10 Ancaman Kesehatan Dunia pada 2019 (2)

Selain masalah lingkungan hidup dan penyakit, WHO mengungkapkan beberapa hal lain yang bisa menjadi ancaman kesehatan dunia

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 20 Jan 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2019, 17:00 WIB
Salah satu wabah Ebola terburuk di dunia meneror Republik Demokratik Kongo selama 2018 (AP/Al-hadji Kudro Maliro)
Salah satu wabah Ebola terburuk di dunia meneror Republik Demokratik Kongo selama 2018 (AP/Al-hadji Kudro Maliro)

Liputan6.com, Jakarta Masalah penyakit tidak menular, pencemaran lingkungan, dan situasi konflik juga dianggap sebagai ancaman kesehatan di tahun 2019 menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).

Namun, tidak hanya itu. Dikutip dari laman resminya who.int pada Minggu (20/1/2019), masih ada ancaman kesehatan lain yang tidak kalah berbahaya. Berikut ini lima daftar tantangan kesehatan lain yang mungkin dihadapi di 2019.

1. Ebola dan patogen berbahaya lain

Pada 2018, Republik Demokratik Kongo mengalami kasus Ebola yang parah. Ini menunjukkan epidemi patogen berbahaya seperti Ebola masih bisa terjadi.

WHO mengidentifikasi berbagai penyakit dan patogen yang berpotensi menyebabkan keadaan darurat kesehatan masyarakat, namun belum ada perawatan dan vaksin yang efektif. Beberapa yang menjadi pantauan untuk penelitian dan pengembangan prioritas mencakup Ebola, demam berdarah jenis lain, Zika, Nipah, MERS-CoV, SARS, serta Penyakit X.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

2. Lemahnya layanan kesehatan primer

Ilustrasi Tulisan Tangan Dokter dan Dokter
Selalu Ada Formulir Edukasi yang Terselip di Resume Medik Pasien. (Ilustrasi/iStockphoto)

Perawatan kesehatan primer biasanya menjadi titik kontak pertama orang dengan sistem perawatan kesehatan mereka. Idealnya, mereka harus menyediakan perawatan yang komporehensif, terjangkau, dan berbasis masyarakat sepanjang hidup.

"Namun, banyak negara tidak memiliki fasilitas perawatan kesehatan primer yang memadai. Kelalaian ini mungkin karena kurangnya sumber daya di negara berpenghasilan rendah atau menengah," tulis WHO.

 

3. Keraguan akan vaksin

Pemprov Aceh Akhirnya Bolehkan Vaksinasi MR
Petugas menunjukan Vaksin Campak dan Rubella (MR) sebelum melakukan imuniasasi kepada anak di sebuah puskesmas, Banda Aceh, Rabu (19/9). Pemerintah Aceh memperbolehkan penggunaan vaksin MR dengan alasan dalam kondisi darurat. (CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP)

Masih banyak masyarakat dunia yang meragukan efektivitas vaksin dalam menanggulangi penyakit yang bisa dicegah. Saat ini, vaksinasi mencegah 2 sampai 3 juta kematian per tahun, dan bisa bertambah hingga 1,5 juta lagi jika cakupan vaksinasi global meningkat.

WHO menyatakan, kasus campak saat ini mengalami peningkatan 30 persen secara global.

"Alasan kenaikan ini sangat kompleks dan tidak semua kasus ini disebabkan oleh keragu-raguan vaksin," tulis WHO.

WHO menyatakan ada berbagai faktor yang menyebabkan seseorang memilih untuk tidak divaksinasi. Beberapa di antaranya adalah rasa puas diri, ketidaknyamanan dalam mengakses vaksin, serta kurangnya kepercayaan diri yang menyebabkan keraguan.

Karena itu, petugas kesehatan, khususnya yang ada di masyarakat, menjadi penasehat dan pemberi pengaruh yang paling dipercaya dalam keputusan vaksinasi. Mereka harus diduking untuk memberikan informasi terpercaya dan kredibel tentang vaksin.

 

4. Dengue

Nyamuk
Ilustrasi Foto Nyamuk (iStockphoto)

Dengue atau demam berdarah membunuh 20 persen dari mereka yang menderitanya. Penyakit yang ditularkan nyamuk ini telah menjadi ancaman yang berkembang selama beberapa dekade.

Dua negara yang disorot WHO adalah Bangladesh dan India. Di 2018, kematian di Bangladesh menjadi yang tertinggi dalam hampir dua dekade. Penyakit ini menyebar ke negara-negara bukan tropis seperti Nepal. Mereka dianggap belum siap untuk serangan penyakit ini.

WHO memperkirakan, 40 persen penduduk dunia berisiko terkena demam berdarah. Paling tidak, ada 390 juta infeksi setiap tahunnya.

 

5. HIV

HIV/AIDS
HIV/AIDS (iStockphoto)

Kemajuan dalam pengobatan untuk HIV sangatlah besar. Misalnya dengan pemberian ARV serta berbagai langkah pencegahan seperti pre-exposure prophylaxis (PrEP, ketika seseorang yang berisiko mengalami HIV menggunakan ARV untuk mencegah infeksi).

Namun, penyakit ini tetap sulit dikendalikan. WHO menyatakan hampir satu juta orang meninggal setiap tahunnya karena HIV/AIDS. Sejak awal epidemi, lebih dari 70 juta orang terinfeksi dan sekitar 35 juta telah meninggal.

"Saat ini, sekitar 37 juta orang di seluruh dunia hidup dengan HIV. Menjangkau orang-orang seperti pekerja seks, orang-orang di penjara, pria yang berhubungan seks dengan pria, atau orang transgender," ungkap WHO. Mereka menambahkan, orang-orang ini seringkali disingkirkan dari layanan kesehatan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya