Liputan6.com, Jakarta Penguatan pendidikan karakter menjadi solusi untuk mewujudkan pendidikan yang efektif di wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) di Indonesia. Metode yang digunakan adalah melalui pendekatan budaya masyarakat. Ini karena masing-masing daerah punya ciri khas sendiri.
Baca Juga
Advertisement
Bahasa dan penyebutan istilah bisa disesuaikan dengan yang digunakan sehari-hari. Implementasi di lapangan berupa permainan tradisional dan kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat setempat.
"Di lingkungan sekolah yang ada di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, ada metode musyawarah mufakat yang namanya kulababong. Itu sistem musyawarah yang harus menjadi budaya di sekolah," jelas pakar analis Pendidikan Kebijakan di Pusat Analisis dan Kebijakan Sinkronisasi (PASKA), Doni Koesoema A saat diwawacarai usai peluncuran buku Panduan Praktis Penguatan Pendidikan Karakter di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, ditulis Rabu, 23 Januari 2019.
Ketika ada rapat kelas maupun kelas bermasalah, siswa harus kumpul. Pun begitu kalau ada kegiatan masing-masing kelas dan sekolah, harus melalui musyawarah bersama.
Doni menceritakan, nilai-nilai penguatan pendidikan karakter bisa diadopsi dari kebiasaan masyarakat. Di beberapa daerah, ada budaya makan bersama-sama dalam satu wadah.
"Saya tidak tahu namanya (istilah) apa. Tapi mereka sudah biasa makan bareng. Nah, hal itu akhirnya diajarkan di sekolah. Ada nilai kebersamaan. Makan di satu tempat yang sama. Merasakan hasil bumi yang sama," jelas Doni.
Â
Â
Simak video menarik berikut ini:
Belum paham konsep penguatan pendidikan karakter
Dalam praktiknya, penguatan pendidikan karakter di wilayah 3T menemui beberapa kendala. Konsep penguatan pendidikan karakter masih belum sepenuhnya dipahami para guru dan pengajar.
"Mereka (guru dan pengajar) tidak paham konsep penguatan pendidikan karakter. Jadi bingung. Penerapannya banyak yang salah. Ada yang berpikir, kegiatan penguatan pendidikan karakter itu soal agama. Maka, kegiatan keagamaan diperbanyak. Padahal bukan seperti itu," Doni menjelaskan.
Menurut Doni, agama termasuk salah satu nilai saja. Ada nilai-nilai lain yang dipelajari, yakni nilai nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas. Ada juga pemikiran kebiasaan penguatan pendidikan karakter seolah-olah diimplementasikan dalam upacara bendera dan bernyanyi lagu kebangsaan.
Pembentukan pendidikan karakter harus terintegrasi. Perlu kolaborasi dengan masyarakat. Berkat kolaborasi dengan masyarakat, sekolah di beberapa daerah terpencil, seperti Buton dan Tanjung Pinang bisa maju.
"Apalagi kalau kepala sekolahnya kreatif. Mereka bekerja sama dengan komite sekolah dan masyarakat. Sekolah jadi maju meski anggaran tidak cukup. Tidak ada dana BOS untuk kegiatan ekstrakurikuler. Tapi kerjasama dengan masyarakat berkembang," ujar Doni.
Advertisement