Liputan6.com, Jakarta Saat ini, fenomena ibu harus membagi waktu antara pekerjaan dengan keluarga, khususnya anak-anak bukanlah hal yang aneh. Walaupun begitu, sebuah studi menemukan bahwa wanita yang melakukan dua hal tersebut 40 persen lebih rentan terkena stres kronis.
Bahkan, dalam studi yang dimuat di jurnal Sociology ini menemukan bahwa bekerja dari rumah dengan waktu yang fleksibel tidak berpengaruh pada tingkat risiko stres kronis mereka. Cara terbaiknya adalah dengan mengurangi jam kerja.
Baca Juga
Profesor Tarani Chandola dari University of Manchester, Dr. Cara Booker, Profesor Michaela Benzeval dari Institute for Social and Economic Research di University of Essex melihat data 6.025 peserta dalam Understanding Society's UK Household Longitudinal Survey. Mereka mengumpulkan informasi mengenai kehidupan kerja dan melihat tingkat respon stres termasuk kadar hormon dan tekanan darah.
Advertisement
Mengutip MedicalXpress pada Sabtu (2/3/2019), ditemukan bahwa angka dari 11 biomarker terkait stres kronis seperti hormon dan tekanan darah, 40 persen lebih tinggi pada perempuan yang bekerja penuh waktu sembari membesarkan dua anak, ketimbang perempuan yang bekerja penuh waktu tanpa anak. Ibu yang bekerja penuh waktu dan membesarkan satu anak sendiri memiliki tingkat stres 18 persen lebih tinggi.
Simak juga video menarik berikut ini:
Konflik pekerjaan dan keluarga
Mereka juga menemukan bahwa ibu dua anak yang bekerja dengan paruh waktu, pekerjaan kelompok, serta waktu kerja fleksibel, memiliki tingkat stres kronis 37 persen lebih rendah daripada mereka yang jadwal kerjanya teratur. Mereka yang bisa bekerja lebih fleksibel, dari rumah, tanpa pengurangan jam kerja secara keseluruhan, tingkat stresnya pun sama.
Tidak hanya wanita, para pria juga ditemukan memiliki penanda stres kronis lebih rendah jika jam kerjanya berkurang. Efek ini sama dengan yang dialami perempuan.
"Konflik pekerjaan dan keluarga terkait dengan meningkatnya ketegangan psikologis, dengan tingkat stres yang lebih tinggi dan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah," kata para peneliti.
"Orangtua dari anak-anak berisiko menghadapi konflik keluarga dan pekerjaan. Kondisi kerja yang tidak fleksibel terhadap tuntutan keluarga semacam ini, seperti jam kerja yang panjang, berdampak buruk pada reaksi stres."
Karena itu, profesor Chandola menyarankan pekerjaan fleksibel memungkinkan pekerja mencapai keseimbangan kehidupan dan pekerjaan yang lebih memuaskan. Selain itu, cara ini juga diharapkan bisa mengurangi tingkat stres meskipun belum ada keterkaitan secara rinci antara jam kerja fleksibel dengan stres kronis yang lebih rendah.
Advertisement