Liputan6.com, Jakarta Selama enam tahun terakhir, Pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya pengendalian tembakau secara konsisten dengan cara menaikkan cukai rokok. Kenaikan cukai rokok ini yang mendorong harga rokok untuk terus naik sehingga muncul tren harga rata-rata rokok semakin tidak terjangkau di Indonesia. Selain dengan menaikkan tarif cukai, upaya pengendalian tembakau juga bisa dilakukan dengan penyederhanaan golongan cukai rokok. Melalui kebijakan-kebijakan ini, pemerintah dan para pembuat kebijakan telah menunjukkan keinginan untuk melindungi masyarakat dari dampak bahaya rokok.
Namun, apa yang sudah dibangun pemerintah melalui kebijakan tentang cukai hingga saat ini terancam hilang karena keputusan untuk tidak menaikkan tarif cukai tembakau dan menunda penyederhanaan kelompok cukai tembakau di tahun 2019. Keputusan tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menggelar rapat terbatas terkait cukai di Istana Bogor, Jumat (2/11) lalu.
Keputusan ini menimbulkan rasa kecewa beberapa kelompok terhadap pemerintah. Inkonsistensi pemerintah menunjukkan rasa abai pemerintah terhadap keterjangkauan rokok di Indonesia yang masih tinggi dan prevalensi merokok Indonesia yang terus meningkat, khususnya perokok anak dan remaja. Seolah menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap masyarakat, keputusan ini menimbulkan pertanyaan: untuk siapa kebijakan ini dibuat?
Advertisement
“Dengan menunda kenaikan cukai rokok, pemerintah kehilangan potensi untuk mengurangi prevalensi perokok anak dan penurunan keterjangkauan harga rokok,” ujar Anindita Sitepu, Direktur Program Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam konferensi pers yang diadakan oleh Komnas Pengendalian Tembakau (KOMNAS PT) pada hari Selasa, 6 November 2018 di Restoran Bebek Bengil, Menteng, Jakarta Pusat. Selain CISDI, beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya turut menyuarakan pernyataan mereka atas penundaan kenaikan cukai ini, diantaranya Lentera Anak Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T).
Selain itu, keputusan ini juga menghilangkan kesempatan pemerintah untuk mengoptimalkan Peraturan Presiden No.82/2018 mengenai penggunaan pajak rokok daerah untuk keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Padahal, salah satu beban terbesar JKN adalah penyakit-penyakit yang disebabkan oleh konsumsi rokok. Andai saja tarif cukai meningkat dengan konsisten, maka keterjangkauan rokok akan turun dan ini akan mengurangi beban ekonomi yang dihasilkan oleh penyakit akibat rokok.
“Sebagai langkah jangka panjang, stabilitas pembiayaan JKN hanya dapat terjadi jika Universal Health Coverage didukung secara penuh dari penerimaan cukai kesehatan. Untuk itu, CISDI mendorong intensifikasi cukai rokok melalui penerbitan PMK Cukai Hasil Tembakau yang berpihak pada kesehatan masyarakat,” ujar Anindita.