Liputan6.com, Jakarta Tes keperawanan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan sebuah pengujian yang tidak ilmiah. Hal itu ditegaskan dalam World Congress of Gynecology and Obstetrics (FIGO) di Rio de Janeiro, Brasil.
Seruan ini dinyatakan oleh UN Human Rights Office (OHCHR), UN Women, dan World Health Organization (WHO) dalam kesempatan tersebut. Mengutip UN News pada Jumat (19/10/2018), praktik yang secara medis tidak perlu, sering kali menyakitkan, memalukan, dan traumatis tersebut haruslah diakhiri.
Baca Juga
Tes keperawanan merupakan cara pemeriksaan ginekologis pada alat kelamin perempuan. Hal itu dipercaya menentukan apakah seorang wanita atau anak perempuan sudah melakukan hubungan seks atau belum
Advertisement
Praktik ini masih ditemukan paling tidak di 20 negara dunia. Perempuan, terutama anak-anak, sering dipaksa untuk menjalani tes keperawanan karena berbagai alasan. Termasuk permintaan orangtua atau pasangan, untuk menentukan layak atau tidaknya sebuah pernikahan ataupun majikan.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Tidak Ilmiah dan Tingkatkan Ketidaksetaraan Gender
Organisasi-organisasi dunia tersebut menjelaskan bahwa tes keperawanan tidak memiliki dasar ilmiah atau klinis.
"Tidak ada pemeriksaan yang dapat membuktikan seorang gadis atau wanita telah berhubungan seks karena penampilan selaput dara perempuan tidak dapat membuktikan apakah mereka telah berhubungan seksual atau aktif secara seksual atau tidak," jelas pemaparan mereka.
Hal itu juga dikecam PBB karena menjadi bagian dari pelanggaran hak-hak perempuan yang dapat merugikan kesejahteraan fisik, psikologis, dan sosial. Selain itu, hal tersebut juga meningkatkan ketidaksetaraan gender dalam sebuah kasus seperti pelecehan.
"Hasil tes tidak ilmiah ini berdampak pada proses peradilan, seringkali merugikan korban dan mendukung pelaku, terkadang mengakibatkan para pelaku dibebaskan," papar mereka.
Sehingga, peran pelaku kesehatan profesional menjadi sangat penting karena bisa menjadi agen perubahan yang hebat.
"Dengan dukungan dari sistem kesehatan dan pemerintah, mereka dapat mengenali bahwa tes keperawanan tidak memiliki dasar medis atau klinis, menolak melakukan praktik berbahaya dan mendidik masyarakat tentang hal ini," ujar Asisten Direktur Jenderal WHO untuk Kesehatan Keluarga, Wanita, Anak-anak, dan Remaja, Dr. Princess Nothema Simelela.
Advertisement