Harry Surjadi, Jadi Semi-Vegetarian demi Selamatkan Bumi

Gaya hidup semi-vegetarian atau yang dikenal dengan flexitarian sudah dijalani Harry Surjadi lebih dari 20 tahun, yang mana alasan utama demi menyelamatkan Bumi.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 13 Okt 2018, 11:00 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2018, 11:00 WIB
Vegetarian
Harry Surjadi menjadi semi-vegetarian lebih dari 20 tahun. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Lebih dari dua puluh tahun, Harry Surjadi menerapkan gaya hidup semi-vegetarian demi menyelamatkan Bumi dari pemanasan global. Adanya pemanasan global akibat efek rumah kaca berujung pada perubahan iklim. Tujuan inspiratif ini muncul saat Harry memahami isu lingkungan dan perubahan iklim sejak ia berkiprah sebagai jurnalis lingkungan.

Semi-vegetarian atau yang dikenal dengan flexitarian adalah jenis vegetarian yang tidak mengonsumsi daging merah hewan berkaki empat, seperti sapi dan kambing. Untuk ketercukupan protein hewani, pelaku semi-vegetarian tetap mengonsumsi daging unggas (ayam) dan makanan laut (seafood). Kira-kira tahun 1997, Harry mulai menjadi semi-vegetarian. Ia sudah tidak makan hewan berkaki empat. Sebaliknya, ia masih makan daging ayam dan seafood.

Keputusan menjalani gaya hiduup semi-vegetarian melalui pertimbangan yang matang. Pada awalnya, Harry merasa sulit untuk menerapkan gaya hidup semi-vegetarian.

 “Aku mau jadi vegetarian itu (awalnya) susah di sini (Jakarta). Masa makannya gado-gado atau tahu terus? Jadi, aku berpikir, aku ini mau jadi vegetarian itu (tujuannya) untuk apa? Untuk kesehatan atau hal lainnya? Lalu aku memutuskan jadi vegetarian demi linkungan. Ini untuk mengurangi carbon footprint (jejak karbon),” tutur Harry saat membuka perbincangan dengan Health Liputan6.com di bilangan Palmerah, Jakarta pada 2 Oktober 2018.

Carbon footprint adalah jumlah emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh suatu organisasi, peristiwa (event), produk atau individu. Ini adalah emisi karbon (CO2) yang dihasilkan berasal dari berbagai aktivitas sehari-hari seperti penggunaan listrik, gaya hidup, dan cara bepergian (menggunakan transportasi umum atau kendaraan pribadi). Harry menjelaskan, gambaran carbon footprint dari energi yang dikeluarkan hewan berkaki empat dan unggas.

Artikel terkait: Konsumsi Daging Sapi Gencar Dipenuhi, Pemanasan Global pun Tertangani

“Perbandingannya, berapa banyak energi dan sumber daya yang dibutuhkan untuk membesarkan seekor sapi sehingga sapi siap untuk dikonsumsi dibandingkan ayam. Sapi yang diternakkan kan jarang yang ada di sekitar Jakarta, paling dekat Bogor. Lebih banyak lagi sapi didatangkan dari Bali dan Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Berapa banyak karbon yang dibakar. Apalagi sapi diangkut dan dibawa ke Jakarta, lalu dipotong dan diihidangkan,” jelas Harry.

Adanya carbon footprint juga menjadi pemikiran Harry, seberapa banyak karbon untuk membesarkan sapi per tahun yang butuh energi banyak. Atas dasar pemikiran itu Harry memutuskan tidak mengonsumsi hewan yang kelasnya lebih tinggi seperti mamalia, khususnya hewan berkaki empat --mamalia. Dari data Food’s Carbon Footprint, jejak karbon tertinggi diperoleh dari daging merah, keju, dan telur, yang dihasilkan dari satu kilogram makanan. Daging domba 39,2 kgCO2e (CO2 kilos equivalent) daging sapi 27,0 kgCO2e, dan keju 13,5 kgCO2e.

“Jejak karbon pada mamalia berkaki empat kelasnya lebih tinggi dibandingkan ayam (6,9 kgCO2e). Mamalia yang menyusui punya energi yang tinggi sekali. Kalau ayam kan unggas. Yang tingkatnya (jejak karbon) rendah. Jadi, aku pilih semi-vegetarian, yang makan ayam,” ujar Harry sambil menyeruput kopi.

 

 

 

Terkait isu dunia "Konsumsi Daging dan Perubahan Iklim" Jurnalis Liputan6.com menayangkan liputan khusus yang terdiri atas tiga tulisan. Artikel ini merupakan tulisan KEDUA, yang berisi pengalaman jurnalis lingkungan Harry Surjadi yang sudah lebih dari dua puluh tahun menjalani gaya hidup semi-vegetarian.

 

 

* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.

 

 

Simak video menarik berikut ini:

Makan tahu jadi luar biasa lezat

Pelemahan rupiah membuat harga kacang kedelai yang terus melejit. Akibatnya, ukuran tahu dan tempe kian mengecil. (Maulandy Rizki Bayu Kencana/Liputan6.com)
Makan tahu jadi terasa nikmat. (Maulandy Rizki Bayu Kencana/Liputan6.com)

Meski sudah berhenti makan daging hewan berkaki empat, Harry mengakui, tak kesulitan menjalani gaya hidup semi-vegetarian. Ini karena ia masih mengonsumsi daging ayam. Pelengkap protein nabati, seperti tahu dan tempe pun tercukupi. Bahkan ia merasa makan tahu jadi terasa luar biasa lezat.

“Tahu itu rasanya jadi makanan paling enak. Karena protein yang paling bagus itu kan protein nabati. Tahu itu berasal dari kedelai. Kalau hanya ada tahu pun, aku makan dengan nikmat. Apalagi tahunya lagi hangat-hangat dikasih kecap dan nasinya hangat. Wah, itu nikmat sekali. Lalu dikasih irisan cabai di campuran kecapnya. Enak sekali,” ucap Harry sambil tertawa.

Hingga kini Harry tidak pernah lagi mengonsumsi hewan berkaki empat. Harry mengaku, setiap kali melihat hidangan daging sapi atau kambing, tak pernah tebersit untuk memakannya sedikit pun. Keteguhan hati Harry untuk semi-vegetarian dibangun dari niat kuat karena alasan lingkungan. Sebuah penelitian mengungkap, beralih menjadi vegetarian karena alasan lingkungan lebih tahan lama (bertahan vegetarian) dibandingkan seseorang yang beralasan kesehatan.

“Itu ada penelitiannya, katanya vegetarian karena alasan lingkungan lebih langgeng. Kan ada juga orang jadi vegetarian itu karena alasan kesehatan,” tambah Harry.

Walaupun Harry menjadi semi-vegetarian, ia tidak berupaya mengajak atau mengkampanyekan gaya hidup tersebut kepada orang lain. Ia menilai untuk jadi semi-vegetarian atau vegan merupakan keputusan masing-masing individu. Ajakan untuk menjadi semi-vegetarian adalah keliru. Bahkan di rumah sekalipun, ia tidak mengajak istri dan anaknya jadi semi-vegetarian.

Pilihan menjadi semi-vegetarian yang sesuai komitmen tiap individu juga terkuak dalam laporan studi berjudul Health, ethics, and envitonment: A qualitative study of Vegetarian Motivations pada tahun 2007. Peneliti mengidentifikasi hubungan antara pilihan vegetarian dan alasan individu memutuskan jalani gaya hidup tersebut. Temuan menunjukkan alasan dan motivasi untuk jadi vegetarian berkaitan dengan lingkungan. Alasan kuat karena lingkungan, yang mana dapat menyelamatkan Bumi dari pemanasan global.

“Yang pasti, aku enggak pernah mengkampanyekan untuk jadi semi-vegetarian atau vegan. Itu pertimbangan masing-masing individu,” ungkap mantan jurnalis Kompas.

Tidak mudah emosional

Harry Surjadi
Harry Surjadi merasa setelah berhenti makan daging dari hewan berkaki empat mamalia dirasakan Harry tidak mudah emosional. (Facebook Harry Surjadi)

Efek berhenti makan daging dari hewan berkaki empat dinilai sulit dirasakan oleh Harry. Sulit membandingkan saat masih daging dan sekarang yang terapkan gaya hidup semi-vegetarian.

“Badan aku dulu enggak berubah, ya segini-gini aja. Enggak jauh berubah. Kalau ditanya, apakah jadi lebih sehat? Sehat itu hanya bonus saja. Tujuan aku (semi-vegetarian) untuk lingkungan, mengurangi carbon footprint. Intinya, footprint aku lebih sedikti dibandingkan dengan carbon footprint orang yang makan daging tiap hari,” jelas Harry, yang pernah dua kali menerima beasiswa "Knight International Journalism Fellow of International Center for Journalist."

Yang paling dirasakan Harry saat berhenti mengonsumsi daging hewan berkaki empat yakni berkaitan dengan perasaan (mood). Ia tidak mudah emosional.

“Meski soal emosional mungkin ada pengaruh dari faktor lain, paling tidak, itu yang aku rasakan,” Harry menambahkan.

Studi berjudul Restriction of meat, fish, and poultry in omnivores improves mood: A pilot randomize controlled trial, yang ditulis Bonnie L Beezhold dan Carol S Johnson menemukan, partisipan yang vegetarian punya suasana hati yang lebih baik. Suasana hati terkontrol. Pengaruh dipengaruhi  adanya perbedaan rasio asam lemak rantai panjang. Laporan yang dipublikasikan di Nutrition Journal pada 2012 menyebut, seseorang yang punya gaya hidup vegetarian, tubuhnya dipenuhi antioksidan.

Antioksidan ini merupakan senyawa yang ditemukan pada makanan, terutama sayuran yang dapat membantu menghentikan atau memperlambat kerusakan yang terjadi pada sel. Senyawa ini juga berpotensi sebagai perlindungan suasana hati.

Tidak sulit cari makanan vegetarian di luar negeri

Vegetarian
Di luar negeri, tidak sulit makanan vegetarian. (iStockphoto)

Sebagai jurnalis lingkungan yang kerap diundang menjadi pembicara, trainer, peserta seminar/diskusi maupun penerima beasiswa, Harry tidak kesulitan mencari makanan vegetarian di luar negeri. Setiap kali ke luar negeri, ia selalu ikut dengan rekan-rekan  yang berasal dari India.

“Banyak teman-teman aku yang vegetarian dari India, tinggal ikut aja sama mereka. Kalau liputan isu lingkungan dan makan bersama-sama di manapun negaranya, selalu ada menu ada vegetarian. Ada  menu vegetarian. Pasti disediakan menu vegetarian,” jelas Founder Society of Indonesian Science Jornalist.

Sebelum makan, kita juga ditanya menu makanan dari panitia acara, ‘Siapa yang vegetarian?' Ada catatan mengenai menu makanan, apakah Anda vegetarian, no red meat (tidak makan daging merah) atau no seafood (tidak konsumsi makanan laut). Bahkan pilihan menu makanan sekarang ada low carbon (rendah karbohidrat).

“Di pesawat penerbangan internasional bisa pilih menu low carbon. Ketika kita booking tiket, lalu check in, ada pilihan menu low carbon. Kalau orang yang diet ya pilihnya low carbon. Kalau aku paling aman seafood aja. Supaya enggak disediakan makanan lain,” tambah Harry sambil tersenyum.

Naik transportasi umum

KRL Commuter Line
Harry naik transportasi umum ke mana-mana. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Selain jadi semi-vegetarian, Harry juga berupaya menerapkan kebiasaan hidup untuk mengurangi pemanasan global. Ia menggunakan transportasi umum ke manapun pergi. Ketika berjumpa dengan Health Liputan6.com, Harry naik kereta dari tempat tinggalnya di Depok, Jawa Barat. Penggunaan transportasi umum juga berpengaruh pada footprint yang dikeluarkan individu masing-masing.

“Aku carbon footprintnya rendah karena naik kereta. Kemudian dari stasiun, aku jalan kaki. Kan rendah sekali carbon footprint. Kalau satu kereta ada sekian ratus orang, semakin kecil juga carbon footprintku. Karena perhitungan carbon footprint dibagi bersama-sama. Tadi di kereta enggak terlalu penuh penumpang. Jadi agak tinggi carbon footprintnya,” Harry menjelaskan.

Gaya hidup sangat memengaruhi pemanasan global. Seseorang boleh memilih, gaya hidup seperti apa yang diinginkan, mau tetap makan daging merah, semi-vegetarian atau 100 persen vegan. Hal ini berhubungan dengan jumlah carbon footprint tiap individu. Semakin minim carbon footprint yang dihasilkan, maka itu akan mengurangi emisi karbon.

“Pilih naik transportasi umum atau pribadi. Kalau naik mobil hanya dinaikin dua orang. Carbon footprintnya tinggi. Jauh sekali dibandingkan bus yang dinaiki 100 orang (carbon footprintnya rendah),” tutup Harry.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya