem peringatan tsunami Indonesia saat ini menggunakan jaringan 134 stasiun pengukur pasang surut air laut ditambah seismograf yang berbasis daratan. Kemudian sirene di yang ditempatkan di sekitar 55 lokasi dan sistem untuk menyebarkan peringatan melalui pesan teks.

Comfort juga menanggapi sistem peringatan tsunami yang digunakan Indonesia dan peringatan tsunami yang dicabut oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG). Adanya pencabutan peringatan tsunami tersebut memang ramai mengundang kecaman dan polemik di masyarakat.

"Alat pengukur pasang surut itu beroperasi, tetapi alat itu terbatas untuk memberikan peringatan tsunami lebih dini. Tidak satupun dari 22 buoy (sebutan sensor bawah laut) yang berfungsi," papar Comfort. 

"Dalam kasus tsunami Palu, BMKG mencabut peringatan tsunami karena tidak ada data peringatan tsunami."

Adam Switzer, ahli tsunami dari Earth Observatory of Singapore mengatakan, ada sedikit rasa tidak adil menyalahkan BMKG yang mencabut peringatan dini tsunami.

"Apa yang ditunjukkannya itu data dari alat deteksi tsunami yang dimiliki sekarang terlalu sederhana," tambah Switzer.

"Mereka (BMKG) tidak memperhitungkan beberapa insiden, seperti potensi tsunami dalam waktu singkat. Mereka juga tidak memperhitungkan adanya longsor bawah laut (yang bisa menimbulkan tsunami)."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya