Liputan6.com, Jakarta Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mencapai 215 juta jiwa (81%). Cakupan ini masih di bawah target yang harus dicapai akhir tahun ini sebesar 257,5 juta jiwa (95%). Visi besar JKN untuk menyediakan akses layanan kesehatan berkualitas bagi seluruh rakyat masih terganjal banyak kendala, terutama soal keberlanjutan finansial.
Budi Mohammad Arief, Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, membenarkan adanya beban pembiayaan yang sulit dipecahkan. “Dinamika pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional cukup menguras energi. Membengkaknya defisit neraca berjalan hanya bisa diperbaiki dengan menaikkan iuran, menyesuaikan manfaat layanan, dan menerima suntikan dana pemerintah,” ujar Budi pada diskusi PrakarsaTalk yang diselenggarakan oleh The Prakarsa, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) kemarin (15/01) di Kedai Tjikini.
Baca Juga
Tinjauan berkala terhadap harga keekonomian dana kapitasi Puskesmas dan Klinik Swasta serta tarif INA-CBGs Rumah Sakit akan memberikan ruang bagi JKN untuk beradaptasi pada tren kenaikan utilisasi layanan kesehatan dan perkembangan teknologi. Manajemen data klaim dan pelaporan keuangan yang komprehensif, transparan, reliabel, dan akuntabel juga menjadi kunci agar reformasi JKN terus terjadi sesuai roadmapyang ditetapkan.
Advertisement
Yurdhina Meilissa, Planning and Policy Specialist dari CISDI menekankan bahwa keberlanjutan finansial JKN bergantung pada kecerdasan memadukan opsi kontribusidan non-kontribusi untuk pemasukan JKN, serta pendekatan universalitas dan vertikalitas dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
“Perdebatan teknis seputar iuran, manfaat layanan, dan besaran suntikan dana Pemerintah melenakan kita dalam mengkaji potensi pencegahan penyakit dan promosi kesehatan untuk menyelamatkan JKN. Negara yang berhasil menekan angka kesakitan akan menikmati penurunan kebutuhan biaya penyelenggaraan layanan kesehatan,” ujar Yurdhina .
“Memusatkan perhatian pada upaya menyelamatkan JKN habis-habisan agar cakupan kepesertaannya mencapai 100% tidak akan cukup membuat Indonesia menjadi sehat. Dibutuhkan komitmen politik yang lebih luas. Menurunkan angka kesakitan akibat penyakit kardiovaskular membutuhkan pengendalian konsumsi rokok. Menghentikan epidemi diabetes menuntut kita mengatasi peningkatan angka kelebihan berat badan dan obesitas. Pada kedua kasus ini, sumber pendanaan inovatif berupa optimalisasi cukai rokok dan makanan/minumanberpemanis memiliki efek ganda sebagai upaya preventif penyakit katastropik dan peningkatan pemasukan anggaran kesehatan,“ lanjutnya.
Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dan Pemerintah Daerah harus serius membantu BPJS Kesehatan dalam menyediakan akses layanan yang berkualitas, terjangkau (affordable), berkelanjutan (sustainable) dan terintegrasi. Para pembuat kebijakan harus bersinergi dan menciptakan platformtata kelola yang memadai untuk mencegah terjadinya telikung kebijakan antar pemangku kepentingan.